Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payudara Lepuh

1 April 2016   17:09 Diperbarui: 1 April 2016   17:32 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketakutanku tentu sangat beralasan. Dan alasan itu hanya aku yang tahu.

“Tidak ada pilihan lain, Ai!”

Hari itu sudah sangat larut, saat badanku terasa sangat lelah. Bukan karena habis berdebat dengan Butet, tetapi karena fisiku yang tidak bisa komproni akan rasa yang diemban. Aku duduk di depan seorang pria muda, tampan, berbadan tegap; tak ada wanita yang rela melepaskan pelukannya jika bersentuhan dengan tubuh atletis pria ini. Tapi pandanganku kosong, tidak kutatap dada bidangnya yang kekar, tidak kuindahkan senyumnya yang menawan, tidak kuhiraukan perhatian nonverbalnya terhadap risauku.

“Tidak ada jalan keluar lagi, Zak?”

Pria di depanku menggeleng. Kukenal dia sudah lama. Sebelum aku mengenal Butet yang sekarang jadi karibku. Hubunganku dengan Zaki lagi-lagi hanya sebatas sahabat. Lagi pula jarak usia menghalangiku menjamah ketampanan pria ini. Zaki lebih mudah lima tahun dariku, dan sekarang sudah punya istri dan seorang putra. Pria mapan ini tetap saja menjadi sahabatku walau sering kali istrinya membentak sikapnya agar menjauh dari lajang cantik sepertiku.

Wanita mana yang mau melepaskanmu, Zak?

“Saranku Ai,” pria dengan mata bening tak berbintik sedikit pun itu menatapku lekat-lekat. Malam sudah sangat larut. Berulang kali pula ponsel Zaki bergetar di atas meja. Pria itu tidak menghiraukan panggilan istrinya. “Kita lakukan operasi, ya, maksudku, kemungkinan terburuk tetap ada, aku belum siap kehilangan sahabat!” mata Zaki berkaca-kaca.

“Aku tidak akan kenapa-kenapa, Zak!” bantahku. Kubuat diriku setegar mungkin. Sudah lama hatiku kokoh bagai karang. Semenjak kutahu bahwa hidupku akan habis masanya begitu kuketahui masalah ini. Ternyata Tuhan berkata lain, dua puluh tahun lalu aku tahu ini lebih memberatkan hidupku, sampai sekarang hidupku masih tetap tegar. Malah lebih kuat dari wanita yang tidak mengalami masa-masa sulit sepertiku.

“Ai, aku tidak bisa membiarkanmu menderita. Sudah cukuplah waktu untuk kita berdebat masalah ini. Hari ini aku tidak mau mengalah, kita harus operasi!” suara Zaki meninggi. Memang, Zaki tidak pernah bicara dengan nada memaksa terhadapku.

“Aku tetap hidup, walau kamu dulu pernah berkata hidupku tidak akan bertahan lama!” ujarku sedikit tertekan. Tidak bisa kupungkiri pula perih hatiku memuncak. “Tuhan tahu aku banyak melakukan kebaikan, mendampingi wanita-wanita yang kehilangan suami, kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta benda bahkan kehilangan kehormatan diri mereka semenjak bumi kita luluh-lantak akibat keegoisan penguasa!”

“Benar, Ai! Itu dulu, fisikmu tidak sama seperti dulu lagi!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun