Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Puasa Ganti

17 Juli 2016   15:42 Diperbarui: 17 Juli 2016   15:46 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadhan tahun ini telah berlalu. Perempuan dengan selendang di pundaknya ini sedang menghitung-hitung berapa hari di Ramadhan tahun lalu ia tidak berpuasa. Dahinya berkerut, antara galau dan bingung. Bukan karena ia tidak mau mengganti puasa yang ia tinggalkan di Ramadhan tahun lalu, ia masih bimbang antara lima dan enam hari ia berpalang merah di bulan nan mulia itu. Palang merah dalam tanda kutip perempuan itu, ia tidak suci seperti perempuan lainnya atau sedang datang bulan. Nah, puasa Ramadhan yang datang setahun sekali tidak boleh apalagi shalat lima waktu sehari. Ia tentu harus mandi wajib dulu membersihkan diri.

Sudahlah. Ia benar-benar harus mengingat antara lima atau enam hari yang telah ia tinggalkan begitu haid di Ramadhan lalu. Perempuan dengan bola mata hitam pekat ini merasa menyesal tidak mengganti puasa di awal Syawal setelah Ramadhan. Kebiasaan lama yang terus ia jadikan alasan bermalasan mengganti puasa yang telah ia tinggal.

Perempuan ini tidak lantas bergegas puasa. Ia malah mengumbar tanya pada kerabat perempuan lain agar bisa mengganti puasa bersama-sama. Ia merasa tidak nyaman puasa sendirian kalau bulan di bulan Ramadhan, orang lain seenaknya menyantap makanan kesukaan di depan matanya. Jika ada kawan yang belum ganti puasa ia tidak sungkan berpuasa juga, hitung-hitung ada yang temani.

Seorang kerabat laki-laki menegurnya kala itu. “Apa kamu ke surga juga bersama dengan yang lain? Bagaimana jika yang kamu ajak tidak cukup amal?”

Perempuan ini malah mencibir dengan menggumam tidak jelas. Dalam hati ia miris dan sinis menjawab, “Dia laki-laki! Tidak harus mengganti puasa karena tidak haid di bulan Ramadhan!”

Ia tidak menyalahi kodrat sebagai perempuan tapi ia merasa risih harus puasa di tengah orang lain sedang tidak menahan haus dan lapar. Waktu sedang tidak bersemangat karena ditegur kerabat laki-laki itu, Bapak datang, menambah teguran.

“Kamu harus bersyukur diberikan istirahat beberapa hari di bulan Ramadhan, itulah keistimewaan perempuan di mata Allah!” Ia tidak membantah bahkan membenarkan perkataan Bapak. Namun ia belum yakin akan berpuasa besok.

Sore hari, suaminya yang baru pulang berkebun di tanah milik keluarganya tergesa-gesa ke dapur. Suaminya mengirsa ia sudah mengganti puasa hari ini, laki-laki itu memanaskan air di kompor untuk membuat kopi sore, untuknya sendiri agar tidak merepotkan istri yang sedang berpuasa, pikirnya. Belum juga air di panci tua memanas laki-laki dengan jenggot tipis ini melihat sang istri sedang makan jambu merah di teras rumah mereka.

“Belum puasa juga kau hari ini? Apakah harus aku yang mengganti tujuh hari bolongan jahitan Ramadhanmu tahun lalu?” ujar suaminya tegas. Setelah berkata itu sang suami langsung terbirit-birit ke kamar mandi. Bau keringat membuat laki-laki berbadan tegap ini ingin segera mandi. Sang perempuan – istri tercintanya yang ditinggal dengan teguran pedas hampir keselek mendengarnya, juga tidak menyadari kehadiran suami. Yang lebih ia sesalkan bukan cuma itu, malah suaminya yang ingat ia tidak puasa Ramadhan lalu sebanyak tujuh hari. Lagi pula ia mengira lima atau enam hari saja, belum lagi genap empat puluh tahun umurnya penyakit lupa sudah merajalela pikirannya.

Puasa itu harus diganti, kalau tidak mau menyusahkan orang lain nanti sewaktu mak sudah tiada!” anak sulungnya yang baru pulang main bola di lapangan belakang rumah dan masih kelas tiga sekolah menengah tingkat pertama ini berani menengur maknya. Tersinggung. Bibir perempuan ini manyum. Digigitnya jambu merah sampai mata membulat lebar. Geram. Marah. Tapi untuk apa? Suami sendiri, juga anak sendiri.

Besok ia akan berpuasa! Titik. Tidak akan jadi koma, untuk sore ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun