Jamhur duduk di antara atap bocor. Tidak menoleh pada kedua orang tuanya. Matanya memerah. Menyala-nyala. Petir menyambar, raut wajah Jamhur membekas merah padam.
Jamhur sudah tak sabar rupanya. Dia makin membuat tingkah, bahwa dirinya adalah segala bagi Wa Din. Apapun yang dimintanya akan dikasih. Wa Din rela menukar nyawa untuk putra satu-satunya. Jamhur tahu hal itu. Penantian Wa Din akan kelahiran seorang anak begitu panjang, tak mungkin Wa Din sukar memenuhi keinginannya.
“Besok, saya sudah harus punya motor!”
Wa Din menunduk. Di alas kasar tak bermarmer sudah mulai dipenuhi air hujan. Jika bocor atap itu tak dibenahi, malam ini Wa Din dan istri tak tahu tidur di mana. Jamhur tak pernah tidur lagi di rumah semenjak usianya melewati tujuh belas. Jamhur lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Di kantor pos ronda, balai desa, musalla tua dan usang tak terpakai lagi, jangan harap ke masjid, hanya sesekali saja di hari Jumat. Tidak rutin setiap minggu.
Wa Din mendesah. Ia tidak salah mendidik Jamhur sejak kecil. Seperti tradisi kampung dan Aceh. Jamhur sudah diajarkan sopan santun sesuai ajaran yang benar, sudah dikasih tahu baik buruk, halal haram, shalat, puasa, zakat dan mengaji. Semua sudah diajarkan. Tak ada yang luput dari pandangan Wa Din. Pendidikan agama sangat penting untuk bekal Jamhur, namun putranya sudah berubah. Sejak usianya baligh dan sudah banyak mengenal teman.
Wa Din tak akan mengeluh. Itulah sifatnya. Wa Din hanya diam saja. Ternyata, Tuhan masih sangat sayang padanya, hanya diberikan satu anak saja, bayangkan jika sampai selusin, Wa Din tak akan sanggup membimbing ke jalan yang benar.
Hujan tinggal gerimis, Jamhur berdiri.
“Besok, saat saya pulang, Bapak sudah harus ada uang beli motor!”
Bayang Jamhur hilang ditelan malam yang tak lagi berpetir. Gelap. Meninggalkan Wa Din bersama istri, ibunya sendiri.
Dalam remang, tak ada pembicaraan, Wa Din berdiri, lampu minyak di sudut ruang keluarga tak bersofa itu menyala tak gairah. Wa Din berjalan ke belakang rumah, ada sisa daun rumbia kering di sana, paling tidak cukup untuk menambal atap yang bocor. Agar istrinya bisa tidur nyenyak malam ini.
Dalam syahdu malam, udara dingin menggigit kulit, Wa Din tak berkata apa-apa mengenai permintaan Jamhur pada istrinya. Wa Din hanya akan menambah beban perempuan yang sudah melahirkan Jamhur dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih itu.