Ke [3] Kata "ojo" ada tiga ["ojo mateni, ojo ndhisiki, ojo minteri"] sebenarnya menghasilkan output pada diri  manusia ideal dapat memahami mengendalikan diri {tahu diri atau tahu malu] dengan baik pada 3 filologi dasar yaitu: Wiryo, Harta dan Tri Winasis. Kata Wiryo sejajar sikap menghormati hal lain yang lebih tinggi martabatnya orang tua, para pendahulu bangsa, dan apapun yang pantas diagungkan, dihormati; kata harta bukan dalam artian benda jasmani, tetapi harta mental pikiran, pengetahuan, moral ide tindakan pada kebaikan; dan kata Winasis adalah semacam wisdom atau manusia bijaksana pada keadilan bagi semuanya.
Ke [4] Implikasi argumentasi [1, 2,3] ini adalah sebagai manusia idial harus tahu menempatkan diri atau disebut 3 hal [papan, empan, andepan]; diandaikan dalam struktur bahasa: Krama Inggil, Krama Alus, Ngoko Alus, Ngoko Lugu atau madya. Struktur ini secara batiniah memiliki dalam tindakan untuk kemapanan pemahaman individu menempatkan diri, memahami status social diri, atau dalam istilah Papan, Empan, Andepan.
Catatan Kritis saya; dengan melakukan tafsir umum secara hermeneutika, semiotika, dan filologi pada pemahaman 3 tema {" Lamun siro sekti, ojo mateni; Â Lamun siro banter, ojo ndhisiki; Lamun siro pinter, ojo minteri"} saya prihatin pada tindakan dan kelakuan para Politisi Partai di Indonesia, atau Perilaku Bawahan {Para Menteri} Pembantu Presiden; perilaku oknum anggota DPR RI; Â yang menurut saya sangat jauh dari nilai-nilai Jiwa [mental] sebagai manusia Indonesia yang baik dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan Indonesia.
Bagimana mungkin para Politisi Partai di Indonesia bisa ramai-ramai minta jatah Kursi Menteri; mengakui ditawari kursi Menteri,  atau ada banyak menteri yang tidak cukup kompetensi tapi masih duduk dalam Kabinet minim prestasi; atau  diduga terlibat menyalahgunakan kekusaannya. Inilah fase zaman edan dimana manusia tidak  tahu malu {ora duwe isin]. Rusaknya Negara akibat manusia tidak  tahu malu {ora duwe isin].
Para punggawa Negara, para pembantu presiden atau para elit politik di Tanah Air ini sudah hilang urat nadi pada dua dokrin kebudayaan Indonesia lama yakni [1] "rasa takut [wedi]" dan [2] sikap mental malu [isin].  Para punggawa  negara  masuk fase  "tahu malu"  atau terus menerus mempertontonkan di media masa selalu  "memalukan"  tanpa sikap "sungkan", seperti menjilat ludah sendiri. Menyebar fitnah tanpa data hoaks, atau muka ketawa tanpa bersalah  saat di Kandangin KPK pada operasi OTT adalah contoh lain sikap mental manusia tidak tahu malu {ora duwe isin].
Daftar Pustaka:
Apollo Daito, Ishak Ramli, Indonesia., 2011., The Influence Corporate Social Responsibility, Emotional Intelligence, Leadership, Job Satisfaction with Good Corporate Governance (The Study Empirical on Mining Companies in Indonesia); 10 th International Conference on Corporate Social Responsibility,. 18 - 20 May 2011. Loyola University, New Orleans, USA.
Apollo Daito, 2016., Pembuatan Filsafat Ilmu Akuntansi, Dan Auditing (Studi Etnografi Reinterprestasi Hermenutika Pada Candi Prambanan Jogjakarta
___,.2014., Rekonstruksi Epistimologi Ilmu Pendekatan Fenomenologi, dan Hermeneutika Pada Kraton Jogjakarta
___., 2014., Ontologi Ilmu Akuntansi: Pendekatan Empirik Pada Kabupaten Kota Bogor, Sumedang, Ciamis Indonesia
____,.2014., Ontologi Ilmu: Pendekatan Kejawen Di Solo Jawa Tengah Indonesia
____,2015., Pembuatan Diskursus Teori Konflik Keagenan (Agency Theory), Studi Etnografi Reinterprestasi Hermeneutika Candi Sukuh Jawa Tengah