Gunungan merupakan satu bagian adegan dalam pewayangan sementara wayang Gunungan (kayon) adalah alat atau salah satu wayang yang digunakan dalam adegan Gunungan. Gunungan adalah model pembuka dan penutup suatu babak pertunjukan, tergambar dua hal pada dua sisi yang berbeda.
Makna lain adalah Gunungan Wayang bentuknya seperti gunung dan mempunyai makna gegunungan, atau tetunggul, atau The gunungan (Javanese "mountain", "savory") berisi dokrin Jawa Kuna "sangkan paraning dumadi", yaitu asal mulanya hidup disebut Kayon.
Selain menggambarkan pepohonan, kata kayon tersebut mempunyai arti kayun (bahasa Kawi) atau dunia sebagai kehendak, dan representasi, atau "The World as Will and Representation" mirip dengan ide filsuf Jerman Arthur Schopenhauer.
Apa dampak metafisik pada gaya kepemimpinan (style leadership) yang di Gunungan Wayang jika Pak Presiden Jokowi.
Tipe Leadership Gunungan Wayang ["Secara umum watak atau karakteristik adalah tidak mudah ditebak, menyimpan misteri, menjaga tatanan harmoni alam, bisa menjadi apa saja, berbentuk apa saja, mewujudkan apa saja, menampakkan apa saja, dan tidak mampu diprediksi"].
Hanya satu pencirian umum yang dapat dan boleh saya sampaikan bahwa tipe "Leadership Gunungan Wayang adalah pro republica" atau pro etika publik, atau suara hati rakyat, atau membela rakyat kecil, orang miskin, budak, buruh, kuli, dan orang sederhana dipersatukan dalam batin. Tipe Leadership Gunungan Wayang adalah tipe mempuni bagi ke Indonesian, sekaligus bersifat paradoks, dan kompleks. Lalu apa implikasi nya pada tipe leadership Gunungan Wayang.
Pertama, metafora semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, misalnya pada acara pentas sebagaimana model pertujukan seni Jawi atau Wayang adalah proses perjalanan batin semacam takdir hidup (papan, empan, adepan) yang diambil. Metafora, dan makna semiotika pada awal pertunjukan wayang selalu berbunyi nada "Gamelan".
Bentuk bunyi utama yang dimaksud adalah ada bunyinya: {"nang, ning, nung neng, nong"}. Nang (menang) mengalahkan cangkang ego pribadi, ning (kejernihan berpikir, atau wening, berfikir, logika atau kesadaran ego Cartesian), nung (ndhunung, syafaat, harapan doa pada kebaikan seluruh umat manusia), neng (kemampuan kontemplasikann diri atau merenungkan diri dengan berdiam, meneng, diam), nong (tujuan hidup adalah hanya demi kebesaran dan kemulyaan Gusti Tuhan Yang Maha Esa).
Maka hekekat {"nang, ning, nung neng, nong"} bertujuan baik bermaksud baik, walaupun belum tentu sungguh-sungguh baik.
Kedua, metafora semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, jelas menjadikan wayang pada dirinya sendiri (das ding an sich) mengandung 3 unsur :Tatanan (order), Tuntunan (pendasaran tindakan), dan Tontonan (dampak atau pengaruh). Di dalam wayang dikandung tatanan, yaitu suatu norma atau konvensi mental ke tindakan/etika (filsafat moral).
Norma atau konvensi tersebut disepakati dan dijadikan pedoman kesadaran. Makna (the Symbolic or Symbolic Order) adalah konsep dasar psikologis mental, mengenai struktur pembentukan Subjek diri, lancip seperti tumpeng. Maka setiap kunjungan kerja atau tindakan bapak Presiden selalu menggunakan tatanan simbolik teori tatanan (= teori keteraturan) dalam tindakan. Atau bentuk komunikasi tidak langsung dan menggunakan metafora.