Ramadhan tahun ini telah berlalu. Perempuan dengan selendang di pundaknya ini sedang menghitung-hitung berapa hari di Ramadhan tahun lalu ia tidak berpuasa. Dahinya berkerut, antara galau dan bingung. Bukan karena ia tidak mau mengganti puasa yang ia tinggalkan di Ramadhan tahun lalu, ia masih bimbang antara lima dan enam hari ia berpalang merah di bulan nan mulia itu. Palang merah dalam tanda kutip perempuan itu, ia tidak suci seperti perempuan lainnya atau sedang datang bulan. Nah, puasa Ramadhan yang datang setahun sekali tidak boleh apalagi shalat lima waktu sehari. Ia tentu harus mandi wajib dulu membersihkan diri.
Sudahlah. Ia benar-benar harus mengingat antara lima atau enam hari yang telah ia tinggalkan begitu haid di Ramadhan lalu. Perempuan dengan bola mata hitam pekat ini merasa menyesal tidak mengganti puasa di awal Syawal setelah Ramadhan. Kebiasaan lama yang terus ia jadikan alasan bermalasan mengganti puasa yang telah ia tinggal.
Perempuan ini tidak lantas bergegas puasa. Ia malah mengumbar tanya pada kerabat perempuan lain agar bisa mengganti puasa bersama-sama. Ia merasa tidak nyaman puasa sendirian kalau bulan di bulan Ramadhan, orang lain seenaknya menyantap makanan kesukaan di depan matanya. Jika ada kawan yang belum ganti puasa ia tidak sungkan berpuasa juga, hitung-hitung ada yang temani.
Seorang kerabat laki-laki menegurnya kala itu. “Apa kamu ke surga juga bersama dengan yang lain? Bagaimana jika yang kamu ajak tidak cukup amal?”
Perempuan ini malah mencibir dengan menggumam tidak jelas. Dalam hati ia miris dan sinis menjawab, “Dia laki-laki! Tidak harus mengganti puasa karena tidak haid di bulan Ramadhan!”
Ia tidak menyalahi kodrat sebagai perempuan tapi ia merasa risih harus puasa di tengah orang lain sedang tidak menahan haus dan lapar. Waktu sedang tidak bersemangat karena ditegur kerabat laki-laki itu, Bapak datang, menambah teguran.
“Kamu harus bersyukur diberikan istirahat beberapa hari di bulan Ramadhan, itulah keistimewaan perempuan di mata Allah!” Ia tidak membantah bahkan membenarkan perkataan Bapak. Namun ia belum yakin akan berpuasa besok.
Sore hari, suaminya yang baru pulang berkebun di tanah milik keluarganya tergesa-gesa ke dapur. Suaminya mengirsa ia sudah mengganti puasa hari ini, laki-laki itu memanaskan air di kompor untuk membuat kopi sore, untuknya sendiri agar tidak merepotkan istri yang sedang berpuasa, pikirnya. Belum juga air di panci tua memanas laki-laki dengan jenggot tipis ini melihat sang istri sedang makan jambu merah di teras rumah mereka.
“Belum puasa juga kau hari ini? Apakah harus aku yang mengganti tujuh hari bolongan jahitan Ramadhanmu tahun lalu?” ujar suaminya tegas. Setelah berkata itu sang suami langsung terbirit-birit ke kamar mandi. Bau keringat membuat laki-laki berbadan tegap ini ingin segera mandi. Sang perempuan – istri tercintanya yang ditinggal dengan teguran pedas hampir keselek mendengarnya, juga tidak menyadari kehadiran suami. Yang lebih ia sesalkan bukan cuma itu, malah suaminya yang ingat ia tidak puasa Ramadhan lalu sebanyak tujuh hari. Lagi pula ia mengira lima atau enam hari saja, belum lagi genap empat puluh tahun umurnya penyakit lupa sudah merajalela pikirannya.
“Puasa itu harus diganti, kalau tidak mau menyusahkan orang lain nanti sewaktu mak sudah tiada!” anak sulungnya yang baru pulang main bola di lapangan belakang rumah dan masih kelas tiga sekolah menengah tingkat pertama ini berani menengur maknya. Tersinggung. Bibir perempuan ini manyum. Digigitnya jambu merah sampai mata membulat lebar. Geram. Marah. Tapi untuk apa? Suami sendiri, juga anak sendiri.
Besok ia akan berpuasa! Titik. Tidak akan jadi koma, untuk sore ini!
Tiba esok hatinya, ia sungguh berpuasa. Awal pagi yang malas membuat hatinya lesu sampai sore. Anak dan suami dibiarkan telantar tanpa nasi bahkan lauk pauk. Ia malah selonjor di depan televisi dengan tawa terbahak-bahak. Anak dan ayah yang melihat tingkah ibu pasrah menerima keadaan.
Si bungsu pulang hampir menjelang magrib. Waktu itu, makanan sudah banyak terhidang di meja makan. Perempuan itu memasak sekali saja di sore hari sekalian ia berbuka puasa. Si bungsu langsung menyantap dengan dengan lahapnya karena siang tadi ia hanya makan mie rebus spesial rajikan chef sulung yang rasanya keasianan dan kepedasan.
Azan magrib berkumandang. Sang ibu buru-buru meninggalkan tayangan televisi yang menurutnya sangat inspirasi, kisah menantu dibentak-bentak mertua karena keasianan daging ayam panggang. Sang ibu berburu minuman segar yang baru seteguk diminum si bungsu. Alasan ibu, tidak sempat menuangkan ke gelas yang lain.
“Ustadku bilang, orang yang berpuasa lalu menyiapkan makan untuk orang yang tidak berpuasa atau anak-anaknya ini itu hukumnya sunnah dan dapat pahala!” kata si bungsu penuh penekanan dan makna, karena itu susah tidak ada yang masak. Walaupun ucapannya benar adanya. “Terus, katanya juga kalau buka puasa itu harus berdoa terlebih dahulu dan tidak terburu-buru nanti pahalanya hilang! Benar kan, ayah?” si bungsu masih nyerosos sambil terus makan dengan tidak berpaling ke arah ibunya pun pada ayah yang ia minta persetujuan.
Perempuan itu meletakkan gelas panjang minuman segar yang sudah habis dilahapnya, persis di depan si bungsu yang melirik kecewa dengan ekor mata sayunya. Berpaling ke suami dan si sulung, sekonyong-konyong meminta dukungan telah menelah semua minuman si bungsu. Sang suami angkat bahu dan di sulung tampak berpikir sebelum mengeluarkan suara.
“Makanan sebanyak ini enaknya di makan sekali duduk saja mak, asyiknya lagi di depan televisi, kayaknya sinetron anak menantu bertengkar tiap hari itu belum selesai. Ohya, jangan lupa sekalian tanyain berapa rakaat shalat magrib dan kalau perlu minta diajarin shalat magrib sekalian sama artis-artis cantik itu kali aja mak sudah lupa!” si sulung tersenyum simpul dan bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu.
“Si abang benar, mak,” sang suami malah ikutan mendukung si sulung dan meninggalkannya bersama si bungsu yang kelihatan seperti anak kelaparan yang lupa dikasih makan orang tuanya. Sikap si bungsu juga masih dingin, masih marah dengan tangan jahil sang ibu yang merampas minuman segar miliknya tidak lebih lima menit yang lalu.
Hati perempuan itu iba, sayang sekali menatap putri bungsunya yang sedang melahap makan malam dengan rakus, lalu berpaling pada suami di depan pintu kamar mandi menunggu putra sulung mereka selesai mengambil air sembahyang untuk segera shalat setelah bersuci. Baru sehari saja puasa ganti yang ia kerahkan seluruh tenaga untuk dapat mempertahankan sampai magrib, lelahnya seperti ia sudah puasa tiga puluh hari di bulan Ramadhan tanpa henti karena datang bulan.
Tapi hasilnya tentu tidak sebanding dengan seluruh keluarga menahan lapar karena keegoisannya. Apa salahnya ia memasak untuk kedua buah hati dan suami tercintanya? Ia tidak perlu mencicipi, setiap hari ia memakan di saat tidak puasa juga jarang mencicipi dan rasanya tetap enak. Tidak ada nada protes dari suami, sulung bahkan bungsu yang doyan makan.
Rasanya puasa hari ini seperti telah menyita seluru tenaga dan sia-sia saja. Lelah badan, capek pikiran dan pahala melayang entah kemana-mana, mungkin diambil suami sedikit, sulung sedikit dan lebihnya dilahap di bungsu karena ia yang paling menderita hari ini.
Hari kedua, pagi-pagi sekali ia sudah di dapur. Suami yang baru pulang melepas kerbau mereka yang tiga itu agar dapat merumput sendiri tampak terkejut. Si sulung dan di bungsu masih bersiap-siap ke sekolah di kamar mereka.
“Kau tidak puasa hari ini?”
Sang istri tidak menjawab. Menunggu si sulung dan si bungsu selesai berpakaian seragam kebanggaan mereka. Ketika melihat kedua anaknya mendekat, perempuan ini terbinar dan berkata lantang seolah takut didahului suami. “Hari ini mak masak sup udang kesukaan kalian, dan ingat itu juga untuk lauk nanti siang. Selamat makan!” sang ibu berlalu meninggalkan suami dan anak yang melongo heran dan berlari ke meja makan.
“Mak kayak nggak ikhlas ya?” cetus si bungsu. Si sulung dan ayah sudah duduk di kursi masing-masing.
Saat tudung saji dibuka Ayah, ketiga anak manusia itu saling pandang dan lesu. Memang benar ada sup udang tapi porsinya bukan untuk tiga perut, si bungsu saja tidak cukup. Si bungsu melirik Ayah dengan sangat menderita, menelan ludah saking ingin segera menyantap sup di depan matanya.
“Supnya dibagi tiga ya! Sisanya mak simpan untuk nanti siang!” suara mak dari ruang keluarga menambah berkurang napsu makan. Udang cuma tiga, kecil-kecil pula, tiga potongan tomat, tiga potongan wortel dan kentang, sisanya kuah dan cabai merah yang diiris kecil-kecil.
Ayah mengalah dan memilih makan dengan kuah dan cabai iris saja. Si bungsu senang bukan main, jatah Ayah sudah jadi miliknya. Si sulung malah sarapan dengan setengah hati. Mau nambah lauk sudah habis dituang ke piring si bungsu semua, tidak nambah artinya derita ia hari ini karena pelajaran olahraga – hari ini gurunya memberi tugas lari seratus meter. Belum tentu ia sanggup dengan keadaan seperti ini. Matanya sayu, namun Ayah membiar begitu saja.
Waktu sore, saatnya berbuka untuk ibu, sang ibu memasak dengan porsi lebih banyak dan sup yang tadi pagi ia masak juga dikeluarkan lagi dari persembunyiannya. Bahkan lebih dari setengah tadi siang, si sulung dan bungsu merana melihat sup udang kesukaan mereka itu. Bukan karena sore ini lebih banyak, tetapi karena tadi pagi dan siang mereka cuma makan sedikit.
“Mak puasa atau bukan? Masaknya nggak ikhlas untuk kami!” keluh si bungsu yang terbiasa makan banyak.
Perempuan itu tersenyum simpul.
“Sesekali diet kan nggak apa-apa, sayang,”
“Kok diet? Kami kan masih kecil!” si bungsu tidak terima, kata kami itu sebenarnya hanya untuk dia bukan menambah si sulung dan ayahnya.
“Berdiet dan temani mak puasa sekalian dapat pahala!” tegas perempuan itu sambil menuangkan nasi dan lauk ke piringnya sendiri.
“Nggak mau!!!” seru suami, si sulung dan si bungsu berbarengan.
Perempuan ini, ada-ada saja. Ia yang puasa malah seluruh keluarga juga dibuat seperti harus berpuasa bersamanya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H