Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tiga Filsafat Mental [Geist] Bapak Presiden Joko Widodo

7 Juni 2019   14:35 Diperbarui: 7 Juni 2019   14:44 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari cnbc.com

Tiga Filsafat Mental {Geist} Bapak Presiden Joko Widodo

  • Lamun siro sekti, ojo mateni
  • Lamun siro banter, ojo ndhisiki
  • Lamun siro pinter, ojo minteri

Supaya tafsir tidak menimbulkan salah dan picik, dan dangkal otak curang atau kurang pemahaman 3 tema {" Lamun siro sekti, ojo mateni;  Lamun siro banter, ojo ndhisiki; Lamun siro pinter, ojo minteri"} berlaku universal, bukan dominasi suku bangsa apapun. Seungguhnya meskipun dipakai dalam metafora  kata "Jawa Kuna" tidak dimaknai sebagai pengertian "suku" dalam artian sempit, tapi dikaitkan dengan "hakekat umum manusia".

Jadi kata "Jawa" adalah kata sifat, maka orang Jerman, Italia, Jepang,  Rusia, Amerika, Spanyol,  bisa menjadi orang Jawa jika hidupnya dilaksanakan dengan menginternalisasikan nilai-nilai hidup Jawa, demikian sebaliknya. Atau Orang Dayak bisa menjadi orang Jawa, atau sebaliknya atau suku lainnya di dunia ini. Jadi Kata metafora dalam terma istilah Jawa tidak bisa dipahami dengan cara picik, licik, dan sempit dengan satu sudut pandang [world view] sewenang wenang..

Maka kata Jawa dimaknai dalam tulisan saya ini meminjam teori Hans Georg Gadamer [1900-2002] pada konsep "Bildung" atau proses belajar sehingga menjadi terbentuk menjadi terpelajar/ terdidik, mental bertanggungjawab, manusia tidak picik mau belajar banyak mendengar manusia lain atau kebudayaan lain, saling menghormati, menerima perbedaan, sebagai hasil pengalaman Hermenutika. Tidak mungkin memahami 3  "metafora Jawa Kuna" ini dengan picik memungkinkan memperoleh "episteme" yang baik berguna. Maka Kata Sifat "Jawa Kuna atau Indonesia Lama adalah semacam trans-substansi ["Kearifan Lokal Indonesia Kuna"] dan perlu dipahami untuk Indonesia menjadi lebih baik, sesuai amat UUD 1945 yakni mencerdas kehidupan bangsa.

Demikian juga jika mengandaikan data pada tulisan ini bahwa (1) Sensus Penduduk tahun 2010 (BPS RI) Total penduduk Indonesia 236 728 379 Jiwa, dengan 3 penduduk memiliki jumlah (1) suku etnis Jawa berjumlah 95. 217.022 jiwa atau 40,22%; (2) suku etnis Sunda berjumlah 36.701. 670 jiwa atau 15,5%,  dan (3) suku etnis Batak berjumlah 8.466. 969 jiwa atau 3,58%. Dengan data BPS 2010 ini dapat disimpulkan statistic kependudukan, secara mayoritas pendifinisian jumlah penduduk pada distribusi, kepadatan, dan mutu hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Itulah uniknya Negara Indonesia Berbeda-beda tetapi tetap satu kesatuan.

Makna dan tafsir umum hermeneutika dan semiotika pada [3] Tiga Filsafat Mental Pak Presiden Joko Widodo adalah berlaku universal dan umum, sebagai cara [episteme] menjelaskan realitas manusia, alam semesta, dan tatanannya. Pada tradisi filsafat saya sebutkan misalnya  Platon atau Plato menjelaskan tentang tiga cara memahami yakni memahami secara sensible, garis membagi, dan intelekible atau  Matahari (Sun), Dua Garis Membagi (Divided Line), Gua (Cave) ;  Georg Wilhelm Friedrich Hegel menjelaskan dengan 3 cara tesis, anti tesis, rekonsiliasi sintesis; Sigmund Freud membagi 3 bentuk kesadaran mental id, ego, superego, Friedrich Wilhelm Nietzsche membagi kategori; baik, jahat, dan melampaui baik dan jahat atau 3  Doktrin of Persuasion (Aristotle) : Ethos, Pathos, Logos.

Pada tradisi Batak ada istilah ["Dalihan Natolu"] ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi keutamaan manusia berbudaya; pada kebudayan Radja Jawa Mataram, 3 sumbu imajiner Merapi, Tugu Golang Galing {manunggaling pemimpin dengan rakyat], dan laut Selatan sebagai metafora pada 3 alam Wasono, alam Madyo, dan alam Purwo [asal usul]. Model ini dalam penelitian saya disebut ["Jumbuhing Kawulo Gusti"] adalah model membangun hubungan harmonis dengan Sang Gusti atau Tuhan, proses menuju Ingsun Sejati  [manusia berbudi luhur berkeutamaan"]

Atau dalam tradisi Katolik ada 3 kali nabi Isa Almasih jatuh sebelum mati di Kayu salib, atau Allah Tritunggal Maha Kudus konsep Trinitas dalam imannya; atau di Candi Prambanan ada 3 simbol Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah; atau dalam tradisi Mataram Kuna, disebutkan "Triloko (Jagat Telu) terbagi menjadi 3 yaitu: Guru Loko (ada di otak mental kesadaran), Indro Loko (sukma Kawekas, ada di hati) dan Jono Loko (nafsu jasmani); atau dalam bahasa Kuna disebut sebagai  tirto pawitro mahening suci (air kehidupan yang bersih dan suci). Trimurti hingga bumi lapis tujuh semuanya sudah diakui oleh sedulur papat limo pancer, dan kedalam makin dalam ada di pusat hati (telenging ati), dan rumahku sendiri sudah ditempati, dikuasai, diatur dan dijaga oleh saudara sendiri sedulur papat limo pancer.

Tiga [3] Dokrin (mocopat, kolomudheng, poncosudo)  bahwa  (a) Segala bidang kenyataan digolongkan menjadi lima unsur asasi, empat yang dipandu dalam yang kelima (mocopat, kolomudheng, poncosudo). Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Protipe dunia bersudut empat dengan satu pusat (papat keblat, kelimo pancer), menurut urutan selatan, barat, utara, timur, dan pusat. Juga nama neptu 5 hari legi, paing, pon, wage, kliwon. (b) Antara manusia (buana alit/ Bhuana Alit atau mikrokosmos) dengan alam (Buana Agung atau besar atau jagat makrokosmos) ada harmoni progresif, tatanan abadi dipartisipasikan oleh manusia (homologi antropokosmis).

Maka 3 dokrin mental [Geist] pak Presiden ini menurut tafsir filsafat adalah berlaku umum, dan dapat digeneralisasi, dalam tatanan menjadi manusia baik, benar, dan indah; atau tujuan [telos] dalam dokrin tujuan hidup manusia berkeutamaan menjadi memayu hayuning bawono.

Makna dan tafsir umum hermeneutika dan semiotika Tiga Filsafat Mental {Gesit} Pak Presiden Joko Widodo bisa disejajarkan dengan hakekat pada sembah wujud pemahaman kedalaman hidup yang dihayati melampaui pengetahuan dan pemahaman lahiriah batiniah pada [telu-telune atunggal] pada tiga proses internalisasi batin manusia pada  Sembah rogo, Sembah cipto, Sembah jiwo roso. Maka kata rasa paling penting menjaga keutuhan umat manusia. Kekuasan yang telu-telune atunggal (telu-telune atunggal) dipandu oleh pancaindra dan batin. Manusia utama adalah manusia yang sampai pada mengendalikan rasa atau Sembah Roso" sebagai usaha menuju Suksma Kawekas (Tuhan Sejati);

Pada konteks dan teks ini setidak-tidaknya memiliki hakekat mental batiniah Indonesia Lama atau Jawa Kuna, sebagai berikut:

Ke [1 kata "Ojo" artinya jangan atau larangan symbol kematangan mental manusia bisa membedakan antara yang boleh dengan tidak boleh, antara sopan tidak sopan, antara menggar dengan patuh, antara sewenang-wenang dengan rasa hormat pada martabat manusia [human dignity]. Kata [Ojo} adalah semacam larangan universal pada umat manusia supaya hidup memiliki keselarasan atau tidak menyinggung sesama manusia, alam dan Tuhan.

Kata ini bisa dimaknai tidak boleh sombong atau disejajarkan dengan kata ["ojo dumeh" di Indonesiakan  "jangan mentang-mentang"] ditambah satu kalimat menjadi "ojo dumeh eling lan waspodo" di Indonesiakan "tidak boleh sesukanya sendiri atau mentang-mentang, tetapi harus ingat dan waspada"].

Kata "eling lan waspodo", atau "Ojo dumeh". Sebuah kata etika mendalam untuk repleksi diri, hidup yang dihayati berbeda dengan hidup yang dipikirkan. Dengan modal mental ["Ojo"} atau  ingat maka tidak mungkin manusia bersikap "dumeh" (sombong, atau angkuh, menyalahgunakan kekuasan apapun).

Kata Kunci nya adalah {"eling atau iling" atau ingat]. Dimensi kebatinan mengajarkan kata {"eling atau iling"] adalah kepekaan mental yang matang pada segala sesuatu pada hekekat dimensi posisi diri atau evaluasi diri atau mawas diri.

Kata ["eling"] bermakna luas seperti ingat asal usul, ingat susah, ingat mati, ingat Tuhan atau ajaran agama masing-masing, ingat orang tua, ingat sejarah, ingat waktu, ingat status social, ingat usia, ingat tidak ada yang abadi, ingat sakit, ingat Pancasila, ingat keluarga, ingat tugas Negara, ingat siapa yang membuat kita sukses atau ingat utang budi, ingat balas budi, ingat berbuat kebaikan, ingat dosa, ingat susah,  dan seterusnya. Saya rasa kehebatan kata ["eling"] menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia  berbudi luhur dan sikap saling menghormati;

Hasilnya Kata ["eling"]  dapat menjadi manusia yang bertindak dan berbuat tidak bertindak gegabah, memerlukan kematangan perencanaan, dan kesusuaian (pantas) diri, dan cukup diri. Atau wujud ketekunan kesabaran ketelitian (semacam "nrimo ing pandum"). Sabar menerima suka duka, untung malang, sehat sakit, kaya meskin. Menerima realitas tanpa putus asa, patah semangat, dan bertanggungjawab. Hidup adalah bersifat siklus; reinkarnasi transposisi abati: biji, buah, mati, biji buah, mati. Atau istilah manuswa, manjalma, menitis, punarbhaya, dan tidak ada keterbaharuan unik dan baru. 

Sapto Darmo ada 12 belas kesempatan hidup menata hidupnya didunia ini, kemudian melebur dalam kesatuan entitas; manusia ideal mampu menerima kondisi hidup dengan paripurna absennya protes pada apapun tanda sikap Ketuhanan Yang Maha Esa paling luhur pada manusia; atau hidup manusia hanya sebagai Good Will (kehendak baik), pada kewajiban (duty). Akhirnya hasil 3 aspek ini menghasilkan manusia mampu memahamu konsep Tuhan Maha Esa atau {"Tan Keno Kinoyo Opo"} adalah melampaui apapun atau beyond, tidak dapat dikatakan, atau bersifat melampaui apapun;

Ke [2] Tiga terma pada Filsafat Mental Bapak  Presiden Joko Widodo memiliki representasi mental sebagai pemimpin dan manusia pada umumnya dalam memerintah atau bekerja memegang nilai keutamaan {"sepi ing pamrih, rame ing gaweh" atau di Indonesiakan kerja keras, tanpa mengharapkan pamrih apapun"] seperti  sifat jujur, iklas, dan welas asih, senang memberikan pertolongan pada sesama. 

Tugas seorang pemimpin adalah melayani  sebagai kata sejajar dengan pengertian {"sepi ing pamrih, rame ing gaweh"].  Kemudian ditransformasikan menjadi menjadi dokrin Nrimo ing Pandum, Makaryo ing Nyoto. Atau kemudian menghasilkan loyalitas pengabdian pada kondisi apapun bagian jalan kehidupan dengan "kerja nyata" dalam artian memberi lebih banyak tanpa mengharapkan kembali atau pamrih.

Ini tentu berkaitan dengan dokrin Leadership yang baik pada Indonesia lama atau Jawa Kuna tentang sifat pemimpin dalam narasi wayang semar [a] sebagai pamong atau pengasuh Indonesia atau keturunan Pandawa, [b] pemimpin sebagai sifat punakawan melayani masyarakat; [c] pemimpin sebagai representasi kasih Tuhan [para dewa], representasi rakyat kecil dalam metafora semar membangun kahyangan;

Ke [3] Kata "ojo" ada tiga ["ojo mateni, ojo ndhisiki, ojo minteri"] sebenarnya menghasilkan output pada diri  manusia ideal dapat memahami mengendalikan diri {tahu diri atau tahu malu] dengan baik pada 3 filologi dasar yaitu: Wiryo, Harta dan Tri Winasis. Kata Wiryo sejajar sikap menghormati hal lain yang lebih tinggi martabatnya orang tua, para pendahulu bangsa, dan apapun yang pantas diagungkan, dihormati; kata harta bukan dalam artian benda jasmani, tetapi harta mental pikiran, pengetahuan, moral ide tindakan pada kebaikan; dan kata Winasis adalah semacam wisdom atau manusia bijaksana pada keadilan bagi semuanya.

Ke [4] Implikasi argumentasi [1, 2,3] ini adalah sebagai manusia idial harus tahu menempatkan diri atau disebut 3 hal [papan, empan, andepan]; diandaikan dalam struktur bahasa: Krama Inggil, Krama Alus, Ngoko Alus, Ngoko Lugu atau madya. Struktur ini secara batiniah memiliki dalam tindakan untuk kemapanan pemahaman individu menempatkan diri, memahami status social diri, atau dalam istilah Papan, Empan, Andepan.

Catatan Kritis saya; dengan melakukan tafsir umum secara hermeneutika, semiotika, dan filologi pada pemahaman 3 tema {" Lamun siro sekti, ojo mateni;  Lamun siro banter, ojo ndhisiki; Lamun siro pinter, ojo minteri"} saya prihatin pada tindakan dan kelakuan para Politisi Partai di Indonesia, atau Perilaku Bawahan {Para Menteri} Pembantu Presiden; perilaku oknum anggota DPR RI;  yang menurut saya sangat jauh dari nilai-nilai Jiwa [mental] sebagai manusia Indonesia yang baik dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan Indonesia.

Bagimana mungkin para Politisi Partai di Indonesia bisa ramai-ramai minta jatah Kursi Menteri; mengakui ditawari kursi Menteri,  atau ada banyak menteri yang tidak cukup kompetensi tapi masih duduk dalam Kabinet minim prestasi; atau  diduga terlibat menyalahgunakan kekusaannya. Inilah fase zaman edan dimana manusia tidak  tahu malu {ora duwe isin]. Rusaknya Negara akibat manusia tidak  tahu malu {ora duwe isin].

Para punggawa Negara, para pembantu presiden atau para elit politik di Tanah Air ini sudah hilang urat nadi pada dua dokrin kebudayaan Indonesia lama yakni [1] "rasa takut [wedi]" dan [2] sikap mental malu [isin].  Para punggawa  negara  masuk fase  "tahu malu"  atau terus menerus mempertontonkan di media masa selalu  "memalukan"  tanpa sikap "sungkan", seperti menjilat ludah sendiri. Menyebar fitnah tanpa data hoaks, atau muka ketawa tanpa bersalah  saat di Kandangin KPK pada operasi OTT adalah contoh lain sikap mental manusia tidak tahu malu {ora duwe isin].

Daftar Pustaka:
Apollo Daito, Ishak Ramli, Indonesia., 2011., The Influence Corporate Social Responsibility, Emotional Intelligence, Leadership, Job Satisfaction with Good Corporate Governance (The Study Empirical on Mining Companies in Indonesia); 10 th International Conference on Corporate Social Responsibility,. 18 - 20 May 2011. Loyola University, New Orleans, USA.

Apollo Daito, 2016., Pembuatan Filsafat Ilmu Akuntansi, Dan Auditing (Studi Etnografi Reinterprestasi Hermenutika Pada Candi Prambanan Jogjakarta

___,.2014., Rekonstruksi Epistimologi Ilmu Pendekatan Fenomenologi, dan Hermeneutika Pada Kraton Jogjakarta

___., 2014., Ontologi Ilmu Akuntansi: Pendekatan Empirik Pada Kabupaten Kota Bogor, Sumedang, Ciamis Indonesia

____,.2014., Ontologi Ilmu: Pendekatan Kejawen Di Solo Jawa Tengah Indonesia

____,2015., Pembuatan Diskursus Teori Konflik Keagenan (Agency Theory), Studi Etnografi Reinterprestasi Hermeneutika Candi Sukuh Jawa Tengah

  ____., 2018., Studi Estetika, Filsafat Seni, dan Seksuasi  Komparasi Wangsa Sanjaya, dan Wangsa Sailendra Episteme bidang Auditing.

_____., 2018., Trans Substansi Leadership Kearifan Lokal Jawa Kuno untuk Indonesia; Makalah disampaikan pada Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa [LKKM) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi International Golden Institute [ STIE IGI ] Jakarta, di Grand Smesco, Puncak Bogor Jawa Barat Tanggal, 27-29 Juli 2018.

______., 2019., Studi Filologi, dan Tafsir  Hermeneutika Serat Wedhatama Kinanthi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun