Platon membagai 3 bentuk metafora alegori untuk mencapai ["idea Yang Baik"] yakni: (1) Matahari (Sun), (2) Dua Garis Membagi (Divided Line), (3) Gua (Cave). Dapat dibaca pada teks Buku VII The Republic Platon atau Politeia Platon, atau esensi dialog Socrates Glaukon pada teks Buku VII ["514a1 sampai 517a6"].
Pada buku Republic ada empat tahap untuk mencapai kebenaran dari doxa ke episteme. Proses pemikiran visible realm indrawi (sensible) atau Elkasia, dan Pistis; kemudian kepada intelektual, invisible realm pada level Dianoia, ke Noesis. Maka setelah empat tahapan ini maka memiliki kebenaran yang di sebut Agathon atau "sophrosune"
Ke [3] Implikasi episteme Platon atau Plato ini pada kasus kondisi paradox antara pasangan nomor urut 02 yang tidak percaya dengan validitas reliabilitas hasil pengolahan statistika oleh lembaga Litbang Kompas, Indo Barometer, LSI Denny JA, Median Kedai Kopi, dapat dipahami sebagai berikut:
Tanpa dibuka metodologi, teknik sampling,  cara tabulasi data, lampiran data, pengolahan data, validitas data silang, dan kaidah ilmu apa yang dipakai. Maka semua pernyataan tanpa membuktikan episteme [kaidah ilmu atau tangga-tangga ilmu]  maka kebenaran semacam ini sebatas "doxa" atau sebatas persepsi atau bayang-bayang realitas atau kemudian menghasilkan pengetahuan sensible (visible world).
Akibatnya adalah  Pengetahuan ini disebut Platon sebagai "Eikasia (persepsi/gosib)" atau "Pistis (kesan pancaindra)". Maka jika tidak ada episteme tatanan statistika logika yang dapat divalidasi ulang cara pasangan nomor urut 02  tiga kali mengumumkan kemenangannya  mereka  adalah dua pengetahuan ini wujud sebuah realitas sesungguhnya atau disebut Platon sebagai pengetahuan "doxa" atau sebatas "opini" belaka yang tidak memenuhi kaidah kebenaran {idea} Platon.
Maka pengetahuan "doxa" atau sebatas "opini" belaka  disebut sebagai pengalaman persepsi indrawi (aesthesis arte), dan menurut Socrates manusia demikian adalah manusia tidak terdidik (apaideusias).
Maka diperlukan tahap selanjutnya atau yang kemudian manusia ini membutuhkan pendidikan [paideia] pembelajar dan membentuk manusia berkebudayaan. Manusia berkebudayaan intelektual adalah memenuhi kaidah atau tangga-tangga ilmiah.
Atau saya sebut sebagai bentuk {"Fallacy"} adalah kesalahan logika pada dua tatanan atau salah satunya terjadi bila penuh inkonsitensi (tidak taat) atau ada perbedaan kontradiksi dalam logika berpikir, dan uji empiriknya mengandung penuh kelemahan pada semua alur berpikir. Aristotle menyebut "Sophistical Refutations"
[b] Maka berangkat pada masalah [a] di atas  dibutuhkan apa yang disebut sebagai azas atau dokrin  Rigoritas atau ketepatan penggunaan pikiran dikemukakan oleh Isaac Watts (1724) ada tiga kriteria yakni appeal to faith, appeal to passion, dan a public appeal to passion.