Namun, pendekatan  terhadap realitas tidak menuntut penghapusan perbedaan. Karena dalam pendekatan  , perbedaan "dikurung" tidak berdaya. Hanya dalam kedagingan manusia, perbedaan adalah penggunaan praktis. Jadi sebagai ganti mediasi, manusia harus sekali lagi mengalami kenyataan, sebagaimana adanya. Nihilisme dihasilkan dari pembedaan dan dari mengira Tidak Ada untuk Menjadi.
Selama korelasi antara melihat dan yang kasat mata, pendengaran dan yang terdengar, menggenggam dan berwujud, tetap mutlak, selama keterikatan manusia pada Ego tetap ada, selama Nalar adalah satu-satunya cara untuk mendekati kenyataan, masih ada Nihilisme. Selama metafisika tetap ontologi, manusia terus dihantui oleh kekosongan nilai dan dikendalikan oleh Alasan.
Namun, begitu manusia mampu "melihat yang tak terlihat, mendengar yang tak terdengar, memahami yang tak berwujud," seperti yang ditunjukkan oleh Lao Tzu, dan akhirnya begitu manusia tidak belajar untuk "mengendalikan," dan belajar untuk membiarkan semuanya berjalan dalam pencarian pertanyaan manusia, metafisika menjadi m-ontologi (studi tentang Tidak Ada).Â
Alih-alih Nihilisme, Filsafat Sejati yang murni tidak muncul segera setelah manusia mulai belajar untuk "mempercepat pikiran manusia," seperti yang dikatakan Chuang Tzu dan mengalami diri manusia sebagai satu dengan kenyataan.
*] Bahan dan catatan kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana Universitas Mercu Buana Jakarta, 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H