Beberapa waktu lalu, usai memuat tulisan di kompasiana.com dan memajangnya di story WhatsApp, seorang teman mengirim pesan demikian, "gajah mati meninggalkan gading, kau mati meninggalkan konten". Pernyataan singkat ini memantik saya untuk berpikir lebih, ada apa dengan pilihanku menjadi penulis.
Bagi saya, menulis adalah "upaya mengekalkan jejak" atau meminjam pernyataan teman tadi "upaya meninngalkan konten". Mimpi saya sederhana, kelak ketika tiada, orang akan membicarakan saya melalui tulisan-tulisan yang ditinggalkan. Pasti saya akan tersenyum bahagia dari balik kubur. Dalam upaya mengekalkan jejak ini, izinkan saya berbagi kisah hidup saya melalui autobiografi singkat ini.
Saya dan Kisah Masa Kecil
Wilibaldus Sae Delu, demikian nama yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Dalam keseharian, saya akrab disapa Baldus. Dilahirkan di Rumah Sakit Bersalin (RBS) Susteran SSps Ende pada tanggal 7 Juli 1994. Menurut catatan medik yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit, saya dilahirkan tepat pukul 13.00 WITA, dengan ukuran tubuh: berat 2,0 Kg, panjang 52 cm.
Ari-ariku ditanam di bawah pohon nio panda (kelapa merah) di halaman rumah nenek. Sepelempar batu jauhnya dari rumah pengasingan Bung Karno di Jl. Perwira, Ende. Saya adalah satu-satunya bayi dalam keluarga kami yang dilahirkan di rumah sakit, tanpa pertolongan dukun kampung.
Terlahir sebagai putra sulung dari tiga bersaudara, buah hati dari pasangan bapak Gabriel Sae dan mama Letisia Bi. Masa kecilku dihabiskan di Pemo. Sebuah kampung kecil di pelosok Ende, tepatnya di Desa Jegharangga, Kecamatan Nangapanda. Jauh dari laut dan keramaian kota Ende.
Semasa kecil gemar minum kopi dan makan ikan. Suatu ketika persediaan ikan di rumah habis. Karena tak mau makan siang hanya ada kopi tanpa ikan, maka menangislah saya sepanjang hari. Apapun yang terjadi, saya harus makan ikan.
Merasa kesal dengan permintaan tersebut, Bapak akhirnya membakar nio ngeku (kopra) sebagai ganti ikan. Dengan caranya bapak berhasil meyakinkan saya bahwa kopra bakar itu adalah ikan bakar. Dengan segala kebodohan, saya akhirnya menikmati ikan "kopra" bakar buatan ayah dengan lahapnya.
Sebagai anak kampung, saya terbiasa hidup sederhana. Tinggal di gubuk bambu, menikmati makan malam berlampukan pelita itu biasa. Mendengarkan dongeng dari bapak sembari menunggu masakan mama menjadi saat paling istimewa di malam hari. Bermain sepanjang hari sampai adzan berkumandang di radio milik tetangga menjadi penanda harus masuk rumah, sungguh saya nikmati.
Tempat pesiar paling menyenangkan adalah kebun. Pepaya masak, pisang, nangka, kelapa dan aneka umbi-umbian bakal menyesaki perut selama di kebun. Belum lagi kalau diajak bapak turun ke kali menangkap udang, belut dan kepiting. Sungguh suatu petualangan yang sangat menyenangkan.