Mohon tunggu...
Weha Tinker
Weha Tinker Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

FDS: Kebijakan Setengah Hati

15 Juni 2017   14:43 Diperbarui: 15 Juni 2017   14:55 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan terbitnya Permendikbud No. 23 Tahun 2017, Tentang hari sekolah, maka mulai bulan Juli 2017, hari sekolah dilaksanakan 8 jam sehari, selama 5 hari dalam satu minggu. Termasuk dalam 8 jam tersebut ada waktu istirahat selama 0,5 jam per hari atau 2,5 jam per 5 hari dalam satu minggu. Artinya, bila sekolah dimulai jam 7:00, maka setiap hari siswa akan keluar dari sekolah pada jam 15:00. Ini artinya siswa sampai ke rumah paling cepat pada jam 16:00. Jadi tidak salah bila ada yang menamakan lima hari sekolah dengan delapan jam sehari ini sebagai Full Day School (FDS), sebab siswa akan besekolah selama 8 jam perhari dari hari Senin s.d. Jum'at.

Permendikbud diterbitkan berdasarkan pertimbangan: (a) untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi, perlu penguatan karakter bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah; dan (b) agar restorasi pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah lebih efektif, perlu optimalisasi peran sekolah.

Nilai utama karakter yang diupayakan dikuatkan melalui FDS adalah religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Keluaran FDS adalah Pembentukan individu yang memiliki karakter dan kompetensi abad 21. Sedangkan hasil FDS, antara lain, adalah olah hati: individu yang memiliki kerohanian mendalam, beriman dan bertakwa

Pertanyaan yang muncul adalah, mungkinkah FDS bisa menghasilkan siswa yang memiliki kerohanian mendalam, beriman dan bertakwa? Menurut pendapat saya, tujuan ini akan sangat sulit tercapai untuk kondisi sekolah dengan fasilitas dan SDM seperti saat ini.

Mari kita telaah.

Pertama, iman dan takwa adalah sekaligus terkait dengan ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Iman dan takwa adalah sikap keyakinan keagamaan otonom (afektif) yang dimiliki seseorang, yang dilandasi oleh pengetahuan agama yang memadai (kognitif), dan direalisasikan dalam bentuk ibadah yang kasat mata (psikomotor). Mohon koreksi bila abstraksi saya ini kurang/tidak lengkap.

Kedua, penanaman nilai iman dan takwa tidak bisa memerlukan waktu yang lama, dan mensyaratkan adanya model yang baik untuk dijadikan panutan dalam beribadah. Selain itu, penanaman nilai tersebut harus dipraktikkan serealistis mungkin. Artinya sekolah harus mempunyai sarana dan prasarana yang memadai.

Dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 disebutkan bahwa :

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Sarana, Prasarana, dan SDM  

Berdasarkan dua hal di atas, apakah semua sekolah sudah mempunyai sarana berupa sumber belajar untuk menunjang belajar dan praktik beribadah? Jawabannya sebagian sekolah, terutama sekolah keagamaan, sudah punya.

Lalu, apakah semua sekolah sudah mempunyai prasarana tempat beribadah? Apakah semua sekolah sudah mempunyai masjid, gereja, pura, atau wihara? Menurut hemat saya, hanya sedikit sekolah yang telah dilengkapi dengan prasarana tempat ibadah yang memadai. Bahkan menurut hemat saya, belum semua sekolah keagamaan telah mempunyai tempat ibadah yang memadai.

Selanjutnya, tentang SDM, apakah semua sekolah telah memiliki SDM yang memadai dalam mengajarkan dan membimbing siswa dalam belajar dan prktik beribadah? Untuk sekolah keagamaan tampaknya tidak bermasalah, tapi bagaimana dengan sekolah umum? Mungkin mengecewakan keadaannya.

 Jadi tampaknya, dengan kondisi yang masih memprihatinkan ini, proses belajar mengajar di sekolah yang menyangkut penanaman nilai keimanan dan ketakwaan hanya akan mampu dilaksanakan dalam ranah kognitif (pengetahuan) saja. Tanpa sikap dan keterampilan yang mencerminkan keimanan dan ketakwaan.

Pelaksanaan Ibadah Siswa Terhambat

Dalam Permendikbud Pasal 6 memang dinyaatakan bahwa pelaksanaan kegiatan keagamaan dapat dilaksanakan dengan kerja sama dengan lembaga keagamaan.

Aktivitas keagamaan tersebut meliputi aktivitas keagamaan meliputi madrasah diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi, retreat, baca tulis Al Quran dan kitab suci lainnya.

Menyangkut kegiatan keagamaan, saya membatasi menyoroti kegiatan keagamaan Islam.

Berdasarkan publikasi Kemendikbud, simulasi model implementasi PPK dapat digambarkan lewat kegiatan terjadwal dari hari Senin sampai Jum'at, dengan tiap harinya menanamkan tiap nilai utama karakter.

2017-06-15-14-32-09-594238364c4a9b360b59e162.jpg
2017-06-15-14-32-09-594238364c4a9b360b59e162.jpg
Tampak bahwa dalam simulasi tersebut nilai religious tidak muncul setiap hari. Padahal, bagi siswa Islam berlaku kewajiban melaksanakan sholat lima waktu. Dan itu berarti saat jam sekolah siswa wajib melaksanakan sholat dzuhur dan ashar dan sholat Jum'at.

Lalu bagamana dan dimana siswa Islam harus melaksanakan sholat dzuhur dan ashar? Bila sekolah tidak mempunyai masjid atau musholla, apakan siswa harus sholat di ruang kelas? Atau di halaman sekolah? Apakah tempat tersebut telah memenuhi syarat sholat?

Jelas tidak mungkin bila solusinya tidak perlu sholat. Sebab bila siswa tidak sholat wajib dengan sengaja merupakan dosa besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "(Pembatas)antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim). Demikian pula halnya dengan meninggalkan sholat Jum'at dengan sengaja juga merupakan dosa besar. Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang mendengar adzan jum'atan 3 kali, kemudian dia tidak menghadirinya maka dicatat sebagai orang munafik." (HR. Thabrani).

Jadi mungkin solusinya adalah sholat di masjid terdekat. Tapi solusi ini juga menimbulkan beberapa masalah. Kalau lokasi masjid dekat sekolah, perjalanan para siswa dari sekolah ke masjid pulang pergi memerlukan pengawasan dan pengawalan yang ketat. Karena salah-salah ada siswa yang hilang dari barisan. Siapa yang mengawal dan mengawasi mereka? Para guru? Aduh capeknya para guru jadinya.

Kalau lokasi masjid jauh dari sekolah, dan harus pakai mobil atau angkot atau bis, maka siapa yang membiayai biaya transport? Apakah para guru dan siswa yang mau beribadah harus bayar ongkos transportasi?

Masalah yang lain adalah, apakah kapasitas masjid memadai untuk menampung sekian banyak siswa dan guru dari berberapa sekolah yang secara bersama datang beribadah?

Belum lagi adanya kewajiban untuk memenuhi Sunnah-sunnah sebelum sholat yaitu, antara lain, mengenakan pakaian yang bebas najis, dan saat sholat Jum'at' harus lebih dulu mandi dan mengenakan pakaian yang terbaik. Mungkin ada yang mengatakan, itu masalah sepele, tapi menurut saya, tidak ada hal yang bias disepelekan dalam beribadah.

Hal-hal seperti di atas mau tidak mau harus diakui sebagai hal yang menghambat pelaksanaan ibadah para siswa Islam pada saat jam sekolah.

Terus yang paling optimal bagi siswa Islam itu beribadah dimana? Ya beribadah di masjid di lingkungan tempat tinggalnya, karena lokasi dan kondisi lingkunannya pasti lebih optimal dibandingkan dengan lokasi dan kondisi masjid dekat sekolah.

Kesimpulan

          Berdasarkan paparan di atas, FDS ternyata lebih merugikan bagi para siswa ditinjau dari sudut penguatan keimanan dan ketakwaan.

Sholat berjamaah di masjid di lokasi tempat tinggal siswa tidak hanya bermakna memupuk tata hubungan yang mengatur antara manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah (ubudiyah), atau yang populer dikatakan dengan hablum minallah, tapi juga tata hubungan yang mengatur antara manusia dengan makhluk yang lainnya dalam wujud amaliyah sosial, atau yang populer dikatakan dengan hablum minannas. Dari kondisi inilah keiamanan dan ketakwaan tertanam secara alami.

Dengan demikian, sebaiknya FDS tidak hanya ditunda, tetapi dibatalkan pelaksanaannya. Lebih baik Kemendikbud fokus kepada penyempurnaan sarana dan prasarana sekolah dasar dan menengah, serta men-upgrade para guru dan tenaga kependidikan.

Siapa yang mau anak atau cucunya jadi kelinci percobaan FDS? Saya tidak mau!

 

Sumber: 1

Sumber gambar ilustrasi: 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun