Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tiga Filsafat Mental [Geist] Bapak Presiden Joko Widodo

7 Juni 2019   14:35 Diperbarui: 7 Juni 2019   14:44 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari cnbc.com

Pada konteks dan teks ini setidak-tidaknya memiliki hakekat mental batiniah Indonesia Lama atau Jawa Kuna, sebagai berikut:

Ke [1 kata "Ojo" artinya jangan atau larangan symbol kematangan mental manusia bisa membedakan antara yang boleh dengan tidak boleh, antara sopan tidak sopan, antara menggar dengan patuh, antara sewenang-wenang dengan rasa hormat pada martabat manusia [human dignity]. Kata [Ojo} adalah semacam larangan universal pada umat manusia supaya hidup memiliki keselarasan atau tidak menyinggung sesama manusia, alam dan Tuhan.

Kata ini bisa dimaknai tidak boleh sombong atau disejajarkan dengan kata ["ojo dumeh" di Indonesiakan  "jangan mentang-mentang"] ditambah satu kalimat menjadi "ojo dumeh eling lan waspodo" di Indonesiakan "tidak boleh sesukanya sendiri atau mentang-mentang, tetapi harus ingat dan waspada"].

Kata "eling lan waspodo", atau "Ojo dumeh". Sebuah kata etika mendalam untuk repleksi diri, hidup yang dihayati berbeda dengan hidup yang dipikirkan. Dengan modal mental ["Ojo"} atau  ingat maka tidak mungkin manusia bersikap "dumeh" (sombong, atau angkuh, menyalahgunakan kekuasan apapun).

Kata Kunci nya adalah {"eling atau iling" atau ingat]. Dimensi kebatinan mengajarkan kata {"eling atau iling"] adalah kepekaan mental yang matang pada segala sesuatu pada hekekat dimensi posisi diri atau evaluasi diri atau mawas diri.

Kata ["eling"] bermakna luas seperti ingat asal usul, ingat susah, ingat mati, ingat Tuhan atau ajaran agama masing-masing, ingat orang tua, ingat sejarah, ingat waktu, ingat status social, ingat usia, ingat tidak ada yang abadi, ingat sakit, ingat Pancasila, ingat keluarga, ingat tugas Negara, ingat siapa yang membuat kita sukses atau ingat utang budi, ingat balas budi, ingat berbuat kebaikan, ingat dosa, ingat susah,  dan seterusnya. Saya rasa kehebatan kata ["eling"] menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia  berbudi luhur dan sikap saling menghormati;

Hasilnya Kata ["eling"]  dapat menjadi manusia yang bertindak dan berbuat tidak bertindak gegabah, memerlukan kematangan perencanaan, dan kesusuaian (pantas) diri, dan cukup diri. Atau wujud ketekunan kesabaran ketelitian (semacam "nrimo ing pandum"). Sabar menerima suka duka, untung malang, sehat sakit, kaya meskin. Menerima realitas tanpa putus asa, patah semangat, dan bertanggungjawab. Hidup adalah bersifat siklus; reinkarnasi transposisi abati: biji, buah, mati, biji buah, mati. Atau istilah manuswa, manjalma, menitis, punarbhaya, dan tidak ada keterbaharuan unik dan baru. 

Sapto Darmo ada 12 belas kesempatan hidup menata hidupnya didunia ini, kemudian melebur dalam kesatuan entitas; manusia ideal mampu menerima kondisi hidup dengan paripurna absennya protes pada apapun tanda sikap Ketuhanan Yang Maha Esa paling luhur pada manusia; atau hidup manusia hanya sebagai Good Will (kehendak baik), pada kewajiban (duty). Akhirnya hasil 3 aspek ini menghasilkan manusia mampu memahamu konsep Tuhan Maha Esa atau {"Tan Keno Kinoyo Opo"} adalah melampaui apapun atau beyond, tidak dapat dikatakan, atau bersifat melampaui apapun;

Ke [2] Tiga terma pada Filsafat Mental Bapak  Presiden Joko Widodo memiliki representasi mental sebagai pemimpin dan manusia pada umumnya dalam memerintah atau bekerja memegang nilai keutamaan {"sepi ing pamrih, rame ing gaweh" atau di Indonesiakan kerja keras, tanpa mengharapkan pamrih apapun"] seperti  sifat jujur, iklas, dan welas asih, senang memberikan pertolongan pada sesama. 

Tugas seorang pemimpin adalah melayani  sebagai kata sejajar dengan pengertian {"sepi ing pamrih, rame ing gaweh"].  Kemudian ditransformasikan menjadi menjadi dokrin Nrimo ing Pandum, Makaryo ing Nyoto. Atau kemudian menghasilkan loyalitas pengabdian pada kondisi apapun bagian jalan kehidupan dengan "kerja nyata" dalam artian memberi lebih banyak tanpa mengharapkan kembali atau pamrih.

Ini tentu berkaitan dengan dokrin Leadership yang baik pada Indonesia lama atau Jawa Kuna tentang sifat pemimpin dalam narasi wayang semar [a] sebagai pamong atau pengasuh Indonesia atau keturunan Pandawa, [b] pemimpin sebagai sifat punakawan melayani masyarakat; [c] pemimpin sebagai representasi kasih Tuhan [para dewa], representasi rakyat kecil dalam metafora semar membangun kahyangan;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun