Mohon tunggu...
Khoirotul Ula
Khoirotul Ula Mohon Tunggu... -

penikmat cerita pendek dan novel...\r\ntinggal di bojonegoro\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhirnya, Aku Tahu

20 Mei 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

# # #

Sejak kejadian itu hidupku berubah. Aku insyaf dan menyadari akan semua kesalahan dan dosa-dosaku. Aku sadar bahwa kesengsaraan dan penderitaan tidak harus dilampiaskan dengan balas dendam atau malah mendurhakai Allah. Akan tetapi harus dihadapi dengan sabar dan menganggapnya sebagai ujian dari Tuhan yang akan meningkatkan iman kita jikalau kita lulus dalam ujian itu. Aku memutuskan untuk berjilbab. Aku bersyukur masih ada orang yang mau memperhatikanku dan mau membantuku seperti Akhwan dan Zahra. Mereka adalah sahabat sejatiku. Alhamdulillah, aku bersyukur padaNya. Aku berharap aku selalu dalam bimbingan dan rahmatNya.

Namun yang masih menjadi sebuah pertanyaan yang besar dalam diriku dan belum bisa terjawabkan adalah perihal kedua orang tuaku yang bersikap kejam terhadapku. Aku tak tahu apa sebabnya? Secara naluri jika memang keduanya adalah kedua orang tua kandungku maka tak mungkin mereka tega melakukan hal itu padaku. Mungkinkah aku terpisahkan dari kedua orang tua kandungku sejak kecil? Ataukah aku adalah anak musuh bapakku yang dipungut untuk membalas dendam kepada orang tua kandungku sebagai pelampiasan kekesalannya? Aku tak tahu dan sampai sekarang aku tetap tak tahu. Atau mungkin saja aku anak pancingan kedua orang tuaku? Lalu jika memang semua asumsiku benar, siapakah orang tua kandungku? Siapa ibu yang mengandungku selama sembilan bulan? Siapa lelaki yang menanamkan benihnya di rahim ibuku? Siapa ? dan Siapa mereka? Aku tak tahu.

# # #

Waktu terus berlalu dan berjalan. Aku tetap bertanya-tanya tentang asal-usulku , siapakah aku?Aku belum juga menemukan jawabannya. Berbagai bukti yang otentik telah aku kumpulkan, penyelidikan aku lakukan. Namun tak ada juga indikasi yang bisa membuka rahasia ini. Aku merasa putus asa. Sampai suatu ketika seorang lelaki paruh baya datang menemuiku dan menceritakan perihal kedatangannya padaku. Dia sedang mencari anaknya yang hilang, katanya dulu dia sempat berseteru dengan seorang bernama Prawoto, nama bapakku, yang telah ditipunya. Ayahku yang katanya ayah kandungku itu ditipu oleh lelaki itu dengan dalih investasi saham, namun lelaki itu membohonginya dan melarikan uangnya ke luar negeri sampai akhirnya mereka jatuh miskin. Ketika istri lelaki itu melahirkan seseorang mencuri bayinya dari rumah sakit. Lelaki itu menduga bahwa yang mencurinya adalah Prawoto. Akan tetapi lelaki itu dan istrinya tidak menghiraukan anak yang diculiknya. Sebab dia lebih mencintai harta dan kekayaannya dari pada anaknya. Lambat laun dia dan istrinya menyadari bahwa harta tak selamanya kan membawa kebahagiaan. Kemudian dia memutuskan untuk mencari anaknya. Yaitu anak perempuannya. Aku menebak-nebak, mungkinkah yang dimaksud gadis itu adalah aku?. Ah.. tidak. Lalu dia melanjutkan ceritanya perihal perjalanan hidupnya yang sengsara pasca perilaku penghianatan yang dilakukannya. Dia merasa hidupnya tak ada berkahnya. Dia merasa tiap kali dia membuka usaha, selalu gagal. Sampai akhirnya dia menyadari akan perbuatan dosanya yang merugikan orang lain itu.

Dia menceritakan ciri-ciri anak gadis itu. Dan anehnya dia mempunyai ciri-ciri yang sama persis denganku. Ternyata asumsiku selama ini benar bahwa aku bukan anak kandung kedua orang tuaku. Tapi aku adalah anak kandung si penipu yang bercerita di hadapanku ini. Aku lunglai, lemah, aku merasa tak sanggup menerima kenyataan ini. Meskipun aku diperlakukan tidak baik oleh kedua orang tuaku, setidaknya mereka bukan penipu yang merugikan dan menyengsarakan orang. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak tahu.

Prawoto, bapakku pun menceritakan yang sebenarnya bahwa dia hanya ingin membalas dendam kepada ayah kandungku agar aku merasakan penderitaan sebagaimana yang mereka rasakan yakni bernaung dalam kemiskinan. Dia pun membuka semua aib ayah kandungku dan merasa menang telah mampu membuat hidupku menderita. Sedangkan lelaki paruh baya itu menangis tak sanggup mendengarkan penderitaan yang aku rasakan. Dia meminta maaf pada Prawoto, tapi dia tak juga memaafkannya bahkan dia bersumpah akan membuat hidupku sengsara sampai mati. Astaghfirullah, batinku bergetar. Betapa penderitaan hidupku diinginkan oleh banyak orang. Aku tak tahu harus memilih siapa. Prawoto dan istrinyakah yang telah menyengsarakan hidupku tetapi mereka adalah korban kekejian ayah kaandungku? Ataukah orang tua kandungku yang telah lama tidak memperdulikanku yang merampok harta orang lain yang bukan haknya? Aku tak tahu.

# # #

Setelah lama aku memikirkannya dan aku telah mengetahui perihal hidupku sendiri akhirnya aku memutuskan untuk mendamaikan keduanya. Prawoto dan ayah kandungku sudah sama-sama jatuh miskin. Prawoto telah berjasa dalam hidupku yakni dengan membiarkanku hidup, sementara ibu dan ayah kandungku telah berjasa dalam proses kelahiranku di dunia ini. Meskipun sebenarnya aku tak pernah minta untuk dilahirkan. Aku terus berfikir dan berfikir. Akhirnya dengan berfikir aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku harus mendamaikan keduanya. Aku mendiskusikan hal ini bersama Akhwan dan Zahra. Mereka setuju dengan inisiatifku bahkan mereka menawari terobosan-terobosan baru untuk menyelesaikan masalah ini.

Alhamdulillah keduanya bisa didamaikan. Persaudaraan antara keduanya terjalin kembali. Mereka mencoba melupakan masa lalu dan berfikir jauh ke depan. Keduanya mengakui kesalahan masing-masing dan meminta maaf padaku. Aku tersenyum melihat semua itu. " Baru kali ini aku melihat senyummu selebar ini, tersenyumlah ukhti, raihlah kebahagiaanmu" kata Akhwan " Terima kasih akh, berkat akhi, aku jadi tahu arti hidup ini dan sadar akan kekeliruanku selama ini" Jawabku. Kami berdua pun tersenyum malu-malu dan saling menatap satu sama lain. Akhirnya aku pun tahu. [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun