Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Masjid di Alun-alun Kota Bandung Sebuah Rindu yang Terwujud Usia 10 Tahun

30 April 2020   17:58 Diperbarui: 30 April 2020   17:59 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi

Sekitar semester 2 perkuliahan, saya ingin ke Bandung. Entah apa yang ada di benak saya waktu itu. Mungkin stigma yang mengalir begitu saja atau memang ada keinginan yang membuat saya 'harus' menginjakkan kaki di Bandung suatu saat nanti.

Tahun 2005 yang semerbak harum tsunami yang belum usai. Saya mengungsi ke rumah mertua ibu kos di kawasan Lamreng, Aceh Besar. Cukup dekat dengan kawasan Banda Aceh; padahal daerah ini bisa masuk ke Banda Aceh mengingat letaknya yang berhimpitan dengan ibu kota provinsi Aceh itu.

Ipar dari ibu kos saya sedang kuliah di Bandung dan pulang kampung untuk menjenguk orang tuanya. Dalam diam sembari menonton berita di televisi, kami mendengar omongan ipar yang tinggi menjulang dan tampan itu. Ceritanya tentang Bandung cukup menggiurkan untuk disimak. Mulai dari dinginnya, perekonomian yang kuat, sejarah yang tak kenal waktu, maupun pendidikan yang merata.

Dari cerita ipar ibu kos itu berlanjut dengan cerita seorang teman yang mengambil kuliah magister di Universitas Pendidikan Indonesia. Lebih tepatnya kakak leting saya di jurusan yang sama, sempat menjadi teman diskusi saat menyelesaikan skripsi, yang juga bercerita tentang Bandung dengan indahnya.

Tentu, dari sana saya mulai membayangkan Bandung.

Obsesi dan angan-angan kemudian menjadi kenyataan. Walaupun cukup lama waktu beranjak baru kemudia terwujud, tetapi saya percaya ucapan itu adalah doa. Terkabul sudah saya ke Bandung pada Juli 2019. Kebetulan saya diundang oleh salah satu perusahaan komputer terbesar dari Taiwan, untuk ikut launching laptop terbaru di Jakarta. Saya memutuskan untuk 'jalan-jalan' yang jadi kesempatan langka itu ke Bandung.

Cerita itu langsung dimulai dari grup chat kami. Katerina, traver blogger terkenal, mengambil inisiatif untuk ke mana saja saat kami di Bandung. Termasuk, menghubungi kenalannya di hotel, penginapan murah, dan juga kuliner khas yang menjadi kesempatan lain nikmatnya menjadi penulis blog.

Sesuai rencana, kami mengitari kota Bandung dari Jalan Asia Afrika yang sejuk dengan bangunan bersejarah, Braga yang penuh dengan lalu lintas, maupun keluar masuk museum yang menjadi kewajaran.

Bagi saya secara pribadi, memang bukan hajat tetapi langsung terketuk pintu hati saat memasuki kawasan Alun-alun Kota Bandung. Di dalam, dengan balutan 'karpet' hijau buatan terdapat masji terkenal dan bersejarah di Jawa Barat.

Masjid Raya Bandung dan Impian Tercapai

Saat mimpi saya bersemedi ingin ke Bandung, memang belum ada hamparan rumput buatan di Alun-alun Bandung yang langsung bersambung dengan serambi masjid. Saya pun tidak tahu ada masjid dengan sejarah panjang di Kota Bandung. Baru beberapa saat terakhir, barangkali ketika nama Ridwan Kamil menjadi harum di belantika negeri, barulah saya sedikit membaca tentang rumput buatan di halaman masjid.

Di Jalan Asia Afrika dengan banyak sekali monumen penting, kami belok ke halaman masjid di Alun-alun. Saya langsung merinding; mungkin memang demikian tabiat kami orang Aceh atau umat Islam, yang ke mana-mana pergi adalah masjid yang selalu dituju.

Saya ke rumput buatan yang langsung bisa menghadap ke masjid dengan dua menara khas. Dari depan sini bisa melihat bangunan yang menjadi perlindungan umat Islam itu. Dua kubah emas dan satu kubah besar menjadi ciri khas rumah ibadah itu.

Masjid Raya Bandung, tak bisa saya elak untuk berdiri di depannya dan Kang Didno memotret. Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di rumput buatan yang belum pernah dilihat di masjid manapun, termasuk di Masjid Raya Baiturrahman, di mana salah satu masjid terindah dan bersejarah di Indonesia.

Ada bagian dari dalam diri saya, selalu saja masjid yang ingin dikunjungi jika ke suatu daerah. Misalnya saat pertama kali ke Jakarta, adalah Masjid Istiqlal yang berulangkali ingin saya kunjungi dan kemudian tercapai. Saat di Bali, juga masjid yang saya tuju. Begitu juga ketika di Bangkok, juga masjid yang saya cari.

Kemudian, saya tidak memotret atau hanya memotret bagian luar dari masjid saja. Ketika masuk ke dalam masjid yang saya jumpai di daerah manapun ketika jalan-jalan itu, adalah 'melapor' kepada Tuhan tentang keajaiban dari syukur, dan nikmat dari segala rupa. Untuk sampai ke daerah tertentu itu, tidak mungkin saya bisa berangkat ke sana dalam posisi guru honorer, berbanding terbalik saat saya berbicara sebagai seorang blogger atau penulis.

Sudah mau kering mungkin air mata saat berbicara soal ini. Tetapi saya selalu berkata demikian kepada teman yang menemani jalan-jalan. Singgah sebentar saja. Entah itu mau mengenang sejarah. Atau kita hanya salat dua rakaat saja. Sebagai tanda bahwa kita telah sampai ke Bumi Allah yang lain. Dengan harapan, dengan nikmat, dengan rasa syukur yang tak boleh pernah padam.

Salat dua rakaat saja sudah lebih dari cukup. Mungkin untuk salat wajib tidak sesuai dengan waktu namun salah sunnah tak lain ucapan salam bahwa kita telah sampai di suatu daerah. Karena jika nanti 'kenapa-kenapa' ke masjid pula kita akan berlari.

Sekilas Tentang Masjid Raya Bandung

Masjid yang ada di Alun-alun Kota Bandung itu memiliki sejarah panjang. Masjid ini pertama dibangun pada tahun 1810. Pemugaran dilakukan sampai 8 kali pada abad ke-19 dan 5 kali pada abad ke-20, yang kemudian menjadi lebih modern sejak 2001 dan diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung pada 04 Juni 2003.

Menari kembar di sisi kiri dan kanan memiliki tinggi 81 meter. Sabtu dan Minggu kita bisa naik ke menara untuk melihat seluruh Kota Bandung. Luas tanah di sekitar masjid adalah 23.448 m dan luas bangunan 8.575 m yang dapat menampung sekitar 12.000 - 14.000 jamaah.

Sumber: Rhmtdns di Wikipedia
Sumber: Rhmtdns di Wikipedia

Masjid Raya Bandung sangat mudah dijangkau karena berada di pusat kota. Jalan Asia Afrika yang terkenal, dekat dengan Gedung Merdeka atau Hotel Preanger yang penuh sejarah, maupun Museum Konferensi Asia Afrika. Tak jauh dari sana terdapat Hotel Savoy Homann yang tak lain tempat menginap peserta konferensi di tahun 1955.

Kami yang menginap di Hotel Savoy Homann dengan sangat mudah menjangkau Alun-alun Bandung dan Masjid Raya Bandung. Selepas dari Gedung Asia Afrika - Museum Asia Afrika - juga bisa langsung ke masjid ini. Jarak yang mudah dijangkau dan begitu dekat dengan kemacetan lalu lintas biasa saja. Bahkan, di saat lengang bisa dengan mudah berdiri di tengah jalan - tetapi harus waspada.

Masjid Raya Bandung terbagi menjadi Ruang Dalam Bagian Depan dan Ruang Salat Utama. Ruang Dalam Bagian Depan biasanya digunakan untuk acara pengajian, pernikahan, maupun istirahat bagi warga yang singgah ke masjid. Sedangkan Ruang Salah Utama tak lain tempat beribadah. Kedua ruang ini dipisahkan oleh jembatan di mana di bagian bawah terdapat tempat wudhu.

Dalam banyak kesempatan, selalu saja masjid menjadi tujuan utama. Mau jalan-jalan sampai ke ujung dunia, masjid tetaplah tujuan pertama. Saat bersujud, doa yang terpanjat, Tuhan akan mengabulkan segala kemungkinan yang tak mungkin.

Masjid Raya Bandung adalah sebuah rindu yang kemudian tercapai. Dari angan-angan sekian tahun, jadi kenyataan lebih dari 10 tahun. Tak apa. Asalkan kita selalu bersyukur. Bukankah demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun