Mohon tunggu...
Khoirotul Ula
Khoirotul Ula Mohon Tunggu... -

penikmat cerita pendek dan novel...\r\ntinggal di bojonegoro\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhirnya, Aku Tahu

20 Mei 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak kecil aku sudah hidup terpisah dari orang tuaku. Sekalinya aku bertemu dengan keduanya kesan dan kenangan pahitlah yang terukir. Pasangan suami istri yang katanya orang tua kandungku itu selalu membentakku bahkan selalu menyiksaku. Aku memutuskan untuk menjauhkan diri dari keduanya. Tapi aku tetap tak sanggup berpisah terlalu jauh dari keduanya atau bahkan melupakannya. Akhirnya karena tak sanggup lagi aku tinggal di rumah kakekku. Di sana aku merasakan hal yang sama pula. Sampai suatu ketika aku berniat untuk meninggalkan kakekku yang sudah tua renta itu. Untungnya hati nuraniku masih ada, aku tak tega melakukannya. Dan aku memutuskan untuk menjalani semua siksaan dan hinaan ini. Ketika kakekku meninggal, hidupku mulai sedikit membaik, tapi kedua orang tuaku datang dan meminta rumah yang aku tinggali sebagai harta warisan dari kakek. Akhirnya warisan itu jatuh ke tangan orang tuaku. Aku tak punya tempat tinggal lagi. Hidupku sebatang kara, padahal kedua orang tuaku masih ada dan berkecukupan. Aku menderita dengan penderitaan yang dibuat oleh orang yang katanya orang tua kandungku itu. Aku tak tahu mengapa itu terjadi?. Sempat terpikir olehku benarkah mereka orang tuaku? Kalau tidak siapa orang tuaku?.Aku tak tahu.

Waktu terus berjalan. Aku bertemu dengan Zahra teman yang paling baik bagiku. Aku diizinkan untuk tinggal dirumahnya dan oleh orang tuanya aku disekolahkan. Tapi itu tidaklah berlangsung lama. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Kami berdua laksana saudara yang menjalani penderitaan hidup bersama-sama. Kami memutuskan untuk tetap sekolah meski kami tak punya uang. Perjuanganku menuju kehidupan yang lebih baik membuatku tak mudah patah semangat. Aku dan Zahra saling mendukung dan menasehati satu sama lain serta belajar bersama untuk mengukir prestasi gemilang bersama. Kami sering mendapat juara kelas, meski kami tak punya namun kami tetap bersemangat dan orang-orang bangga dengan kami. Dan aku pun bangga dengan diriku.

Setelah lulus SMA, kami melanjutkan ke Perguruan Tinggi dengan tiada modal sepeserpun di tangan kami. Namun kami tetap yakin bahwa kami pasti bisa. Dan ternyata kami bisa.

Tapi itu dulu. Ketika aku tak seperti ini. Kedua orang tuaku datang menemuiku. Mereka memintaku untuk pulang. Mereka sudah cukup tua dan membutuhkan bantuan dari anak-anaknya. Tapi semua anak yang disayanginya tak ada yang mau merawatnya. Aku tak tega mendengarnya, meskipun sebenarnya aku merasa kesal untuk melakukannya. Mengapa mereka dulu tiada memperhatikanku bahkan sering menyiksaku. Ketika mereka menderita mereka baru meminta pertolonganku. Kemana saudara-saudaraku yang mereka kasihi? Dimana saudara-saudaraku yang dulu mereka bangga-banggakan?. Aku tak tahu. Padahal hidupku sendiri masih sebatang kara, aku harus banting tulang untuk menghidupi keluarga dan membiayai kuliahku sendiri.Meski aku sudah menanggung kebutuhan dan kehidupan kedua orang tuaku, mereka masih tetap saja melakukan hal yang sama terhadapku seperti ketika aku masih kecil. Mereka masih sering membentakku dan menghardikku. Aku tak mengerti mengapa aku masih terzalimi. Mungkinkah aku diciptakan untuk menderita?Ataukah aku hidup untuk jadi bulan-bulanan orang tuaku?. Aku tak tahu.

Penderitaan hidupku yang bertubi-tubi ini kujalani, aku mencoba untuk sabar. Namun kenyataannya hidupku tak juga berubah. Seakan aku tiada berhak mengenyam kasih sayang. Karena asumsiku yang buruk akan arti hidupku ini akhirnya aku melampiaskannya dengan berbuat semena-mena dengan orang lain selain kedua orang tuaku. Aku merasa penderitaan ini harus kubagikan dengan orang lain. Tak adil rasanya jika aku harus menangis sendirian di dunia ini.

Sifatku yang arogan, apatis dan angkuh membuatku dijauhi oleh teman-temanku. Namun lain halnya dengan Zahra dan Akhwan. Aku bahkan bangga dengan sikap teman-temanku yang menjauhiku, aku merasa sukses menanam benih kebencian di kelasku. Tapi aku tak mengerti dengan Zahra dan Akhwan, mengapa mereka berdua tetap setia denganku. Padahal rasanya aku sendiri sudah tak percaya dengan diriku. Rasanya setan telah banyak merasukiku. Aku tak tahu mengapa aku begini. Aku tak tahu.

# # #

Adzan maghrib berkumandang, aku bergegas pergi meninggalkan asramaku untuk segera datang ke club untuk menyanyi. Aku lakukan pekerjaan ini untuk membiayai kuliahku dan kedua orang tuaku. Pergaulan di club cukup bebas dan tak mengenal akhlak, mungkin tempat inilah yang membuatku menjadi seperti ini. Aku tak pernah menjalankan sholat lagi, aku tak pernah menyentuh ayat-ayatNya lagi bahkan menyebut asmaNya pun aku jarang. Tiap kali Zahra mengingatkanku aku selalu mencari-cari banyak alasan supaya dia tidak menghujatku.

Sebenarnya meski aku berani bekerja di club tapi sekalipun aku tak pernah merelakan diriku untuk dinikmati oleh lelaki hidung belang yang berwajah srigala sekaligus berbulu domba itu. Aku masih menghargai nilai-nilai susilaku. Tapi malam ini adalah malam yang naas bagiku. Ketika aku pulang dari club seorang lelaki berkantong tebal dengan Mercedes keluaran Jerman terbarunya datang menghampiriku dan menawariku sejumlah uang untuk menemaninya semalaman. Aku mencoba menolaknya dengan cara yang halus. Hal itu kulakukan agar aku tidak kehilangan relasiku. Tapi seolah dia memaksa dan berbuat tak sononoh terhadapku. Aku mencoba untuk bersikap lembut, tapi dia semakin kurang ajar padaku. Aku lari dia mengejarku. Akhirnya aku melemparkan sepatu hak tinggiku di mukanya. Dia semakin geram dan menyuruh anak buahnya untuk mengejarku. Aku ketakutan, aku lari menyeberangi jalan raya, sebuah mobil Kijang melaju dengan kencangnya menghantam tubuhku. Aku terlempar ke trotoar dan tak sadarkan diri. Namun aku sempat melihat Akhwan berusaha menyadarkanku dan aku tetap tak sadarkan diri.

Dia melarikanku ke rumah sakit terdekat. Tiga hari lamanya aku tak sadarkan diri. Dalam tidur setengah matiku aku menjalani sebuah perjalanan spiritual yang sangat menakjubkan.Aku merasa terbawa ke alam yang sebelumnya aku tak pernah melihatnya. Aku menjalanisiksaan yang begitu pedih di samping itu aku juga melihat orang lain merasakan kenikmatan yang begitu indah. Aku menginginkan keadaanku sama dengan mereka. Tapi aku terbelenggu dengan batas yang tak bisa aku tembus. Aku menjerit menangis dan meraung kesakitan. Akhirnya aku menyadari kesalahanku dan meminta ampun kepada Allah atas kedurhakaanku selama ini. Tapi rasanya itu semua sudah terlambat, seakan Allah tak berkehendak menerima taubatku lagi. Allah ampuni aku. Aku menjerit, meraung kesakitan. " Jangan...jangan...tidaaak!!!" Aku tersadar dari koma selama tiga hari. Akhwan menungguiku. " Akhwan, dimana aku?" "Tenang, kamu di rumah sakit, tiga hari yang lalu kamu kecelakaan dan aku membawamu ke sini." Jawabnya sambil menghiburku. Tak tahu kenapa karena ketakutanku itu tiba-tiba saja aku memeluknya, dia merasa canggung. Aku tahu dia bukan muhrimku tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Lama sekali aku memeluknya, mungkin dia menyadari kekalutanku sehingga dia tidak melakukan protes apapun dan tidak pula menghujjahiku.

"Akhwan, maafkan aku, apakah Allah mau menerima taubat hambaNya yang sudah sangat berdosa seperti aku ini?" tanyaku sambil menangis di hadapannya." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Pasti Allah menerima taubat hambaNya yang benar-benar menyesali perbuatannya" Jawabnya sambil menatapku lembut. " Benarkah yang kau katakan itu?" Tanyaku agak tenang. " Ceritakan apa yang terjadi padaku" Pintanya" Aku hampir diperkosauntungnya aku bisa melawan tapi aku mengalami kecelakaan ini, mungkin Allah menghukumku atas kedurhakaanku selama ini. Selama aku koma aku bermimpi aku berada di antara dua tempat yang sangat kontradiktif, yang satu begitu indah, nyaman dan menyenangkan sedang yang satunya lagi menakutkan dan mengerikan penuh siksaan. Apakah itu surga dan neraka? Aku tak tahu. Dan aku berusaha untuk memasuki tempat yang indah itu namun aku tak bisa. Semuanya melarangku. Aku diseret oleh dua orang yang mengerikan wajahnya ke tempat yang penuh siksaan itu. Lalu aku menjerit dan meraung kesakiatan sampai aku tersadar" Aku menjelaskan padanya panjang lebar sambil menangis" Tenanglah, istighfar, Allah Maha Pengampun, kamu tenang dulu ya istirahatlah! Aku pergi kuliah dulu nanti Zahra yang jagain kamu" Ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun