Kita melihat kenyataan sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang diberikan kepada kita oleh guru, pendidik, ilmuwan, jurnal ilmiah, puisi, seni, pejabat, atau  media, atau pihak-pihak lain yang hendak menyembunyikan kebenaran dengan cara "membuat topeng" atau bermain retorika. Kita harus mencari pure reason model Kantian. Tidak bisa tidak bisa tertipu oleh segala bentuk pencitraan.
Saya dapat berjalan sendiri sesuai  {"Peraturan Bagi Diri Sendiri"} sesuai suara hati, maka lalukan tanpa syarat. Atau mencapai kebenaran (episteme) tidak mudah menyatakan atas nama apapun, dan tanpa fakta empirik apapun. Kita wajib memberikan kontemplasi 10 kategori baru  atau 12 makna kategori baru  atau lebih definisi apa itu kejahatan, dan apa itu upaya melarang berbuat jahat, dan mengapa manusia harus baik.  Bahwa semua yang ada didunia ini adalah bentuk memesis atau sebagai produk "tiruan".
Maka tahap kedua adalah "meniru" pada produk tiruan disebut kejahatan dan kebaikan. Proses meniru atau memesis atau seni. Maka duanya kebaikkan atau kejahatan adalah bentuk  jiwa rasional ("meniru"). Proses dialektika ini bersifat (peniru, dan atau meniru) pada ide abadi bergerak dan berputar siklus.
Bahkan Platon pun tidak bisa menjawab dari mana asalnya kejahatan selain alasan persilangan yang tidak sesuai dengan unsur alam api, air, tanah, angin. Seperti kaki dapat ditekuk kebelakang tidak bisa kedepan, demikian juga tangan bisa ditekuk depan tidak bisa kebelang. Apapun didunia ini semua sistem akan membusuk, dan hancur termasuk negara.
Platon hanya menyatakan kejahatan adalah bentuk kesadaran jiwa yang meleset, atau kebenaran tidak sampai pada logistikon, sesuai 3 struktur phusis jiwa manusia ["epitumia, tomos, logistikon"]. Â Apapun yang tampil dan yang ada didunia ini adalah baik, jika ada kejahatan maka jangan dicari asalnya dari kebaikkan, karena merupakan entitas yang berbeda.
Pada akhirnya dengan meminjam pemikiran Fuzzy logic, atau Prinsip Ketidakpastian Werner Karl Heisenberg atau The Heisenberg Uncertainty Principle, pada akhirnya saya harus memaknai Paradoks, dan Kecurigaan Berbuat Baik pada idiologi (iya sekaligus tidak) atau Friedrich Wilhelm Nietzsche maka idiologi (iya sekaligus tidak).
Bahwa upaya mencari dan mememukan definisi final (ide fixed) pada kebaikan selalu lulus sensor dari jeruji identifikasi, dan ini juga sekaligus sebagai kesalapahaman tentang ["kata baik dan buruk"] pada "makna kata" dan ketidak mengertian kaum pemikir selama ini, yang sebenarnya dua pendefinisian ini pelan-pelan melumpuhkan kehidupan secara menyeluruh. Atau jangan-jangan dua kata ini sebenarnya adalah memiliki rahasia dijaga demi alasan tertentu, dan kita diajari untuk belajar lebih baik tidak mengetahui.
Atau jangan-jangan paradoks ["kata baik dan buruk"] pada "makna kata" adalah ketidakberanian menghadapi hidup  atau hidup hanya sampai pada definisi permukaan, di lipatan, di kulit luar, pemujaan pada apa yang tampak, kepercayaan pada bentuk bentuk, bunyi-bunyi, kepada indra. Atau jangan-jangan ["kata baik dan buruk"] pada "makna kata ini" adalah bentuk tidak tahu sopan-santun manusia pada realitas alam ini yang menyamarkan diri (topeng) dibalik enigma dan ketidakpastian yang tidak bisa dikenal.
Jangan-jangan alam tidak memberikan restu dengan mudah pada harga makna ["kata baik dan buruk"], atau semacam upaya alam semesta untuk menyeleksi manusia yang bisa melampaui pemahaman baik dan buruk (beyond evil and good). ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI