Aristotle: Â Wamena, dan Krisis Kepemimpinan di IndonesiaÂ
Dikutip dari BOGOR, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengucapkan belasungkawa atas kerusuhan yang menyebabkan 33 orang meninggal dunia di Wamena, Papua. "Saya ucapkan duka mendalam meninggalnya korban di Wamena, 33 meninggal," kata Jokowi di Istana Bogor, Senin (30/9/2019).
Jokowi menegaskan aparat keamanan kerja keras melindungi warga. Ia meminta tak ada pihak yang mengarahkan kerusuhan ini sebagai konflik antar etnis. "Ini adalah Kelompok Kriminal Bersenjata turun dari gunung dan melakukan pembakaran-pembakaran rumah warga," kata dia.
Diketahui, aksi unjuk rasa siswa di Kota Wamena, Papua, Senin (23/9/2019), berujung rusuh. Demonstran bersikap anarkistis hingga membakar rumah warga, kantor pemerintah, PLN, dan beberapa kios masyarakat. Unjuk rasa yang berujung rusuh itu diduga dipicu oleh perkataan bernada rasial seorang guru terhadap siswanya di Wamena. Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Inf Candra Dianto menyatakan bahwa korban tewas berjumlah 33 orang.
Sampai malam menjelang pagi hari ini saaat tulisan ini dibuat, belum ada langkah-langkah kongkrit pada punggawa Negara [presiden, raja, perdana menteri, kanselir], dan para manusia hebat bijaksana di Republic Indonesia ini seingga tidak boleh terulang kembali. Atau tidak cara solusi permenen yang dilakukan pemerintah pada kondisi ini. Padahal sebenarnya masalah sudah memasuki tahap krisis, dan sangat melanggar martabat akal sehat, pembunuhan sadis pembakara, dan para pengungsi terus menderita lahir batin.
Tulisan ini membahas peraan kepemimpinan para pemimpin [presiden, raja, perdana menteri, kanselir] Â dengan pandangan Aristotle pada kasus Wamena Papua;
Aristotle mengajar murid-muridnya tentang etika, kebajikan  sekitar  2300 tahun yang lalu. Banyak dari pengajarannya masih berlaku untuk mengatasi krisis kepemimpinan saat ini.  Krisis kepemimpinan saat ini adalah  tidak  adanya tanggung jawab dari begitu  laki-laki dan perempuan yang berkuasa,  kepemimpinan tidak dapat hadir sesuai kebutuhan penuh untuk itu. Indonesia gagal memahami esensi kepemimpinan yang relevan dengan zaman modern.
 Aristotle diakui sebagai salah satu pemikir filosofis paling berpengaruh sepanjang masa. Sejarawan Will Durant mengakui kontribusi Aristotle dengan menyarankan, "Tidak ada pikiran lain yang telah begitu lama memerintah kecerdasan umat manusia."Â
Tulisan-tulisannya tentang Etika dan Politik tetap sebagai dua dari karya-karyanya yang paling relevan, terutama untuk para pemimpin [presiden, raja, perdana menteri, kanselir] Â saat ini dan untuk masyarakat luas, untuk membantu mengatasi krisis kepemimpinan.
 Pada  etika mengacu pada standar perilaku bagi manusia untuk bertindak dalam banyak situasi di mana mereka menemukan diri mereka sendiri. Ini termasuk berbagai peran yang dimainkan dalam kehidupan manusia sebagai orang tua, teman, warga negara, pebisnis, guru, profesional, politisi, dan sebagainya.
Bagi Aristotle, tujuan etika adalah mencapai tujuan akhir kehidupan manusia: eudaimonia, sebuah kata Yunani yang biasanya diterjemahkan sebagai kebahagiaan. Arti kebahagiaan di sini bukan hanya keadaan emosi internal seperti yang manusia kenal, tetapi termasuk eksternalitas kemakmuran, persahabatan yang didasarkan pada karakter, dan "kehidupan pemikiran dan tindakan yang tanpa hambatan."
Tindakan ini terjadi melalui memiliki sifat karakter yang baik atau kebajikan. Seperti yang dinyatakan Aristotle, manusia tertinggi adalah aktivitas "sesuai dengan kebajikan terbaik dan terlengkap."Â