Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ekskursus Filsafat Statistika, dan Quick Count Pilpres 2019

18 April 2019   23:36 Diperbarui: 19 April 2019   00:16 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Platon membagai 3 bentuk metafora alegori untuk mencapai ["idea Yang Baik"] yakni: (1) Matahari (Sun), (2) Dua Garis Membagi (Divided Line), (3) Gua (Cave). Dapat dibaca pada teks  Buku VII The Republic Platon atau Politeia Platon, atau esensi dialog Socrates Glaukon pada teks Buku VII ["514a1 sampai 517a6"].

Pada buku Republic ada empat tahap untuk mencapai kebenaran dari doxa ke episteme. Proses pemikiran visible realm indrawi (sensible) atau Elkasia, dan Pistis; kemudian kepada intelektual, invisible realm pada level Dianoia, ke Noesis. Maka setelah empat tahapan ini maka memiliki kebenaran yang di sebut Agathon atau "sophrosune"

dokpri
dokpri

Ke [3] Implikasi episteme Platon atau Plato ini pada kasus kondisi paradox antara pasangan nomor urut 02 yang tidak percaya dengan validitas reliabilitas hasil pengolahan statistika oleh lembaga Litbang Kompas, Indo Barometer, LSI Denny JA, Median Kedai Kopi, dapat dipahami sebagai berikut:

dokpri
dokpri
[a] Pada pernyataan  3 x 12 jam, pasangan nomor urut 02  tiga kali mengumumkan kemenangannya. Pernyatan pertama menang berdasarkan exit poll sebesar 55 persen; dan pernyataan berikutnya kata update terbaru hasil real count yang sudah masuk, disimpulkan telah menang 62 persen.

Tanpa dibuka metodologi, teknik sampling,  cara tabulasi data, lampiran data, pengolahan data, validitas data silang, dan kaidah ilmu apa yang dipakai. Maka semua pernyataan tanpa membuktikan episteme [kaidah ilmu atau tangga-tangga ilmu]  maka kebenaran semacam ini sebatas "doxa" atau sebatas persepsi atau bayang-bayang realitas atau kemudian menghasilkan pengetahuan sensible (visible world).

Akibatnya adalah  Pengetahuan ini disebut Platon sebagai "Eikasia (persepsi/gosib)" atau "Pistis (kesan pancaindra)". Maka jika tidak ada episteme tatanan statistika logika yang dapat divalidasi ulang cara pasangan nomor urut 02  tiga kali mengumumkan kemenangannya  mereka  adalah dua pengetahuan ini wujud sebuah realitas sesungguhnya atau disebut Platon sebagai pengetahuan "doxa" atau sebatas "opini" belaka yang tidak memenuhi kaidah kebenaran {idea} Platon.

Maka pengetahuan "doxa" atau sebatas "opini" belaka  disebut sebagai pengalaman persepsi indrawi (aesthesis arte), dan menurut Socrates manusia demikian adalah manusia tidak terdidik (apaideusias).

Maka diperlukan tahap selanjutnya atau yang kemudian manusia ini membutuhkan pendidikan [paideia] pembelajar dan membentuk manusia berkebudayaan. Manusia berkebudayaan intelektual adalah memenuhi kaidah atau tangga-tangga ilmiah.

Atau saya sebut sebagai bentuk {"Fallacy"} adalah kesalahan logika pada dua tatanan atau salah satunya terjadi bila penuh inkonsitensi (tidak taat) atau ada perbedaan kontradiksi dalam logika berpikir, dan uji empiriknya mengandung penuh kelemahan pada semua alur berpikir. Aristotle menyebut "Sophistical Refutations"

[b] Maka berangkat pada masalah [a] di atas  dibutuhkan apa yang disebut sebagai azas atau dokrin  Rigoritas atau ketepatan penggunaan pikiran dikemukakan oleh Isaac Watts (1724) ada tiga kriteria yakni appeal to faith, appeal to passion, dan a public appeal to passion.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun