Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tinjauan Pustaka sebagai Knowledge

29 Maret 2019   14:00 Diperbarui: 29 Maret 2019   14:15 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tinjuan Pustaka Sebagai Knowledge

Mutu tulisan apapun, dan riset umumnya ditentukan oleh kedalaman dan pembatinan pada kajian literatur atau kajian pustaka. Maka Kajian pustaka adalah bagian episteme untuk menjawab pertanyaan penelitian atau hal yang ingin diketahui. Pada tulisan ini saya membahas pada esensi pentingnya kajian pustaka. Mutu tulisan apapun tanpa sumber kepustakaan yang baik adalah tidak memiliki makna apa apa.

Episteme  Problem Solving. Pada tinjauan pustaka disebut dalam filsafat ilmu sebagai ontologi sebagai pengadaan untuk menyusun operasionalisasi variabel, dapam bentuk sub variabel, dimensi, dan indikator. Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: (1) definisi sejati, (2) definisi nir-sejati.

Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam: (a) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif, (b) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas).

Contoh adalah pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua. (c) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh: "Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi".

Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud. Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: (a) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting, (b) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: "Membunuh adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji". Dalam definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa menurut Agama apapun).

Selain itu tinjauan pustaka dapat berupa (a) Hipotesi konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotis, (b) Hukum, Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum , (c) Teori Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut teori.

Tinjuan pustaka harus dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu: (a) Sistem axiomatis, Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya matematika,

(b) Sistem empiris, sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu pengetahuan alam dan sosial,

(c) Sistem semantik/linguistik, dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).

Landasan Tinjauan Pustaka Keseluruhan.       Ilmu  (sains) adalah citpaan logika manusia, manusia  bisa mencari ilmu dan mempelajarinya. Ilmu terbagi dalam tiga bagian yakni Ontologi, Epistimologi (filsafat ilmu), dan Aksiologi. Ontologi adalah segala sesuatu yang bertalian dengan terbentuknya ilmu, Epistimologi (makna ilmu) tentang seluk beluk ilmu itu sendiri, apa kemampuaannya dan apa pula keterbatasannya.  Dan aksiologi  adalah hal-hal yang bertalian  dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Ilmu diperoleh manusia berdasarkan wahyu dan sisanya diperoleh dengan menggunakan rasio dan kalbu (rasa). Kemampuan rasio (nomotetikal) terletak pada membedakan atau menyamakan,  dan menggolongkan berdasarkan kesamaan. Landasan sains adalah konsep, komparasi, dan kausal dengan menitikberatkan nalar dan uji empirik.

Konsep  adalah hasil konseptualisasi, dan konseptualasi timbul dari persepsi inderawi yang berada dalam pikiran (mind) atau disebut knowing (mengetahui) yang mencerminkan phenomena jagat raya, yang bersifat subjek dan predikat. Komparasi adalah membandingkan  (melihat kesamaan dari perbedaan) dan (melihat perbedaan dari persamaan) sehingga diharapkan kita lebih tahu apakah bersinggungan, sama dengan, lebih besar, lebih kecil, tercakup didalam, dan meliputi. Kausalitas atau sebab akibat (jika X, maka Y) atau disebut proposisi yang merupakan derajat ke-tahu-an yang paling tinggi seperti logika yang ditemukan Aristoteles  melalui silogisme.

Epistimologi ialah meaning atau makna dari ilmu yang membentangkan apa dasar-dasar nalar yang digunakan, apa yang diraihnya, dan apa keterbatasannya. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada pengalaman manusia, berguna dalam menanggulangi masalah-masalah  yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu tidak mungkin diuji secara empirik bila berada diluar pengalaman manusia (transendental).  Ilmu merupakan terdiri dari tiga aspek mengenai apa (ontologi), bagimana (epistimologi), dan untuk apa  (aksiologi) terkait antara ilmu dan moral, yang ketiganya saling.

Tujuan ilmu  bagi manusia untuk memecahkan persoalan manusia dengan meramalkan dan mengawasi gejala alam. Metode ilmiah merupakan prosedur  dalam mendapatkan  pengetahuan yang disebut ilmu.  Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah.  Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan  pengetahuan  yang cara mendapatkannya  harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Menurut Palmquis (2000: 259) ilmu merupakan gabungan dari ontologi, logika, akal (matahari) , tradisi, dan metafisika atau disebut pohon filsafat (the tree of philosopy) yang terdiri dari daun (ontologi), ilmu (dahan), logika  (batang) dan akar ilmu (metafisika). Ilmu berasal dari kata sciens, merupakan salah satu dari empat aspek utama filsafat, yang bertujuan menetapkan tapal batas transendental antara pengetahuan, dan kekebalan diberbagai bidang. Dipandang dari pengertian sempit  ilmu sebagai empirik yang melampui filsafat dengan mengabaikan  semua mitos, tetapi secara paradoks berakhir dengan menciptakan salah satu dari mitos-mitos modern terbesar.

Dapat disimpulkan ilmu merupakan gabungan dari ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang mempelajari pengalaman manusia dan berhenti pada pengalaman manusia serta berguna dalam menanggulangi masalah-masalah  yang dihadapinya sehari-hari.

Tinjuan Pusataka sebagai Knower

Tinjuan pustaka merupakan knower merupakan optimalisasi kemampuan untuk mengetahui dengan menggunakan rasa dan rasio diperlukan model rangsangan dalam bentuk: (1) perceptive (menerima rangsangan secara pasif, (2) Conseptive (proses persepsi yang dioleh secara kreatif sehingga membentuk konsep).  Kemampuan analisis berpikir dapat diuraikan sebagai berikut,

(1) kemampuan kognitif merupakan kemampuan untuk mengetahui dalam arti lebih dalam beupa mengerti, memahami, dan menghayati, dan mengingat apa yang diketahui tersebut. Landasan kognitif adalah akal/rasio yang sifat dan kemampuannya netral,

(2) Kemampuan afektif yaitu kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya. Bila kognitif bersifat netral maka afektif justru tidak netral/memihak, misalnya rasa cinta dan benci, baik dan buruk. Rasa menghubungkan manusia dengan kegaiban dan rasa ini yang merupakan sumber kreativitas manusia. Dengan rasa ini manusia menjadi bermoral (lebih manusiawi) dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa rasalah yang menjadi tiang kemanusiaan. Rasa  sebagai keagungan manusia dan sekaligus kekurangan manusia apabila rasa terkena godaan syeitan dan menimbulkan berbagai macam kecelakaan termasuk tidak berfungsinya rasio menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah,

(3) Kemampuan psikomotorik/ konatif yaitu kemampuan daya dorong manusia untuk bergerak  mendekati atau menjauhi segala apa yang ditekan oleh rasa, sebab rasalah yang memutuskan apakah sesuatu itu harus dicintai dan dibenci, dinyatakan indah atau buruk dan menjadi sifat manusia dan sifat manusia akan mendekati yang ia cintai, dan sebaliknya membuang/menjauhi yang dibencinya dan yang dinyatakan buruk. Aspek psikomotorik sebagai kemampuan mencapai/ keinginan/ will /karsa. Tokoh-tokoh adalah pemikiran ini adalah Rene'  Descartes (Cogito Ergo Sum), William James (pragmatisme/nafsu penindasan), dan Karl Marx (tesis antitesis/nafsu kekuasaan), Sigmund Frud (id= ketidaksadaran, ego = kesadaran, superego= mekanisme sensor) yang berkognisi dengan ajaran jahat (seks), Al Ghazali (kesadaran inderawi, akali, rohani). Bentuk knower akan menghasilkan kurikulum ini akan menghasilkan kemampuan untuk  melakukan Komparasi, Explanasi, Generalisasi.

Tinjuan Pustaka sebagai Knowing (nalar)

Bernalar atau berpikir merupakan titik pangkal awal dalam mengkaji ilmu, sejak zaman Yunani Kuno  Socrates, Platon,  Arsitoteles, mengembangkan cara berpikir dengan SILLOGISME yaitu dengan mengembangkan logika deduktif  berupa premis mayor, premis minor dan simpulan yang bersifat non empirikal. Dalam pengoptimalisasi knowing diperlukan dua aspek yaitu : (1) Creativity (keingin tahuan) , dan (2) Curriousity (penciptaan ide-ide baru untuk mengembangkan ide-ide baru tersebut).

Dalam bernalar ada dua aspek yaitu  nomena hanya mampu dipikir secara persepsi/tidak  dapat diindera/kontemplasi); phenomena (dapat diindera/dipersepsikan, menggunakan indera) Bernalar bisanya menggunakan logika  (dunia adalah ciptaan rasio & rasa), dalam aspek ilmu matematika  (bersifat deduksi) merupakan kumpulan analisis logika. Logika  dua titik disebut garis ; tiga  titik disebut bidang; empat  titik disebut sudut.

Tinjuan Pustaka Sebagai Knowledge

Knowledge merupakan perpaduan  antara rasionalisme dan empirikme atau perpaduan antara logika (apriori/non sensual) dan matematika (deduksi/normatif) atau disebut  deducto hypothetico. Kedua konsep ini disebut DUALISME (deducto hypothetico-empirico verification disebut  Scientific method. Knowledge berhubungan dengan kepercayaan tentang dunia external tentang pertalian dengan ingatan; dalam konteks fungsi sains, knowledge berada pada tatanan aspek epistimologinya. Cara mendapat knowledge diperoleh melalui rasionalisme, pengalaman, empirikme, intuisi, wahyu. Knowlegde adalah aspek anatomi ilmu terdiri fenomena, konsep, konstruk, definisi, proposisi, fakta, teori.

Tinjauan Pustaka sebagai Teori

Descartes mengidentifikasikan dua elemen metode ilmiah yakni : (a) elemen empirik, menggunakan pengamatan dan panca indera; (b) elemen rasional, menggunakan matematika dan pemikiran  deduktif. Keberhasilan metode pengamatan melebihi  pemikiran, teori dan sistem. Teori  merupakan : (a) metode keraguan (teori pengetahuan) yaitu menggunakan  keraguan secara metodologis  untuk  mencapai pengetahuan sejati; (b) teori pengetahuan ide yang merujuk kepada tiga ciri utama yakni dari mana datangnya, realitas apa yang ada didalamnya, dan merujuk ke mana.

Teori dengan hipotesis tidak berbeda secara prinsip kedua-duanya  merupakan  dasar  ramalan  untuk mengantisipasi  jawaban terhadap  masalah yang digarap. Karena sifatnya masih sementara dan tentatif sehingga  mempunyai implikasi untuk diuji  lebih kebenaran ilmiahnya. Perbedaan antara teori dengan hipotesis  terletak pada bentuk perumusannya pernyataannya.

Teori lebih bersifat deskriptif  dan eksplanatoris; sedangkan hipotesis  lebih ringkas, sederhana, kongkrit, dan eksplisit.  Teori  merupakan proposisi yang dielaborasikan lebih lanjut  sampai diketahui mekanisme hubungan  antara hal-hal yang bersangkutan hingga terwujud konsep hubungan yang kongkrit yang bersifat deskriptif (menggambarkan) dan menjelaskan (eksplanatoris).

Teori yang pernah diuji kebenaran ilmiahnya merupakan sumbangan baru bagi  perkembangan ilmu yang bersangkutan, berupa tambahan teori baru. Teori baru disebut premis. Serangkaian premis yang tersedia dan masing-masing telah teruji kebenarannya, merupakan  sumber untuk menyusun deduksi hipotesis.

Teori  merupakan suatu abstraksi (penjelasan)  intelektual di mana pendekatan secara  rasional digabungkan  dengan pengalaman empirik  yang  diawali dengan fakta dan diakhiri dengan fakta nyata.  Artinya  teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional  yang berkesesuaian  dengan objek   yang dijelaskannya.  

Dua syarat teori ilmiah yakni : (1)  harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan  tidak terjadinya kontradiksi  dalam keilmuaan secara keseluruhan (teori koherensi), dan (2) harus  dengan fakta empirik  sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung fakta empirik  tidak dapat diterima sebagai suatu teori atau hipotesis didukung oleh fakta empirik (teori korespondensi). Jadi teori adalah metode ilmiah yang merupakan gabungan antara teori koherensi (berpikir deduktif atau logika matematika) dan korespondensi (berpikir induktif/positif atau logika statistika)  atau disebut logico hypothetico verifikatif.

Hipotesis yang telah teruji kebenarannya menjadi teori ilmiah, yang kemudian dipakai dalam penyusunan premis  dalam mengembangkan hipotesis selanjutnya.  Secara kumulatif teori ilmiah  berkembang seperti piramida  terbalik makin lama, makin tinggi. Dengan demikian  pada kajian tunjauan pustaka dapat berupa konstruktivisme.

==== dilarang mencopy tanpa mencantumkan sumber citasi =====

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun