Mohon tunggu...
Oktavian Balang
Oktavian Balang Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalimantan Utara

Mendengar, memikir, dan mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pria Paruh Baya dan Kursi Rumputnya: Sebuah Refleksi

23 Agustus 2024   04:33 Diperbarui: 23 Agustus 2024   07:04 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beralaskan Rumput (Dokpri)

Setiap orang adalah seorang filsuf, merenungkan makna hidup dengan caranya sendiri.

Pernahkah Anda melihat seseorang duduk termenung di tempat yang tak biasa? Di tengah hiruk pikuk kota, di mana semua orang sibuk mengejar mimpi dan tujuannya, ada sosok yang memilih untuk berhenti sejenak. 

Seperti yang saya lihat kemarin sore, di depan Tugu Cinta Damai Tanjung Selor, seorang pria paruh baya memilih rumput sebagai kursinya, memandang jauh ke jalanan.

Matahari mulai merunduk, menyisakan semburat jingga di langit. Di tengah keramaian lalu lalang kendaraan dan aktivitas warga, sosok pria itu begitu mencolok. Rambutnya yang mulai memutih dan pakaiannya yang sederhana seakan menyatu dengan warna rumput. Tatapannya kosong, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Siapa dia? 

Apa yang sedang ia pikirkan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benak saya. Sebagai manusia biasa, kita seringkali tergoda untuk menilai orang lain berdasarkan penampilan atau tindakannya. Kita mungkin berpikir, 

"Kenapa dia duduk di sana? Bukankah itu memalukan?"

Namun, benarkah kita berhak untuk menghakimi? Mungkin saja pria itu sedang mengalami masalah yang berat. Mungkin ia sedang kehilangan seseorang yang dicintai, atau sedang berjuang dengan masalah kesehatan.  Atau mungkin, ia hanya butuh waktu untuk sekedar merenung dan mencari ketenangan di tengah kebisingan kota.


Di balik penampilan yang sederhana dan tindakan yang dianggap aneh, bisa jadi tersimpan kisah hidup yang penuh perjuangan dan air mata. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hati seseorang.

Sebuah Refleksi
Kisah singkat ini mengajak kita untuk lebih peka terhadap sesama. Janganlah kita terlalu cepat menghakimi orang lain. Setiap orang memiliki cerita hidup yang berbeda-beda. Mari kita saling menghargai dan menghormati perbedaan.

Mungkin kita tidak bisa mengubah dunia, tapi kita bisa memulai perubahan dari diri sendiri. Mari kita jadikan diri kita sebagai manusia yang lebih baik, yang lebih peduli terhadap sesama. Mari kita ulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, tanpa memandang status sosial atau latar belakangnya.

Ketika saya meninggalkan tempat itu, saya membawa sebuah pelajaran berharga. Bahwa di balik setiap senyum, tersimpan ribuan kata yang belum terucap. 

Bahwa di balik setiap wajah yang kita temui, tersimpan kisah hidup yang penuh makna. Mari kita belajar untuk lebih menghargai setiap individu dan menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik untuk hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun