Orang itu sudah kaya! Sebuah penafsiran yang tabu untuk kampungku. Kaya adalah idola. Hidup kaya adalah segala.
Orang itu punya semua yang diinginkan. Harta benda melimpah. Aset harta berupa ruko dengan barang siap jual. Rumah mewah sudah dibangunnya. Anak-anak sudah disekolahkannya sampai jadi diploma.
Orang itu sudah dapat segala.
***
Tangis itu kembali terdengar! Kali ini benar-benar membuat kesabaranku habis. Aku yang lelah seharian bekerja di sawah semakin emosi mendengar raungan tangisan panjang. Dalam hati aku mulai menghitung. Bukan menghitung lama tangis melengking. Aku menghitung seberapa lama sabarku bisa bertahan.
Sengaja kudiamkan sejenak dan menikmati tangisan itu. Namun hitungan kesabaranku berakhir di angka sepuluh jam dinding rumahku. Inilah saatnya aku mengistirahatkan lelah, besok aku akan kembali ke sawah dan memanen padi di bawah terik matahari.
Kulitku sudah tidak bisa dilihat dalam gelap. Sama-sama pekat dengan malam yang semakin beranjak jauh meninggalkan dengkuran. Kulitku bergaris-garis. Kusam. Dan malang! Sudah lama aku tidak merawat kulitku yang tiap hari terpanggang lama.
Tangis itu memekik kuat. Aku terhenyak. Apakah dia tercekik. Dicekik. Dililit. Dicubit. Entahlah. Tangisnya benar-benar menganggu istirahatku.
Dia punya rumah besar. Tapi dia membawa lari tangisnya keluar. Itu menganggu. Itu memamerkan hanya dia yang punya airmata. Orang lain juga susah di kampung ini. Orang lain juga tak punya uang. Orang lain juga menderita. Orang lain juga butuh istirahat.
Orang lain juga tahu kalau pemilik rumah itu sudah tak berharta! Tanah tempat dibangun ruko miliknya sudah dijual, untuk membiayai sekolah anaknya, kebutuhan hidupnya. Orang kampung tahu itu!
Tapi suara tangis? Orang tidak sanggup lama-lama mendengar. Orang lain juga punya airmata. Punya susah. Punya luka.