Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fiksi Penggemar RTC] Ratu Lupa Lirik  

8 September 2015   15:00 Diperbarui: 8 September 2015   15:15 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Nomor Peserta 42...

***

“Ya Tuhan!”

Ia bersimpuh di atas panggung. Matanya berkunang-kunang. Bibirnya kelu. Lidahnya kaku. Tak ada suara yang dapat ia keluarkan. Ia hanya mampu memainkan koreografi yang itu pun lupa-lupa ingat, ingat-ingat lupa gerakannya, apakah ke kiri, ke kanan, ke belakang, ke depan, ke mana-mana. Ia kalut. Kalang-kabut. Mau nangis, airmata tak kunjung keluar. Mau berteriak, itu bukan lirik yang sebenarnya. Mau meminta pertolongan, itu pun entah kepada siapa ia memintanya. Aungan penonton semakin membuatnya patah arah. Ia merintih dalam hati. Ke mana akan ia bawa rasa malu ini. Tidak mungkin ia simpan percuma jika semua orang menertawakannya.

Nggak mungkin ini terjadi padaku!

Bentaknya dalam hati. Lagu ini pun kenapa pula terlalu rumit. Kenapa pula pencipta lagu ini tidak mengulang lirik di bagian kedua, ketiga atau keempat. Kenapa pula ia harus menyanyinya lagu yang mempunyai lirik berbeda di tiap bait dari awal sampai akhir. Kenapa pula ia menerima tawaran juri menyanyikan lagu ini. Kenapa pula ia mengikuti ajang pencarian bakat ini!

Ini sudah keterlaluan. Ia tidak pernah terpikir akan terpikat dengan malu. Rasa yang enggan dibuang karena datang tiba-tiba. Ia berpikir, hanya berpikir saja bahwa ia akan terkenal berkat ajang pencarian bakat ini. Ia akan mempunyai penggemar. Ia akan banyak tawaran bernyanyi on air dan off air. Ia akan banyak uang. Ia akan kaya raya!

Ia harus mengubah persepsi itu. Jika anggapan ini terus tersarang dalam dirinya, ia tak bisa kembali ke alam nyata. Ke atas panggung gemerlap lampu. Di depan empat orang juri. Di hadapan ribuan mata memandang dari tribun gedung ini maupun dari televisi di rumah-rumah mereka.

Betapa memalukan. Mimpi apa ia semalam sampai begini sialnya.

“Oh….,”

Dentang nada-nada cinta terus bergulir. Ia tak pula menyematkan sebait lirik pun di antara nada-nada itu. Ia lupa lirik pertama, sampai tak bisa menarik lirik demi lirik lain untuk tertanam kembali ke ingatannya. Ia memalingkan pandang ke arah backing vocal, meminta pertolongan kepada mereka. Mereka mempunyai copian lirik di sana. Mereka bisa membantu ingatan itu tumbuh kembali. Sialnya, saat suara backing vocal menyentak-nyentak, membantu mencari tahu nada yang hilang, ia pun masih belum bisa menyambung ke mana tujuan lirik itu berlabuh.

Irama musik tak bisa diberhentikan di tengah jalan. Irama itu terus menggema tanpa lirik di dalamnya. Ia berlabuh terlalu jauh untuk mencapai titik tertinggi, namun rupanya ia terjungkal ke tanah basah berumput berembun. Ia basah kuyup walaupun tidak sedang hujan lebat.

Backing vocal terus membantu dengan copian lirik yang ia tak tahu satu pun sambungannya. Ini sudah seperti kuis televisi sambung-menyambung lirik. Ia tak menang karena tidak mampu menyematkan lirik di antara irama kosong.

Musik kembali ke bagian reffrain. Ia hapal bagian itu, tiba-tiba saja. Bait pertama reffrain ia nyanyikan dengan lancar, dengan suara serak yang diakibatkan oleh tangis yang belum pecah. Tiba di bait setelah reffrain kedua, tak ada bayangan lirik di ingatannya. Ia kembali melayang-layang ke langit tak bertuan. Tak ada harapan dirinya menjadi terbaik, dari sekarang sampai ke akhir acara.

Mana ada penyanyi lupa lirik. Oh, calon penyanyi yang sial!

Musik berhenti. Ia berdiri di tengah-tengah panggung dengan sorotan lampu menyala terang. Seandainya bisa, ia musti segera berlari meninggalkan panggung ini dan pergi entah ke mana. Menghilangkan rasa malu sesaat saja. Tak usah lagi jadi terkenal karena ia sudah berubah pikiran.

Mungkin saja, karena ia sudah kalah bersaing. Apalagi dengan bumbu-bumbu manis dari seorang juri yang bernama Dayat!

“Titin,” sebut Dayat dengan lantang. Suaranya seperti drum band yang dipukul rata. Ia telah gemetar sebelum menerima ejekan dari juri muda itu. Benarlah. Dayat selalu memberi kritikan pedas kepadanya, walaupun juri lain menyukai namun Dayat tak pernah suka. Selalu saja ada kesalahan dalam dirinya di mata juri yang telah menerima puluhan penghargaan bernyanyi dalam negeri itu. Dayat mencari-cari celah supaya ia terjatuh ke lembah terendah karena pada saat itu ia tak akan mampu bangkit kembali.

“Malam, Mas Dayat…,” suaranya begitu serak. Airmatanya berurai. Walaupun Dayat tidak bisa melihat karena jauh, layar besar di depan mereka memperlihatkan kamera yang menyorot Titin dari dekat.

“Saya tidak bisa menerima cacat ini!” tegas Dayat. Titin paham. Dayat tidak puas. Dayat senang sekali menerima kesalahannya malam ini. Bukankah ini yang selalu dicari-cari Dayat selama ini. Juri muda itu tampak arogan sekali. Mungkin – karena ia tidak secantik Citra yang menjadi finalis terfavorit Dayat, walaupun juri lain menghardik Citra karena modal tampang saja namun tidak memiliki karakter dan ciri khas dalam bernyanyi. Citra lebih kepada penyanyi yang copy paste dari penyanyi aslinya. Tidak ada gubahan yang dilahirkan Citra dan tidak ada perbedaan yang menandakan lagu itu sedang dinyanyikan Citra.

Lagi-lagi Dayat akan membela, walaupun Citra bernyanyi tak bagus, menurutnya, menurut ketiga juri lain, dan menurut orang lain, mungkin yang menonton acara ini.

“Kamu tahu kesalahan malam ini, Titin?” tanya Dayat judes. Sisi ganteng dari juri termuda itu sudah lenyap dari pandangannya. Sosok yang biasanya ia kagumi tak lagi menjelma menjadi laki-laki idaman semenjak Dayat menjadi juri dan ia sebagai finalisnya.

“Iya, Mas Dayat…,” ia menunduk dalam.

“Saya tak bisa memberi ampun. Seorang penyanyi, bukan, calon penyanyi itu wajib hapal lirik!” ungkapan hati Dayat begitu menohok. Ia tak kuasa menahan semua gejolak dalam hatinya. “Saya rasa kamu gagal menjadi calon penyanyi malam ini, bahkan sampai ke depannya kamu tak ubah seperti burung beo!”

Ia mendidih. Sudah teramat sakit hatinya dengan lupa lirik. Dan sudah teramat malu dirinya pada semua penonton.

“Bagi saya, Titin penyanyi hebat malam ini,” celutuk Biro, juri senior yang selalu membela Titin. Ia tidak meminta, namun Biro merupakan musisi yang sangat peka terhadap bintang baru. Biro secara terang-terangan mengatakan bahwa Titin tak lain anak emas acara ini, selain punya karakter suara yang khas, juga penggemar yang membludak.

Nggak bisa begitu, Mas Biro,” Dayat tidak mau kalah. Perang akan kembali dimulai malam ini, tiap Sabtu malam perang itu karena Dayat tak mau mengalah dari Biro yang lebih tua. “Titin tak ubah penyanyi sampah!”

“Menurut saya sampah itu lebih berharga dari berlian, Mas Dayat,” Biro tampah lebih tenang. “Sampah masih bisa didaur ulang, sedangkan berlian, akan jadi sampah dan tak bisa diperjualbelikan lagi,”

Ia hampir tertawa. Bahkan, hampir melupakan kesalahannya.

“Bandingkan dengan Citra,” Biro memulai, “Cantik iya, tapi tak ada apa-apa yang ditampilkan olehnya. Banyak penyanyi lain yang mirip Citra dan itu akan punah karena suara tak berbeda dengan penyanyi kebanyakan,”

“Saya setuju, Mas Biro,” Dina yang lebih melankolis dibandingkan ketiga juri lain ikut nimbrung. “Titin punya ciri khas yang sama-sama kita tahu tak ada pada penyanyi lain, bahkan saya sendiri berani bertaruh Titin bisa lebih sukses jika terus belajar. Kesalahan malam ini hanya bagian terkecil dari perjalanannya. Masih panjang karir yang ditapaki Titin sebelum mendulang sukses!” Dina bahkan lebih legowo memberi semangat kepada Titin walaupun semua orang mengetahui Dina salah satu diva yang telah konser di dalam dan luar negeri dengan prestasi lebih banyak dari Dayat.

“Lupa lirik wajar-wajar saja sih,” Melmel menimpali. Semua juri ikut berbicara walaupun belum waktu mereka memberi komentar.

“Wajar bagaimana Mbak Mel?” Dayat tak terima dipojokkan. “Justru ini kesalahan yang tak bisa diampuni dari seorang penyanyi, calon penyanyi!”

“Mereka masih belajar, Mas Dayat. Mereka dikarantina berbulan-bulan, tidak boleh kontak dengan orang tua, sahabat, tidak boleh ini dan itu. Belum lagi malam ini harus hapal tiga lagu dan tiga koreografi. Saya maklum saja karena saya sendiri juga pernah alami hal yang sama. Lumrah sebagai manusia kita pelupa, Titin!”

“Saya lebih menyukai penyanyi yang sempurna di tiap penampilan!” tegas Dayat.

“Seperti Citra?” tanya Dina.

“Benar!” ungkap Dayat sambil tersenyum senang.

“Saya malah melihat Citra sebagai backing vocal. Lihat saja video ulangan Citra yang lebih hapal dance dan membuang nada-nada tinggi tak bermakna,”

“Itulah ciri khas penyanyi, Mbak Dina,” Dayat masih teguh pada pendiriannya. “Jangan sampai seperti ini, lupa lirik dan tak bisa menjangkau nada-nada tinggi!”

“Bernyanyi itu bukan untuk teriak-teriak, Mas Dayat,” timpal Biro.

“Teriak boleh, Mas Biro, pada tempatnya saja,” ujar Melmel. “Saya menyukai penyanyi apa adanya, setiap nada rendah atau tinggi itu ada manfaatnya, asalkan enak didengar!”

“Betul,” Dina dan Biro mendukung pendapat Melmel.

“Pokoknya, malam ini, Titin gagal total!” pangkas Dayat.

“Terserah kamu saja deh, Mas Dayat,” Dina membenarkan rambutnya. “Kesalahan itu bukan untuk diulang, tetapi kesalahan itu untuk dimaafkan. Kamu belajar lagi Titin. Saya yakin kamu akan jadi penyanyi hebat negeri ini!”

Ia masih panas dingin. Berharap ajang pencarian bakat ini segera usai.

***

Benar saja. Waktu tidak bisa ditebak. Titin menang ajang pencarian bakat menyanyi yang tayang live di televisi. Dayat mengembuskan napas panjang dan membuang muka dari Titin. Citra yang dielu-elukannya terpaksa dipulangkan pada lima besar karena semakin hari semakin tidak memperlihatkan perubahan. Vote juri untuk menyelamatkan finalis dialamatkan kepada orang lain, bukan pula kepada Titin karena ia selalu berada di posisi teratas perolehan dukungan melalui pemirsa.

Lagu kemenangan yang dinyanyikan Titin laris manis di pasaran. Titin diundang ke berbagai acara musik televisi. Seluruh televisi di negeri ini pernah mengundang Titin sebagai pengisi acara dan rating mereka langsung menanak tajam. Bahkan, acara televisi yang semula tenggelam mendadak mendapat rating tinggi karena mengundang Titin. Tak ada yang mempersoalkan kasus lupa lirik. Album yang kemudian dilahirkan Titin pun bestseller di pasaran. Acara on air dan off air semakin hari semakin padat.

Tak lama setelah albumnya keluar, penghargaan kepada musisi nomor satu negeri ini digelar. Titin menang di banyak kategori. Mulai dari penyanyi pendatang baru terbaik, penyanyi solo wanita terbaik, lagu terbaik, album terbaik sampai aransemen lagu serta pencipta lagu terbaik dari albumnya.

Kepak sayap Titin semakin tinggi. Penghargaan lain datang tak diundang. Titin semakin sibuk dengan aktivitas penyanyinya. Waktu istirahat pun semakin berkurang. Titin juga dipercaya menjadi brand ambassador salah satu produk kecantikan dengan kontrak selama lima tahun. Titin juga banyak mendapatkan iklan televisi dengan bayaran cukup fantastis.

Dan terakhir, penyanyi yang dianggap sepele oleh Dayat ini menjadi peran pendukung salah satu film dengan bayaran mahal. Titin lantas membagi waktu antara kuliah semester pertama dengan jadwal karir bermusiknya.

Rupanya Dayat mendendam sampai ke luar acara. Titin bertemu Dayat di salah satu acara televisi namun mantan jurinya tak mau ambil jabatan tangan hormat. Sorot media malah menimbulkan kontroversi lumayan kencang. Media online dengan cepat memberitakan dengan judul fantastis.

Dayat dan Titin Kencan Rahasia.

Begitu timeline media online. Judul yang menohok hati Titin. Ia tak habis pikir mengapa media begitu mudah mengibuli. Satu berita muncul, ribuan berita dibagikan oleh media lain bahkan media sosial. Wartawan televisi pun memburu berita. Langkah kaki Titin dikejar-kejar. Di mana-mana orang menanyakan kedekatannya dengan Dayat. Titin tidak menjawab. Tidak tersenyum. Hanya murung. Sampai melihat sebuah berita televisi pagi itu.

“Cinta bertepuk sebelah tangan!” ujar Dayat saat ditanya oleh pewawancara dari sebuah acara informasi selebriti.

Titin lemas di ruang keluarga. Televisi menyala sendiri. Asing sekali orang di layar kaca itu. Sosok Dayat yang penuh ambisi. Sosok Dayat yang menjatuhkan.

Apa yang dia inginkan dariku?

***

*terinspirasi dari Fatin Shidqia; isi cerita fiktif dan murni ide dari penulis.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun