Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bisakah Sidang di Mahkamah Konstitusi Menemukan Jenis Kebenaran Baru [5]

6 Juni 2019   00:17 Diperbarui: 6 Juni 2019   00:29 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisakah Sidang di Mahkamah Konstitusi Menemukan Jenis Kebenaran Baru [5]

Kompas.com - 22/05/2019, 06:57 WIB; dengan judul "Jimly: Gugatan ke MK Bukan Hanya soal Menang atau Kalah", Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 bukan hanya menyangkut ketidakadilan siapa yang menang dan kalah dalam pemilu. Pengajuan gugatan ke MK juga upaya pembuktian hukum terhadap adanya dugaan kecurangan.

["Forum sidang MK ini penting sekali, bukan sekadar soal menang dan kalah]. Forum MK itu kita harapkan berhasil memindahkan kekecewaan dari jalanan ke ruangan sidang. Jadi lebih baik kita berdebat di forum sidang MK," kata Jimly, seusai menghadiri acara Buka Puasa Wapres Jusuf Kalla Bersama Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Istana Wapres Jakarta, Selasa malam (21/5).

Pada tulisan ke [5] ini saya membahas dan ingin membuat diskursus tentang pertanyaan  Bisakah Sidang di Mahkamah Konstitusi Menemukan Jenis Kebenaran Baru. Rangkaian tulisan saya di Kompasiana  [1,2,3,4 ] sebelumnya adalah rangkaian pemikiran yang bersambung menyambung sebagai suatu benang merah dalam upaya mencari dan mendefinisikan apakah Bisakah Sidang di Mahkamah Konstitusi Menemukan Jenis Kebenaran Baru.

Gagasan [9] saya menggunakan pendekatan Filsafat Sejarah [Philosophy of History]; dan [2] pendekatan interprestasi hermeneutika; [3] pendekatan seni memahami; untuk  mencari Jenis Kebenaran Baru dengan menggunakan peristiwa yang sudah terjadi [past event].   

Logikanya adalah pemilu sudah dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 secara serentak di seluruh Indonesia; tanggal  21 Mei 2019 \Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi nasional, dengan rincian Menurut hasil rekapitulasi KPU, jumlah perolehan suara Jokowi-Ma'ruf mencapai 85.607.362 atau 55,50 persen suara. Sementara perolehan suara Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen suara.

Pengajuan gugatan hasil Pilpres Kubu 02 Jumat (24/5/2019) pukul 24.00 WIB. Sidang awal  tanggal 14 Juni 2019; dimana  MK menggelar sidang perdana. MK   memutuskan lanjut atau tidaknya sengketa ke tahapan persidangan dengan mempertimbangkan permohonan beserta barang bukti yang diajukan.  Dan hasil akhir adalah tanggal 28 Juni 2019 MK membacakan putusan akhir finalitas  sengketa Pilpres;

Dengan memperhatikan proses waktu, maka sebenarnya sidang MK adalah upaya pembuktian berupa alat bukti dan barang bukti masa lalu [data historis atau data sejarah]   sudah terjadi pada  pelaksanan pemilu 17 April 2019 secara serentak di seluruh Indonesia. 

Sidang MK yang Agung dan Mulya itu adalah menguji dan melakukan rekonstruksi atau reka ulang masa lalu [dari epsiteme filsafat sejarah] atau past event. Atau mencari kebenaran sejarah itulah esensi umum pada  sidang dilaksanakan di MK yang terhormat .

Pertanyaannya apakah mungkin menemukan kebenaran pada peristiwa masa lalu sudah terjadi atau apakah mungkin memutar ulang peristiwa sejarah 17 April 2019 pada sidang di MK menjadi sama dengan kondisi itu padahal waktunya sudah terjadi; atau  pertanyaan umumnya adalah bagaimana memahami kebeneran pada manusia  sebagai "produk sejarah" atau kemampuan fakultas akal budi apa sehingga data masa lalu itu bisa dihadirkan secara valid sama dengan kekinian;

Sekali lagi saya ulangi sampai ke 4 kalinya. Tidak mudah mencari pendasaran fakultas akal budi, atau ibarat memasukkan seekor unta dalam lubang jarum apalagi jika tidak diperlukan persiapan matang teliti, berjenjang, dan uji data berulang-ulang untuk mencari konsistensi bahwa fakta sejarah [data] pemilu 2019; benar telah terjadi tidak jujur, dan tidak adil. 

Sekali lagi sulit dilakukan dengan waktu yang singkat, dan dukungan data valid reliable yang tidak memadai; apalagi [maaf].... saya tidak tulis menghindari fitnah dan prasangka buruk;

Ibarat  memasukkan seekor unta dalam lubang jarum; tidak mudah melakukan rekonstruksi ulang atau reka ulang past event semacam ini baik pada proses sampai hasil final Situng KPU.  

Maka ada tiga alat yang saya sampaikan adalah [1]  pendekatan Grand Theory adalah Filsafat Sejarah [Philosophy of History]; dan [2] pendekatan interprestasi hermeneutika; [3] pendekatan seni memahami. Berikut ini dijelaskan sebagai berikut:

Ke [10]  pendekatan Filsafat Sejarah [Philosophy of History].  Pemikiran ini adalah digagas oleh filsuf Jerman ( Philosophy of History) yakni (a) Georg Wilhelm Friedrich Hegel [1770-1831], (b) Johann Gottfried von Herder (1744-1803).

Herder mendefenisikan  aspek kesadaran sejarah pada tema- tema volksgeist (jiwa rakyat).  Untuk memahami tranposisi kondisi historis pemberian suara  menjadi kekinian diperlukan kompetensi bidang hukum semacam reparasi, peremajaan, atau pemindahan makna menjadi mungkin dilakukan mencari jenis kebenaran baru dana memungkinkan kebenaran dalam konteks otoritas  menjadi mungkin. 

Para pemohon dalam Sidang MK harus memiliki kemampuan pada inpeksi bukti hukum  baik inpeksi perilaku verbal, dan non verbal, untuk menghasilkan generalisasi konseptual penyimpulan (judgment).

Para pemohon dalam sidang MK harus bisa membuat model persuasi [dialektika retorika logika] sehingga ada mental  yang dihasilkan pada transposisi   masuk kedalam atau aspek psikologi hakim Agung MK sebagai sebuah kemungkinan menjadi sesuatu yang penting dan perlu.

Para pemohon harus bisa menyematkan bahasa, terutama pada pemahaman sekularisme (waktu saat ini)   diikuti dengan "generic".  Tras subtansi "genre" ini diperlukan untuk kesesuaian antara tujuan dan aturan umum tertentu yang disadari dan diikutinya. 

Dengan cara ini memungkinkan menemukan perbedaan material terhadap bukti linguistic di tunjang dengan data atau fakta lainnya yang relevan reliable bahwa kecurangan pemilu 2019 adalah nyata, dan positif ada.

Kesulitan lain adalah terdapat jarak pemahaman yang berbeda, antara selisih suara versi KPU, dengan versi Pemohon 02 pada Sidang di MK. Artinya uji kesalahan atau uji kebenaran  interprestasi  mengalami gangguan pada diri sendiri (miliknya sendiri atau pasangan 02). 

Akibatnya semua fakta bukti yang diajukan bisa berbalik arah ["pemohon membuka diri atau terbuka justru mengalami kesalahan data atau fraud] masuk dalam data terdistorsi oleh ekspresi dalam bahasa  bias atau paradoks dan ambiguitas;

Karena itulah maka pemahaman gugatan harus memiliki nilai  dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi pada kemungkinan yang lebih luas, dan mendalam.

Maka tugas para punggawa hukum pasangan 02 mampu   melakukan "distansiasi" atau rekonsiliasi atau mengubah secara material signifikan pada hasil final rekap Situng KPU  secara kualitatif kuantitatif  melalui  dalil baru dan memungkinkan pemahaman  berbeda, episteme baru sama sekali, sebagai fungsi apropriasi. Inilah salah satu cara Menemukan Jenis Kebenaran Baru yang mungkin;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun