Dalam berbagai kesempatan rapat, pertemuan, penerimaan tamu di Istana Negara Pak Presiden ke 7 lebih banyak memakai latar belakang Gunungan Wayang. Berbeda dengan Pak Harto selalu mengidiolakan "Semar". Misalnya saat pada 15 Januari 1998. Michel Camdessus, managing director IMF, dan Presiden Indonesia Soeharto beserta sejumlah menteri dan pejabat lainnya di satu ruangan.
Soeharto menunduk ke arah meja, dan di belakangnya ada pergola bermotif wayang Semar. Pak Harto tahu bahwa dunia wayang adalah identic dengan model melakukan destabilisasi Indonesia dan menjatuhkan Presiden Soeharto dengan model ekonomi, artinya dengan cara apa tema dimulai, lalu dengan tema apa akan diakhiri sama seperi siklis dunia Jawi Kuna Kejawen.
Kebijakan Currency Board System (CBS) saat krisis ekonomi 1998, dan resep IMF saling beranti tesis akhirnya sengaja menggunakan keruntuhan ekonomi Indonesia sebagai sarana untuk menghasilkan sintesis (semacam pengakuan dosa ala Hegelian) bagi Presiden Soeharto dengan argumentasi logis untuk mengatur nilai tukar rupiah pada tingkat overvalue.
Wajar jika dalam buku 1 Republic Platon (Plato) sebagai akhli waris argument akal sehat, menulis (dialog di antara:Â Socrates, Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephulus, Thrasymachus, dan Cleitophon), menyatakan bahwa "utang bukan definisi yang tepat untuk menciptakan keadilan". {"Bukankah dokter ekonomi atau akhli ekonomi paling terampil dalam membuat diagnosis, dan meracik resep-resep untuk mencegah atau menghindari jenis penyakit ekonomi adalah manusia yang dengan sangat mudah menciptakan penyakit ekonomi"}.
Baik Pak Harto, atau Pak Jokowi dua-duanya memaknai batiniah atau worldview (cara padang) dengan mengadopsi atau trans-substansi pada "ilmu wayang" dalam tradisi Jawa Kuna. Ada waktu awal akhir, lahir, tumbuh, dewasa, menurun, dan akhirnya bubar atau dilikuidasi, pailit, dan di akusisi. Bayi lahir, dibesarkan, didik orang tua, tamat sekolah bekerja, dan menikah, pergi meninggalkan orang tuanya, dan membentuk masyarakat.
Ini saya sebut sebagai "Ngelmu Otak Atik Gathuk" pada Budaya Jawi Kuna. Pada beberapa penelitian yang pernah saya disebut sebagai wujud "ngelmu titen" atau belajar dari "ilmu titen" atau berdasarkan hal hal yang sudah pernah terjadi atau induksi semacam (posmatum) model filsafat Sir Francis Bacon. Bahwa "ilmu titen" adalah episteme mengenali, memahami, kemudian menghasilkan kepekaan atau lebih peka terhadap sesuatu (semacam sembah roso Jawi Kuna).
"Ilmu titen" akan menghasilkan pencirian tanda aba-aba, kode atau "sasmita" dalam episode wayang. Dalam "ilmu titen" memiiliki (3T) yakni sebagai Tatanan, Tuntunan, dan Tontonan. Pada tatanan, yaitu pendasaran kesadaran (ego), sebagai Tuntunan yaitu aspek moral atau cara manusia melakukan tindakan, dan aspek tontonan sebagai seni (science of aesthetics), aspek keindahan, kebaikan, dan keutamaan.
Tiga unsur ini saya sebut sebagai aspek kehidupan manusia (momor, momot, momong). "Momor" dalam dasanama Jawa lainnya disebut "amor" artinya menyatu. "Momot" artinya "memuat" atau menghimpun, mengakomodasi, atau kesatuan tatanan dan tindakan sehingga pantas menjadi contoh dalam masyarakat. Manusia ideal harus bisa menjadi "Momong" adalah menjaga, membimbing dan mengasuh. "Momong" adalah menjaga, membimbing dan mengasuh dengan cinta kasih tulus.
Makna Gunungan (Kayon) di lihat bentuknya meruncing menyerupai tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono, dan Tumpeng Robyong. Hargo Dumilah mempunyai makna yaitu Hargo (Gunung) sedangkan Dumilah memiliki arti (Penerangan). Tumpeng megono disebut bogana, simbol syukuran kenaikan pangkat, kedudukan, jabatan, dan  tumpeng robyong simbol pada musim panen, mengusir penyakit, atau meminta hujan, untuk acara siraman, upacara pernikahan atau pemberkatan, dan syukuran. Adapula tiga macam kembang, yakni mawar, melati, dan kenanga. Atau makna Gunungan (Kayon) menyerupai gunung (dibatinkan "gunung Merapi"), atau gambar pohon besar berdaun lebat (dibatinkan dengan Pohon Beringin). Inilah prinsip penamaan gunungan.
Gunungan disebut Kayon karena unsur utama ada dalam gunungan adalah gambar pohon (wit, atau kayu). Kata "wit" artinya ["wiwitan"] atau timur atau asal permulaan "kekayon tegese wit-witan". Ada beda di antara "Gunungan" dan "wayang Gunungan".
Gunungan merupakan satu bagian adegan dalam pewayangan sementara wayang Gunungan (kayon) adalah alat atau salah satu wayang yang digunakan dalam adegan Gunungan. Gunungan adalah model pembuka dan penutup suatu babak pertunjukan, tergambar dua hal pada dua sisi yang berbeda.
Makna lain adalah Gunungan Wayang bentuknya seperti gunung dan mempunyai makna gegunungan, atau tetunggul, atau The gunungan (Javanese "mountain", "savory") berisi dokrin Jawa Kuna "sangkan paraning dumadi", yaitu asal mulanya hidup disebut Kayon.
Selain menggambarkan pepohonan, kata kayon tersebut mempunyai arti kayun (bahasa Kawi) atau dunia sebagai kehendak, dan representasi, atau "The World as Will and Representation" mirip dengan ide filsuf Jerman Arthur Schopenhauer.
Apa dampak metafisik pada gaya kepemimpinan (style leadership) yang di Gunungan Wayang jika Pak Presiden Jokowi.
Tipe Leadership Gunungan Wayang ["Secara umum watak atau karakteristik adalah tidak mudah ditebak, menyimpan misteri, menjaga tatanan harmoni alam, bisa menjadi apa saja, berbentuk apa saja, mewujudkan apa saja, menampakkan apa saja, dan tidak mampu diprediksi"].
Hanya satu pencirian umum yang dapat dan boleh saya sampaikan bahwa tipe "Leadership Gunungan Wayang adalah pro republica" atau pro etika publik, atau suara hati rakyat, atau membela rakyat kecil, orang miskin, budak, buruh, kuli, dan orang sederhana dipersatukan dalam batin. Tipe Leadership Gunungan Wayang adalah tipe mempuni bagi ke Indonesian, sekaligus bersifat paradoks, dan kompleks. Lalu apa implikasi nya pada tipe leadership Gunungan Wayang.
Pertama, metafora semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, misalnya pada acara pentas sebagaimana model pertujukan seni Jawi atau Wayang adalah proses perjalanan batin semacam takdir hidup (papan, empan, adepan) yang diambil. Metafora, dan makna semiotika pada awal pertunjukan wayang selalu berbunyi nada "Gamelan".
Bentuk bunyi utama yang dimaksud adalah ada bunyinya: {"nang, ning, nung neng, nong"}. Nang (menang) mengalahkan cangkang ego pribadi, ning (kejernihan berpikir, atau wening, berfikir, logika atau kesadaran ego Cartesian), nung (ndhunung, syafaat, harapan doa pada kebaikan seluruh umat manusia), neng (kemampuan kontemplasikann diri atau merenungkan diri dengan berdiam, meneng, diam), nong (tujuan hidup adalah hanya demi kebesaran dan kemulyaan Gusti Tuhan Yang Maha Esa).
Maka hekekat {"nang, ning, nung neng, nong"} bertujuan baik bermaksud baik, walaupun belum tentu sungguh-sungguh baik.
Kedua, metafora semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, jelas menjadikan wayang pada dirinya sendiri (das ding an sich) mengandung 3 unsur :Tatanan (order), Tuntunan (pendasaran tindakan), dan Tontonan (dampak atau pengaruh). Di dalam wayang dikandung tatanan, yaitu suatu norma atau konvensi mental ke tindakan/etika (filsafat moral).
Norma atau konvensi tersebut disepakati dan dijadikan pedoman kesadaran. Makna (the Symbolic or Symbolic Order) adalah konsep dasar psikologis mental, mengenai struktur pembentukan Subjek diri, lancip seperti tumpeng. Maka setiap kunjungan kerja atau tindakan bapak Presiden selalu menggunakan tatanan simbolik teori tatanan (= teori keteraturan) dalam tindakan. Atau bentuk komunikasi tidak langsung dan menggunakan metafora.
Pada dimensi "Tuntunan" diekspresikan dan mengartikulasikan diri manusia adalah segala macam isinya atau disebut "marcapada" atau "Manunggaling Kawula Gusti" atau dunia nyata (tempat makhluk hidup) saling menghormati menghargai dan saling membahagiakan. Dimensi ketiga adalah menempatkan antara tontonan dan tuntunan, seharusnya tuntunan tetap menjadi tuntunan, atau konsistensi alur babak kehidupan, dan tahu diri, tahu waktu, dan dapat mengindrai dengan cara benar dan bertanggungjawab bagi diri sendiri.
Apapun yang dilihat dirasakan di pertontonkan dalam hidup adalah pantulan diri sendiri dalam tafsir dan maknanya. Konsep "marcapada" atau "Manunggaling kemudian diterjemah mengandung makna sosiologis dan politis, pada era Presiden Indonesia ke 2, istilah TNI atau ABRI pada masa itu sebagai TNI masuk desa, dan ada kelekatan lahiriah batiniah bahwa TNI lekat dengan rakyat dan selalu berada di tengah-tengah rakyat.
Ketiga, leksikon atau semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, adalah Gunungan adalah struktur/karya berbentuk segitiga (bagian atas meruncing) yang terinspirasi dari bentuk gunung (merapi). Atau simbol merapi, keraton, dan laut selatan atau Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Kesultanan Solo ("Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari"), dan Yogyakarta.
Penyatuannya ada dalam fakta empirik "Tari Bedaya Ketawang" atau Jawi Kuna mengenal istilah "telu-teluning atunggal" ("atau tritunggal tiga sosok yang menjadi satu kekuatan"), yaitu metafora pada dimensi batiniah Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Diadopsi Presiden ke 3 Indonesia menjadi "Trilogi Pembangunan" adalah diskursus pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan.
Trilogi pembangunan terdiri dari 3 : Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya. Tentu saja ini bersesuaian dengan ide pada leksikon atau semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) dalam upacara Gunungan grebeg (kebutuhan pokok masyarakat). Tugas negara adalah menjaga stabilitas dan kemakmuaran kebutuhan pokok masyarakat sesuai dokrin Pancasila, dan amat UUD 1945.
Lalu bagimana hal ini dapat dimaknai dengan metafora semiotika gaya kepemimpinan (style leadership). Pertama tipe idial ini ada wujud tindakan nyata pada pemikiran manunggal atau kesatuan menjaga keutuhan Indonesia, kedua adalah segala sesuatu yang ada merupakan satu kesatuan actual baik organis maupun non organis baik yang memiliki tubuh dan tak memiliki tubuh baik yang berubah ataupun yang tetap (matematika logika).
Ketiga adalah proses novelty keterbaharuan sebagai daya dinamis alam sehingga memungkinkan proses perubahan terus menerus atau kreativitas sebagai kegiatan penciptaan universal dengan dasar satuan actual lain sebelumnya atau disebut sejarah pengaruh yang dapat dikenali dengan logis, sehingga pada akhirnya terpahami wujud asali (primodial) Tuhan sebagai kreativitas umat manusia.
Dengan demikian gaya kepemimpinan (style leadership) bisa mencapai tujuan hidup untuk "memayu hayuning bawono" pada akhirnya nanti harus dipertanggungjawabkan di depan Gusti Kang Moho Kuwoso.
Keempat, leksikon atau semiotika gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang, pada makna simbolik pada gunung terdapat pohon kehidupan (Kalpataru) kemampuan menyatukan (lihat ide "Sangkan Paraning Dumadi"). Atau ide Spinoza (1632-1677), pemikiran "Deus sive natur" (Allah atau alam adalah sama). Atau konsep pemikiran antara Allah dan alam tidak mungkin diadakan pemisahan sedetikpun.
Ada istilah ["Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati, yen siro ora ngerti sampurnaning urip"] mungkin memiliki arti kurang lebih (mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna, jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna). Lalu bagiamana model leadership dengan pembatinan ini.
Alam ini adalah wujud Gusti Allah menampakkan diri dalam wujud dapat di indrawi, maka semua yang ada persofikasi pada tugas semua umat manusia untuk menebarkan kesejahteraan, dan kedamaian di alam ini. Maka tugas leadership pada tatanan ini adalah dalam ilmu ["sastro jendro hayuningrat pangruwating diyu"].
Sastro adalah ilmu, jendro adalah adiluhung, hayuning adalah membangun, sedangkan rat adalah jagad. Jadi, makna ilmu ["sastro jendro hayuningrat pangruwating diyu"] adalah ilmu untuk membangun merawat isi jagad alam semesta.
Namun hal ini tidak mudah aplikasi karena tipe leadership Gunungan Wayang ["secara umum watak atau karakteristik adalah tidak mudah ditebak. Dengan meminjam pemikiran "Peter G. Northouse", atau gaya kepemimpinan situasional (situational approach to leadership). Artinya ada kecelah kemungkian ketidakpastian dalam sikap dan tindakan tergantung situasi yang dialami.
Jiwa roh dasamuka atau seni kesadaran (satu masalah bisa memiliki sepuluh kepala sudut pandang) memungkinkan bisa terjadi apa saja tergantung pesan alami situasi alami, dan sikap alami, termasuk tindakan jahat dan perilaku angkaramurka, atau disebut oleh Hannah Arendt (1906--1975) masuk unsur sikap perilaku hewan masuk dalam pemerintahan negara atau kota atau perilaku runtuh tembok polis. Atau pada simbol gambar Gunungan Wayang berisi hutan, tanaman, dan binatang adalah berbagai sifat dan tabiat manusia di jagat ini.
Pada posisi ini terjadi ada paradoks leksikon gaya kepemimpinan (style leadership) trans-substansi Gunungan Wayang. Model (situational approach to leadership) ini memiliki keterbatasan lain bahwa (a) pengambilan keputusan tidak bisa dilangsungkan dengan cepat (menunggu tanda-tanda alam), dan (b) perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan, dan namun kadang-kadang terjadi anomali pada rendah dukungan, (c) tindakan pemimpin dapat menjadi "Tipe Laissez-Faire" atau pemimpin membiarkan bawahan tidak cocok, karena menunggu kesesuaian alam semesta dalam metafora keharmonisan penanda, dan petandanya.
Akhirnya apapun bentuknya bahwa gaya kepemimpinan (style leadership) yang di trans-substansi Gunungan Wayang, pasti paham betul batas (waktu) yang tepat pada restu alam semesta ["Gunungan mewakili lima unsur alam, yaitu tanah, air, api, angina, dan ruang"] untuk memulai, melaksanakan, dan mengakhiri lakon kehidupan yang dilakukan atau sesuai kehendak Gusti Kang Murbeng Gesang, Pemberi Kehidupan. Sebagaimana sifat alam keserasiannya bersifat memberi dan tidak membeda-bedakan apapun. ***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H