Memang ada kerumitan dalam aplikasi dokrin Kantian ini, bahwa tidak ada satupun isi hati manusia dapat diketahui. Disini paradoksnya. Â Artinya tidak mudah untuk sampai kepada {"Peraturan Bagi Diri Sendiri"} adalah harus disaring difilter (semacam satpam) dengan isi hati. Tidak ada apapun bisa memerintah saya tanpa syarat kecuali isi hati saya.
Atas nama kesadaran, suara hati, menolak apapun tidak ikut-ikutan siapapun. Artinya berbuat baik adalah keabadian tak berwaktu, memandang Telos mengandaikan tak berwaktu seperti matahari, matematika, dan bintang-bintang dilangit, dan hukum moral ada dalam batinku.
Demikian juga dokrin pada  etika Hedonisme Epikuros bahwa kebahagiaan hidup adalah kenikmatan. Kenikmatan adalah tujuan hidup manusia mencari maksimum kebahagiaan. ["Epikuros, Stoa, dan Aristotle"] dalam menilai tindakan pada perpektif ["Eudainonisme"] sebagai wujud pada  practical wisdom ("phronesis") atau supaya ada kondisi yang kondusif untuk manusia mencari kebahagiaan.
Maka bagi Stoa Practical  wisdom ("phronesis") adalah wujud kemampuan manusia menyesuaikan diri dengan hukum alam semesta, hidup sederhana menikmati kebahagian sekecil apapun, tidak perlu bimbang kwatir, dan kemampuan menerima realitas tanpa patah, dan tidak membrontak atau komplin pada semua keadaan situasi.
Maka bagi Aristotle bahwa practical  wisdom ("phronesis") adalah kemampuan individu mengembangkan seluruh potensi menjadi nyata, dan menciptkan prestasi.  Mencari nama baik dengan prestasi. Itulah gaya hidup yang dikehendaki Aristotle. Nikmat adalah keberhasilan dalam menciptakan prestasi. Jika mau bahagia maka buka roh kesadaran, dan akal budi kemudian libatkan dengan sesama. Bagi Aristotle ("phronesis") bukan sesuatu yang dapat dipelajari, membutuhkan keterbukaan hati, dalam sikap masuk akal.
Lalu sekalipun semua perguruan, semua lembaga pendidikan, pengajaran, budaya dan mitos  di dunia ini telah mengajarkan tentan teori moral, tetapi faktanya justru pelanggaran dan kepatuhan pada moral justru selalu (bersama-sama) berbarengan muncul pada saat waktu sama terjadi kejahatan (dalam makna fenomenolog).
Atau setiap ada upaya menghilangkan bentuk bentuk pelanggaran etika, atau moral namun pada saat yang sama justru terjadi sebaliknya dekadensi moral bersamaan terus terjadi tidak pernah berhenti, dan tak dapat dihentikan dengan segala peraturan regulasi, hukuman mati, dan hukuman atas nama apapun juga.
Artinya selama dunia ini ada selama itu juga kebaikan atau Practical  wisdom ["phronesis"], dan  kejahatan bermunculan bersama-sama. Inilah saya sebutkan sebagai bentuk secara kesadaran (logika) pada kasus-kasus, dan kondisi tertentu kebaikan adalah bersifat paradoks. Lalu bagimana adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks ini dapat diterangkan.
Pertama (1) Platon metaphysical, menyatakan pengetahuan manusia hanyalah "hinter-welt" (dunia bayang-bayang), dari idea. Waktu disebutkan (1) Lachesis atau waktu masa lampau; (2) Clotho, atau waktu masa kini; (3) Atropos atau waktu masa mendatang.  Pada buku 10 Republic Platon; [617c]....who sat round about at equal intervals, each one on her throne, the Fates, daughters of Necessity, clad in white vestments with filleted heads, Lachesis, and Clotho, and Atropos, who sang in unison with the music of the Sirens, Lachesis singing the things that were, Clotho the things that are, and Atropos the things that are to be. And Clotho with the touch of her right hand helped to turn the outer circumference of the spindle, pausing from time to time. Atropos with her left hand in like manner helped to turn the inner circles, and Lachesis.Â
Maka takdir manusia sebenarnya ada sewaktu berada di dalam ketidaksadaran pra eksistensi manusia di dunia ini.  Atau pilihan hidup manusia secara metafisik adalah pilihan sebelum dilahirkan atau kejadian pada saat  fenomena air sungai "lupa" berwujud reinkranasi atau metafisik atau daya purba sedang bekerja. Narasi waktu Waktu (1) Lachesis, (2) Clotho, (3) Atropos memungkin seluruh hal [ada dalam dunia] atau ["In-der welt sein"] bahwa ide keseharian (everydayness) menampilkan "Desain" atau ada dalam memosisikan diri didunia, yang tidak terpisah dari alamnya dalam 3 dimensi waktu (1) Lachesis, (2) Clotho, (3) Atropos. Tiga dimensi waktu ini lah persatuan menentukan takdir atau justice [dike].
Pemikiran kedua (2) Â adalah kondisi tertentu kebaikan didunia ini adalah bersifat paradoks, di andaikan dalam paradoks Zeno atau Zeno of Elea (c. 450 BCE), atau perlombaan antara Achilles dan kura-kura. Karya Homerus Iliad, situasi kura-kura mengajak duel tanding dengan Achilles dengan syarat kura-kura posisinya lebih duluan sedikit waktu jarak 10 meter. Kelambanan kura-kura dianggap gampang oleh Achilles.