“Bahasa dari ruang private”, demikian tulisnya, “adalah bahasa penciptaan diri individual. Bahasa dari ruang publik adalah bahasa dari penderitaan dan penghinaan – bagaimana mengenali mereka, siapa yang menderita paling besar, dan bagaimana mereka dapat diringankan. Menurut Richard Rorty, ruang publik juga tidak selalu didasarkan pada rasionalitas.
Banyak keputusan-keputusan yang diperdebatkan di dalam ruang publik seringkali lebih memberi porsi pada sentimen-sentimen dan afeksi-afeksi, yang tidak didasarkan pada argumentasi rasional. Ruang publik ini disebut juga sebagai ruang publik poetik (poetic public sphere).
Buku utama adalah Contingency, Irony, and Solidarity. Dijelaskan sebagai berikut: Contingency adalah komitmen moral seseorang, yang mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Sebagai seorang yang mengidealkan nilai-nilai ironisme liberal, Rorty berpendapat bahwa kosa kata final seseorang juga bersifat kontingen, yakni suatu produk dari konstruk sosial tertentu yang tentu saja dapat berubah.
Irony adalah tugas memahami penderitaan manusia, dan kemudian menyebarkan kesadaran akan penderitaan tersebut tidak lagi berada di pundak para filsuf dan teoritikus sosial, tetapi kini menjadi tugas para novelis, jurnalis, dan para penyair.
Hanya merekalah yang dapat sungguh memahami kompleksitas realitas kehidupan manusia. Rorty berpendapat bahwa para filsuf dan para teoritikus sosial mudah sekali jatuh ke dalam cara berpikir yang hendak merumuskan metafisika tentang penderitaan.
Solidarity, Solidaritas pun tumbuh. Kepekaan sosial mulai tercipta. Penderitaan yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan dan direfleksikan di dalam syair, puisi, dan novel. Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair.
Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina. Solidaritas pun tumbuh. Kepekaan sosial mulai tercipta. Penderitaan yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan dan direfleksikan di dalam syair, puisi, dan novel.
Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.
Teori Jean-Paul Charles Aymard Sartre (1905-19800, yakni Konflik Eksistensial Manusia (Being and Nothingness =Konsep ‘tatapan’), dengan Posmodernisme Pernyataan Sartre 1: "L'existence précède l'essence." di artikan "Eksistensi mendahului esensi (intisari)").
Posmodernisme Pernyataan Sartre 2: L'enfer, c'est les autres." ("Neraka adalah orang lain."), kehadiran SAK, SPAP, merupakan neraka bagi Narasi Kecil, demikian sebaliknya upaya Narasi Kecil melawan Narasi besar.
Seringkali, kita boleh atau tidak menjadi diri kita sendiri, karena kita akan di anggap menganggu kepentingan suatu mahluk yang di sebut masyarakat. Pengakuan bukanlah penolakan terhadap keberlainan, dan juga bukan sebuah reduksi yang lain (the other) kepada yang sama (the same).