Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payudara Lepuh

1 April 2016   17:09 Diperbarui: 1 April 2016   17:32 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Mungkin, ini akan menjadi akhir segala….

Bagaimana hidup seorang diri? Tidak ada definisi yang mampu menguraikan gusar hati saat ingin ada tangan kekar memapahku dari jalan buntu. Terlahir sebagai wanita, aku membutuhkan segala dari pria. Rupa yang elok tidak menjamin pria hinggap dalam hariku, bahkan dalam mimpi pun tak pernah kutemui pria menawar senyum pada sepi hatiku.

Kata orang, aku terlampau memilih pria yang menjenguk masa mudaku. Umur memang tidak pernah tawar-menawar dalam hal apa pun. Saat masa menjatuhkan usia untuk segera berlabuh dalam pelukan pria idaman, aku malah duduk menyendiri dalam ruang gelap.

Wanita mana yang akan bertahan sendiri? Di usia muda, saat tenaga masih bisa dipaksa mencari rejeki wanita mana pun tidak mau bergantung hidupnya pada pria. Termasuk aku. Terlalu egoiskah aku dalam hal memilih jodoh? Tentu saja tidak semudah saat tulisan ini kurangkai jadi kata-kata panjang pemanis mata dan rasa. Banyak pertimbangan sehingga aku tidak mencari pria menjadi pasangan hidupku. Ah, kesannya sangat berlebihan jika aku yang mencari pria. Bagaimana pun adat ketimuran yang kupegang teguh, semestinya pria yang mengejar-ngejar cintaku.

Cinta? Apa yang kuketahui tentang lima huruf yang dirangkai menjadi sebuah kata, yang bagiku bermakna hambar sekali. Di angka empat ditambah tiga, menjadi usia yang sangat berat bagiku. Dulunya, aku tidak pernah memikirkan ke mana hatiku akan berlabuh. Semenjak wajahku mulai tak elok lagi, baru kusadari belum pernah ada satu pria pun yang menjamah tubuh semampaiku.

Percuma saja kupelihara badan yang sempurna jika setiap perjumpaan dengan laki-laki tampan kubuang wajah jauh-jauh.

“Sekali-kali kau harus mengalah, Ai!” ujar Butet. Wanita paling gemuk di kantorku itu sudah beranak tiga di usia pernikahan hampir sepuluh tahun. “Tak indah pula hidup kau itu sendiri saja! Kau tengoklah aku, biar hitam pekat kayak malam tak berbintang, berat melebihi dua kali badan kau itu bahkan lebih, tetap saja ada yang mau!” Butet menambahkan sambil mengunyah makanan ringan di depan mejanya. Walau sudah lebih sepuluh tahun kerja di sini, Butet tetap saja mempertahankan logat Medan di mana pun suaranya terdengar.

Aku manyum. Sudah sering pula kudengar Butet memberi petuah masalah hidupku yang semakin hari semakin keriput.

“Kukasih tahu sama kau! Bijak-bijaklah kau bersikap, tak perlu kau merengek pun orang pasti mau sama kau itu!” Butet masih terus bicara sembari membenarkan letak kerudungnya yang tak pernah benar semenjak kukenal dia. “Kau itu cantik, tinggi, pintar, sudah pernah ke mana-mana, kenal dengan banyak orang, bekerja untuk wanita korban konflik maupun tsunami. Masa kau lupa masalah jodohmu sendiri! Itu yang aku tak suka dari kau itu!”

Aku sudah terbiasa dengan ucapan Butet. Bahkan aku sering pura-pura paham akan omongannya. Di antara rekan sekantor lain, Butet paling mengerti nasib wanita lajang sepertiku. Pernah sekali dua kali Butet kenalkan padaku anggota grup futsal suaminya, pernah juga aku menghabiskan beberapa waktu bersama seorang pria yang sangat mapan. Namun, lagi-lagi aku menghindar saat pembicaraan mengarah ke arah lebih serius.

Ketakutanku tentu sangat beralasan. Dan alasan itu hanya aku yang tahu.

“Tidak ada pilihan lain, Ai!”

Hari itu sudah sangat larut, saat badanku terasa sangat lelah. Bukan karena habis berdebat dengan Butet, tetapi karena fisiku yang tidak bisa komproni akan rasa yang diemban. Aku duduk di depan seorang pria muda, tampan, berbadan tegap; tak ada wanita yang rela melepaskan pelukannya jika bersentuhan dengan tubuh atletis pria ini. Tapi pandanganku kosong, tidak kutatap dada bidangnya yang kekar, tidak kuindahkan senyumnya yang menawan, tidak kuhiraukan perhatian nonverbalnya terhadap risauku.

“Tidak ada jalan keluar lagi, Zak?”

Pria di depanku menggeleng. Kukenal dia sudah lama. Sebelum aku mengenal Butet yang sekarang jadi karibku. Hubunganku dengan Zaki lagi-lagi hanya sebatas sahabat. Lagi pula jarak usia menghalangiku menjamah ketampanan pria ini. Zaki lebih mudah lima tahun dariku, dan sekarang sudah punya istri dan seorang putra. Pria mapan ini tetap saja menjadi sahabatku walau sering kali istrinya membentak sikapnya agar menjauh dari lajang cantik sepertiku.

Wanita mana yang mau melepaskanmu, Zak?

“Saranku Ai,” pria dengan mata bening tak berbintik sedikit pun itu menatapku lekat-lekat. Malam sudah sangat larut. Berulang kali pula ponsel Zaki bergetar di atas meja. Pria itu tidak menghiraukan panggilan istrinya. “Kita lakukan operasi, ya, maksudku, kemungkinan terburuk tetap ada, aku belum siap kehilangan sahabat!” mata Zaki berkaca-kaca.

“Aku tidak akan kenapa-kenapa, Zak!” bantahku. Kubuat diriku setegar mungkin. Sudah lama hatiku kokoh bagai karang. Semenjak kutahu bahwa hidupku akan habis masanya begitu kuketahui masalah ini. Ternyata Tuhan berkata lain, dua puluh tahun lalu aku tahu ini lebih memberatkan hidupku, sampai sekarang hidupku masih tetap tegar. Malah lebih kuat dari wanita yang tidak mengalami masa-masa sulit sepertiku.

“Ai, aku tidak bisa membiarkanmu menderita. Sudah cukuplah waktu untuk kita berdebat masalah ini. Hari ini aku tidak mau mengalah, kita harus operasi!” suara Zaki meninggi. Memang, Zaki tidak pernah bicara dengan nada memaksa terhadapku.

“Aku tetap hidup, walau kamu dulu pernah berkata hidupku tidak akan bertahan lama!” ujarku sedikit tertekan. Tidak bisa kupungkiri pula perih hatiku memuncak. “Tuhan tahu aku banyak melakukan kebaikan, mendampingi wanita-wanita yang kehilangan suami, kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta benda bahkan kehilangan kehormatan diri mereka semenjak bumi kita luluh-lantak akibat keegoisan penguasa!”

“Benar, Ai! Itu dulu, fisikmu tidak sama seperti dulu lagi!”

“Memang, aku sudah tidak sempurna! Dari dulu aku tidak sesempurna dirimu, Zak! Alasan kenapa aku tidak pernah menerima pinangan pria mana pun karena ini, karena aku seperti ini, karena aku akan merenggut bahagia mereka, karena aku tidak bisa memberikan pengharapan, karena aku akan membawa kekecewaan, karena aku tidak akan pernah bisa memberi keturunan mereka!” suaraku sudah hampir serak. “Katakan saja, Zak! Sekaranglah waktunya untuk mengangkat payudaraku! Harta berharga yang kupunyai!”

Zaki mematung. Pria itu terdiam. Tabiatnya, jika sedang gusar akan mengetuk-ngetuk meja sehingga menimbulkan bunyi bernada syahdu. Benar saja. Zaki sudah mulai mengetuk meja. Semakin cepat, semakin berirama, sebuah simfoni tercipta. Aku dan Zaki sama-sama tidak tahu makna ketukan meja tersebut.

“Angkat payudara adalah jalan terbaik, Ai! Kita tidak pernah tahu skenario yang Tuhan tulis, aku percaya kamu akan lebih tegar. Waktu yang kamu jalani dengan rasa sakit dan obat-obatan, kita jadikan sebagai hadiah Tuhan untukmu berbakti pada negerimu. Kita usaha lagi, sekali lagi, urusan berhasil atau tidak, kita serahkan pada Tuhan yang mengizinkan kamu kembali membantu mereka yang butuh uluran tanganmu!”

Mulutku sedikit terbuka untuk kembali membela diri. Zaki mendahului. “Tidak banyak orang bisa bertahan dengan penyakit sepertimu, seharusnya kamu bersyukur pada Tuhan yang memanjangkan usia sampai bisa berbuat banyak kebaikan!”

***

Dadaku sesak. Butet yang duduk di depanku masih belum menyadari apa yang terjadi padaku. Sedikit berlari aku membanting pintu kamar mandi, perlahan kubuka kancing kemeja biru muda dan mataku terbelalak. Oh, ada darah, bukan, nanah, bukan, apa ini?

“Butet!!!”

Sebelum kusadari Butet masuk ke kamar mandi, aku sudah linglung. Aku akan terbang jauh!

***

Beginikah rasanya saat malaikat memanggilku?

Saat tersadar, aku belum bisa melihat sekeliling. Mataku lurus ke depan. Kulirik kiri kanan. Lalu ke dada. Aku menarik nafas panjang. Perih luar biasa. Harapanku sudah hilang, bahagia tidak akan pernah benar-benar kudapati setelah hari ini. Mungkin saja, aku akan menjadi wanita termalang di dunia tanpa memiliki payudara lagi!

Kutahu, aku belum mati. Aku berada di rumah sakit. Zaki sudah tidak mendengar alasan apapun dariku. Semenjak pingsan di kamar mandi kantor karena melihat bercak nanah keluar dari payudaraku, tanpa kompromi lagi Zaki langsung mengangkat kedua payudaraku.

Entahlah. Ini jalan terbaik atau bukan. Aku mau tertidur lagi seperti sediakala. Biar saat terbangun bisa kudapati bahagia selama-lamanya seperti dalam film-film kartun.

Kucoba pejamkan mata. Fisikku memang sudah lemah, tapi mataku tidak mampu menarik tidur yang sedang sembunyi entah di mana. Kucoba dengan cara lain, mengkhayal hal-hal indah setelah ini, tidak bisa pula mengantarkan mataku pada rasa kantuk. Akhirnya, aku memilih membayangkan hidupku setelah ini, baik dan buruk. Hal terpuruk tentu saja kanker payudara yang baru saja dibuang dari tubuhku. Mahkota wanita berharga milikku sudah tidak ada lagi, nanti tubuhku tidak akan berbeda dengan pria mana pun. Tidak bisa kubayangkan bagaimana kelak kujalani hidup.

Kanker ini merenggut banyak nyawa. Siapa pun memang akan mati. Apa rasanya saat payudara tidak ada lagi? Satu alasan yang kupertahanan sejak dulu. Aku tidak akan sempurna sebagai wanita jika dadaku rata. Terapi sampai ke luar negeri sudah kujalani dengan pengobatan mahal. Kuakui, walau aku bekerja di lembaga swasta tetapi gajiku melebihi pegawai negeri dengan dana tambahan mengalir begitu saja dari donatur luar negeri jika proyek yang kami kerjakan berhasil.

Semuanya sudah tidak penting, tabunganku terkuras habis. Badanku lelah. Kanker ini pun tidak pernah hilang dari tubuhku. Tetap saja harus dihilangkan jejaknya selamanya.

Benarkah hilang seutuhnya?

***

Aku belum bisa menerima kekurangan yang kumiliki kini. Sudah lebih sebulan pula aku cuti dari kantor. Aku belum berani menampakkan diri di lingkungan banyak pandangan. Walau mereka tidak akan tahu tanpa kukasih tahu. Aku tetap saja merasa tidak percaya diri.

“Aku kesepian tanpa kau di kantor, Ai!” ujar Butet saat berkunjung. “Jangan lama-lama kau mengurung diri di rumah, makin tak sedap dipandang kau nanti!”

Butet benar. Aku masih bisa bekerja. Kembali. Kekurangan ini akan kujadikan senjata buatku ke depan. Kita tidak benar-benar tahu, siapa lagi sasaran penyakit ini!

Belum terangkat seutuhnya tubuhku dari kursi ruang keluarga, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.

Bangkitlah! Banyak orang menanti uluran tanganmu! (Zaki).

Ah, dari dulu Zaki memberi perhatian lebih padaku. Jika saja tidak ada penyakit ini dalam tubuhku, bisa jadi aku yang menjadi istrinya.

Sesuatu yang tidak mungkin, bisa saja jadi mungkin!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun