Pada kasus-kasus dan kondisi tertentu paradoks tindakan kebaikan, didasari oleh pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan dan penderitaan yang lebih besar, (termasuk apapun wajib diragukan).Berbuat baik adalah nilai yang cukup universal. Semua dokrin budaya, mitos, agama, dan filsafat mengajarkannya. Ini ditemukan di semua peradaban yang telah dikenal manusia.
Namun, ada masalah tersembunyi disini (="Forensic Science or Criminalistics"}, atau dapat ditafsir secara semoitika, hermeneutika, atau metamakna . Saya curiga dan menduga ada  fungsi rasionalitas, dan maksimum kebahagian, serta cinta pada hidup dapatb tercapai maka tiap manusia perlu {"Peraturan Bagi Diri Sendiri"} tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini dapat dijelaskan dengan metaphor berikut pada tulisan ini, dan bagimana seharusnya memahami Pardoks dan Kecurigaan berbuat baik dapat dipahami dengan kedalaman, dan keluasan yang melampaui.
Ada bahaya dari berbuat baik; banyak perbuatan atas nama atau mengatasnamakan perbuatan  baik justru membuat susah manusia lain. Banyak orang akhirnya hidup dalam ketergantungan pada kebaikan orang lain. Mereka menjadi seperti candu rokok atau tembakau ketergantuangan tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam hidupnya. Pepatah lama kiranya berkata jalan ke kejelekan seringkai disebulungi kata-kata kalimat baik atau dinyatakan dengan kehendak baik.
Pada kasus-kasus dan kondisi tertentu paradoks, perbuatan baik justru membunuh orang lain, atau perang mitologi Yunani,Perang Troya, dunia 1, dan perang dunia 2, atau Perang Vietnam, Crusades atau Perang Salib, atau Perang Afganistan Taliban atau War in Afghanistan. Atas nama perbuatan baik menciptakan hubungan-hubungan antar manusia yang tidak adil.
Hitler memusnahkah orang Yahudi atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman pada awal abad 20. Data Orde Baru membantai ratusan ribuan atau ratusan manusia  atas nama kehendak baik bagi kejayaan Republik Indonesia (NKRI), dan atas nama keamanan nasional.
Pada kasus-kasus dan kondisi tertentu paradoks, misalnya atas  nama kebaikan juga maka sampai sekarang ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh, menyiksa dan memperkosa warga di Irak dan Suriah. Mereka melakukannya atas nama kebenaran dan kebaikan pada persepsi kesadarannya. Mereka mengira, perbuatannya adalah perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama ditemukan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara, bahkan ISIS di Indonesia.
Tentu saja jawaban dapat ditemukan dalam macam-macam teori etika misalnya pada teori Etika Kepedulian pendapat Carol Gilligan, Robert Spaemann, Dame Jean Iris Murdoch, Emmanuel Levinas, Lawrence Kohlberg.
Maka pada kasus-kasus tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip moral (tindakan) Kant atau Immanuel Kant (1724-1804), menyatakan: {"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga Anda selalu memperlakukan umat  manusia entah di dalam pribadi Anda maupun di dalam pribadi setiap orang lain sekaligus sebagai tujuan, bukan sebagai sarana belaka"}.  Bahwa yang disebut tindakan baik adalah wajib (deontologis) tanpa syarat, dan tidak menggunakan manusia sebagai sarana (intrumentalisasi manusia).
Berbuat baik tanpa pamrih apapun dalam ukuran bentuk apapun (diandaikan daam"dunia, atau sorga" atau pertimbangan jasmani rohani) bahwa baik adalah baik tanpa syarat atas nama bangsa, negara, keluarga, suku, bahasa,  bahkan atas nama Tuhan.  Atau berbuat  baik tanpa harapan  dengan motivasi apapun atau motivasi hidup diseberang hidup.  Jangan mengharap dari apa yang dilakukan, atau semacam pamrih (return), karena kemanusian dengan cara ini bukanlah kemanusian yang idea.
Kemudian untuk menyatakan tindakan tersebut layak dan bisa dilaksanakan (action) dan terbaik oleh rumusan Kant atau Immanuel Kant (1724-1804), tentang imperative kategoris: ["Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus kaukehendaki menjadi hukum umum"]. Â Misalnya kalau mau mencuri buah mangga maka dapat diumumkan di RT atau RW atau hukum positif [hukum umum] Â bahwa saya ingin mencuri mangga apakah diperbolehkan.
Artinya mencuri mangga di umumkan ke public sebelum dilakukan pencurian.  Jika hukum umum tidak memperbolehkan maka tindakan tersebut adalah salah. Atau saya berbuat baik [bohong] supaya  tidak dihukum, atau supaya naik jabatan, atau demi uang, atau demi keselamatan. Maka proses internalisasi ini dapat dibedakan ["antara Legalitas adalah perbuatan baik harus sesuai hukum, sedangkan moralitas adalah suara hati"].
Memang ada kerumitan dalam aplikasi dokrin Kantian ini, bahwa tidak ada satupun isi hati manusia dapat diketahui. Disini paradoksnya. Â Artinya tidak mudah untuk sampai kepada {"Peraturan Bagi Diri Sendiri"} adalah harus disaring difilter (semacam satpam) dengan isi hati. Tidak ada apapun bisa memerintah saya tanpa syarat kecuali isi hati saya.
Atas nama kesadaran, suara hati, menolak apapun tidak ikut-ikutan siapapun. Artinya berbuat baik adalah keabadian tak berwaktu, memandang Telos mengandaikan tak berwaktu seperti matahari, matematika, dan bintang-bintang dilangit, dan hukum moral ada dalam batinku.
Demikian juga dokrin pada  etika Hedonisme Epikuros bahwa kebahagiaan hidup adalah kenikmatan. Kenikmatan adalah tujuan hidup manusia mencari maksimum kebahagiaan. ["Epikuros, Stoa, dan Aristotle"] dalam menilai tindakan pada perpektif ["Eudainonisme"] sebagai wujud pada  practical wisdom ("phronesis") atau supaya ada kondisi yang kondusif untuk manusia mencari kebahagiaan.
Maka bagi Stoa Practical  wisdom ("phronesis") adalah wujud kemampuan manusia menyesuaikan diri dengan hukum alam semesta, hidup sederhana menikmati kebahagian sekecil apapun, tidak perlu bimbang kwatir, dan kemampuan menerima realitas tanpa patah, dan tidak membrontak atau komplin pada semua keadaan situasi.
Maka bagi Aristotle bahwa practical  wisdom ("phronesis") adalah kemampuan individu mengembangkan seluruh potensi menjadi nyata, dan menciptkan prestasi.  Mencari nama baik dengan prestasi. Itulah gaya hidup yang dikehendaki Aristotle. Nikmat adalah keberhasilan dalam menciptakan prestasi. Jika mau bahagia maka buka roh kesadaran, dan akal budi kemudian libatkan dengan sesama. Bagi Aristotle ("phronesis") bukan sesuatu yang dapat dipelajari, membutuhkan keterbukaan hati, dalam sikap masuk akal.
Lalu sekalipun semua perguruan, semua lembaga pendidikan, pengajaran, budaya dan mitos  di dunia ini telah mengajarkan tentan teori moral, tetapi faktanya justru pelanggaran dan kepatuhan pada moral justru selalu (bersama-sama) berbarengan muncul pada saat waktu sama terjadi kejahatan (dalam makna fenomenolog).
Atau setiap ada upaya menghilangkan bentuk bentuk pelanggaran etika, atau moral namun pada saat yang sama justru terjadi sebaliknya dekadensi moral bersamaan terus terjadi tidak pernah berhenti, dan tak dapat dihentikan dengan segala peraturan regulasi, hukuman mati, dan hukuman atas nama apapun juga.
Artinya selama dunia ini ada selama itu juga kebaikan atau Practical  wisdom ["phronesis"], dan  kejahatan bermunculan bersama-sama. Inilah saya sebutkan sebagai bentuk secara kesadaran (logika) pada kasus-kasus, dan kondisi tertentu kebaikan adalah bersifat paradoks. Lalu bagimana adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks ini dapat diterangkan.
Pertama (1) Platon metaphysical, menyatakan pengetahuan manusia hanyalah "hinter-welt" (dunia bayang-bayang), dari idea. Waktu disebutkan (1) Lachesis atau waktu masa lampau; (2) Clotho, atau waktu masa kini; (3) Atropos atau waktu masa mendatang.  Pada buku 10 Republic Platon; [617c]....who sat round about at equal intervals, each one on her throne, the Fates, daughters of Necessity, clad in white vestments with filleted heads, Lachesis, and Clotho, and Atropos, who sang in unison with the music of the Sirens, Lachesis singing the things that were, Clotho the things that are, and Atropos the things that are to be. And Clotho with the touch of her right hand helped to turn the outer circumference of the spindle, pausing from time to time. Atropos with her left hand in like manner helped to turn the inner circles, and Lachesis.Â
Maka takdir manusia sebenarnya ada sewaktu berada di dalam ketidaksadaran pra eksistensi manusia di dunia ini.  Atau pilihan hidup manusia secara metafisik adalah pilihan sebelum dilahirkan atau kejadian pada saat  fenomena air sungai "lupa" berwujud reinkranasi atau metafisik atau daya purba sedang bekerja. Narasi waktu Waktu (1) Lachesis, (2) Clotho, (3) Atropos memungkin seluruh hal [ada dalam dunia] atau ["In-der welt sein"] bahwa ide keseharian (everydayness) menampilkan "Desain" atau ada dalam memosisikan diri didunia, yang tidak terpisah dari alamnya dalam 3 dimensi waktu (1) Lachesis, (2) Clotho, (3) Atropos. Tiga dimensi waktu ini lah persatuan menentukan takdir atau justice [dike].
Pemikiran kedua (2) Â adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks, di andaikan dalam paradoks Zeno atau Zeno of Elea (c. 450 BCE), atau perlombaan antara Achilles dan kura-kura. Karya Homerus Iliad, situasi kura-kura mengajak duel tanding dengan Achilles dengan syarat kura-kura posisinya lebih duluan sedikit waktu jarak 10 meter. Kelambanan kura-kura dianggap gampang oleh Achilles.
Pertandingan itu pada akhirnya dimenangkan Kura-kura yang lamban dibandingkan Achilles. Â Setiap pengejaran ketertinggalan hukum atau etika tidak mampu disusul dengan selisih jarak oleh kejahatan, karena pada saat yang sama ada penambahan jarak yang tidak pernah berhenti, dan setiap itu penambahan ada jarak sekecil apapun.
Jadi hukum atau etika kebaikan tidak bisa mengejar, dan seterusnya sampai selama-lamanya. Jadi semua gerakan kebaikan bersifat damai dan finalitas adalah tidak mungkin. Jarak berubah menjadi , menjadi 1/8, menjadi 1/32, menjadi 1/64 dan menjadi tak terhingga.
Pada Russell's contradiction diandaikan ketika lampu mati, sama dengan lampu ketika menyala, ketika kebaikan (hukum) dilakukan saat yang sama kejahatan (pelanggaran hukum) juga hadir. Adalah ketidakmungkinan mengisolasikan atau negasi (tidak) pada kejahatan (pelanggaran hukum).
Tentu saja paradoks ini didukung dalam logika pemikiran "Horned Man" klasik, atau Sorites Paradoks pada manusia kepala botak, sampai kepada paradoks (Burali-Forti, Cantor), Â property, set, class atau contradictions (Russell, Zermelo); proposition and truth (Russell); Â sampai kepada pemikiran continuum teori (Richard, Knig, Bernstein, Berry, Grelling).
Pemikiran ketiga (3)  adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks, pada pemikian Sigmund Freud (1856 to 1939), Three Contributions to the Theory of Sex, bahwa Freud curiga dengan tatanan seksuasi dalam artian luas. Misalnya hewan pakai baju, dan manusia dikurangin bajunya dalam konteks komersialisasi bisnis, atau iklan adalah ekploitasi tubuh manusia. Rumah sakit hewan, dan budaya hewan ditingkatkan.
Maka pemikiran tentang seksuasi dalam arti luas memunculkan perilaku paradoks manusia. Dan pada saat yang sama ada kegagalan life saving, response time kecepatan dan ketepatan penanganan dalam order atau fungsi negara hukum.
Pemikiran ke empat (4) adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks, akibat dorongan persaingan manusia dalam mechanism kehidupan. Atau kehidupan saling  Pemikiran  Thomas Hobbes, Bellum omnium contra omnes, artinya  "the war of all against all", perang semua melawan semua, sebagai gambaran umum keadaan manusia.
Semacam terjadi hewanisasi dalam kehidupan manusia atau saling buas untuk memuaskan diri sendiri kemudian mendapatkan mandatory power (kekuasaan legitim), dan pada saat yang sama disfungsinya law and order (tidak adanya ketertiban hukum) atau tatanan etika atau absennya sikap yang berbudi luhur. Darwinisme ekonomi dan sosial, kemampuan bertahan hidup.
Pemikiran ke lima (5) adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks, pada pemikiran Ludwig Andreas von Feuerbach (1804-1872), dan Karl Marx (1818-1883) menjadi dua tokoh besar, curiga dengan uang atau seluruh tindakan dan  pemikiran manusia dipengaruhi oleh rasionalitas  hal-hal material (khususnya uang).
Uang diperoleh akibat adanya perluasan hak atau laba. Dokrin Kapitalisme ["Surplus Value Marx"] adalah analisis  bentuk "alienasi" manusia dalam struktur atau suprastuktur kesadaran pada dua bangunan dalam masyarakat, yang ditransfer melalui sistem ekonomi pasar. Hal ini terjadi, karena manusia mencari kebahagian tidak memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya ditopengi dengan perhitungan untung rugi dan nafsu jahat. Saldo lebih nikmat lebih atau surplus value ini adalah identic dengan konsep etika  John Stuart Mill, Jeremy Bentham atau Utilitarianisme.
Setelah membahas 5 pemikiran, maka pada pemikiran  ke enam (6) adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks dijelaskan dengan pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), tentang (beyond evil and good). Bahwa kejernihan pikiran lahir dari kesadaran ini membuat manusia wajib menjadi kritis. Kita tidak lagi menjadi manusia naif  gampang percaya apapun juga dan semua wajib dipahami secara skeptisisme model Cartesian.
Kita melihat kenyataan sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang diberikan kepada kita oleh guru, pendidik, ilmuwan, jurnal ilmiah, puisi, seni, pejabat, atau  media, atau pihak-pihak lain yang hendak menyembunyikan kebenaran dengan cara "membuat topeng" atau bermain retorika. Kita harus mencari pure reason model Kantian. Tidak bisa tidak bisa tertipu oleh segala bentuk pencitraan.
Saya dapat berjalan sendiri sesuai  {"Peraturan Bagi Diri Sendiri"} sesuai suara hati, maka lalukan tanpa syarat. Atau mencapai kebenaran (episteme) tidak mudah menyatakan atas nama apapun, dan tanpa fakta empirik apapun. Kita wajib memberikan kontemplasi 10 kategori baru  atau 12 makna kategori baru  atau lebih definisi apa itu kejahatan, dan apa itu upaya melarang berbuat jahat, dan mengapa manusia harus baik.  Bahwa semua yang ada didunia ini adalah bentuk memesis atau sebagai produk "tiruan".
Maka tahap kedua adalah "meniru" pada produk tiruan disebut kejahatan dan kebaikan. Proses meniru atau memesis atau seni. Maka duanya kebaikkan atau kejahatan adalah bentuk  jiwa rasional ("meniru"). Proses dialektika ini bersifat (peniru, dan atau meniru) pada ide abadi bergerak dan berputar siklus.
Bahkan Platon pun tidak bisa menjawab dari mana asalnya kejahatan selain alasan persilangan yang tidak sesuai dengan unsur alam api, air, tanah, angin. Seperti kaki dapat ditekuk kebelakang tidak bisa kedepan, demikian juga tangan bisa ditekuk depan tidak bisa kebelang. Apapun didunia ini semua sistem akan membusuk, dan hancur termasuk negara.
Platon hanya menyatakan kejahatan adalah bentuk kesadaran jiwa yang meleset, atau kebenaran tidak sampai pada logistikon, sesuai 3 struktur phusis jiwa manusia ["epitumia, tomos, logistikon"]. Â Apapun yang tampil dan yang ada didunia ini adalah baik, jika ada kejahatan maka jangan dicari asalnya dari kebaikkan, karena merupakan entitas yang berbeda.
Pada akhirnya dengan meminjam pemikiran Fuzzy logic, atau Prinsip Ketidakpastian Werner Karl Heisenberg atau The Heisenberg Uncertainty Principle, pada akhirnya saya harus memaknai Paradoks, dan Kecurigaan Berbuat Baik pada idiologi (iya sekaligus tidak) atau Friedrich Wilhelm Nietzsche maka idiologi (iya sekaligus tidak).
Bahwa upaya mencari dan mememukan definisi final (ide fixed) pada kebaikan selalu lulus sensor dari jeruji identifikasi, dan ini juga sekaligus sebagai kesalapahaman tentang ["kata baik dan buruk"] pada "makna kata" dan ketidak mengertian kaum pemikir selama ini, yang sebenarnya dua pendefinisian ini pelan-pelan melumpuhkan kehidupan secara menyeluruh. Atau jangan-jangan dua kata ini sebenarnya adalah memiliki rahasia dijaga demi alasan tertentu, dan kita diajari untuk belajar lebih baik tidak mengetahui.
Atau jangan-jangan paradoks ["kata baik dan buruk"] pada "makna kata" adalah ketidakberanian menghadapi hidup  atau hidup hanya sampai pada definisi permukaan, di lipatan, di kulit luar, pemujaan pada apa yang tampak, kepercayaan pada bentuk bentuk, bunyi-bunyi, kepada indra. Atau jangan-jangan ["kata baik dan buruk"] pada "makna kata ini" adalah bentuk tidak tahu sopan-santun manusia pada realitas alam ini yang menyamarkan diri (topeng) dibalik enigma dan ketidakpastian yang tidak bisa dikenal.
Jangan-jangan alam tidak memberikan restu dengan mudah pada harga makna ["kata baik dan buruk"], atau semacam upaya alam semesta untuk menyeleksi manusia yang bisa melampaui pemahaman baik dan buruk (beyond evil and good). ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H