Jean Paul Sartre mengajukan suatu pandangan tentang relasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terutama konsep dialektika tuan-budak sebagai relasi objektifasi. Sartre melihat kesadaran selalu ada berbarengan dengan hasrat.
Relasi antara manusia terjadi juga tepat karena masing-masing memiliki hasrat untuk melampaui kekurangan-kekurangan (lack) yang mereka miliki. Manusia, sebagai subjek yang selalu kurang (subject of lack), secara langsung mengarah pada dunia untuk memenuhi hasrat dan melampaui kekurangan-kekurangan yang ia rasakan.
Pada titik ini kesadaran tidak hanya dipahami sebagai semata-mata kesadaran, tetapi kesadaran sebagai kesadaran-diri (self-consciousness). Kesadaran diri bertumbuh ketika manusia berhasil menjadikan dirinya sendiri sebagai objek refleksi. Pada momen itu saya dapat melihat diri saya sebagaimana orang lain melihat saya, yakni sebagai objek perhatian mereka.
Dengan kata lain kesadaran diri hanya mungkin dicapai melalui kesadaran dari orang lain. Saya sangat tergantung dari pengakuan orang lain tentang diri saya. Caranya “hanya dengan melihat bagaimana orang lain melihat saya”.
Ketergantungan pada ‘yang lain’ merupakan suatu syarat yang diperlukan supaya orang bisa bergerak dari tahap pra-reflektif ke tahapan reflektif, atau dari tahap kesadaran menuju tahap kesadaran diri. Kondisi tersebut secara filasafat adalah menggambarkan tahap cermin (mirror stage), yakni tahap di mana orang mengenal dirinya sendiri melalui bagaimana orang lain melihat dirinya.
Teori cermin (mirror theory) berpendapat kemampuan orang untuk melihat dirinya dari kaca mata orang lain merupakan syarat-syarat yang dibutuhkan supaya dirinya bisa menerima pengakuan publik, diinternalisasikan sebagai nilai-nilai sosial yang memberikan saya status sebagai subjek yang sah.
Distingsi dasar dibuat Sartre adalah antara kesadaran manusia sebagai pour soi, dan objek-objek di dalam dunia eksternal sebagai en soi. Esensi manusia, sebagai pour soi, adalah ia selalu merasa ‘kurang’. Ia selalu memiliki ‘ketiadaan’ di dalam dirinya, dan hal ini sangat berbeda dengan objek-objek di dalam dunia eksternal yang sudah penuh pada dirinya sendiri.
Rasa ‘ketiadaan’ merupakan tanda manusia itu bebas, yang diekspresikan dalam subjek yang selalu ‘kurang’ dan belum jadi, manusia selalu bisa menentukan sendiri pilihan-pilihannya, dan terbuka bagi berbagai macam kemungkinan di masa datang..
Dihubungkan dengan ”being and nothingness” Sartre mengajukan pendapatnya tentang pengakuan, yakni sebagai pelanggaran terhadap kebebasan dasar manusia. Pandangannya yang terkesan sinis dirumuskan dalam konsep ‘tatapan’. Setiap hubungan intersubjektif selalu mengakibatkan hilangnya kebebasan manusia dikaitkan dengan profesi akuntan.
Relasi antar manusia membuat manusia yang satu menjadi objek bagi manusia yang lain. Lebih jauh Jean Paul Sartre kemudian berpendapat saya tidak mungkin menjadi subjek sekaligus objek bagi orang lain. Satu-satunya cara bagi saya supaya dapat keluar dari tatapan objektifasi orang lain adalah dengan menatapnya kembali, dan membuat orang lain menjadi objek dari tatapan saya.
Dengan begitu saya meraih kembali kebebasan yang tadinya hilang akibat tatapan orang lain. Inilah argumen paling inti di dalam pandangan Sartre tentang ”intersubjektifitas, yakni hubungan antar manusia ditandai dengan konflik yang tak berkesudahan antara masing-masing orang yang saling berusaha mempertahankan kebebasannya masing-masing dengan menjadikan orang lainnya sebagai objek”.