Dentang nada-nada cinta terus bergulir. Ia tak pula menyematkan sebait lirik pun di antara nada-nada itu. Ia lupa lirik pertama, sampai tak bisa menarik lirik demi lirik lain untuk tertanam kembali ke ingatannya. Ia memalingkan pandang ke arah backing vocal, meminta pertolongan kepada mereka. Mereka mempunyai copian lirik di sana. Mereka bisa membantu ingatan itu tumbuh kembali. Sialnya, saat suara backing vocal menyentak-nyentak, membantu mencari tahu nada yang hilang, ia pun masih belum bisa menyambung ke mana tujuan lirik itu berlabuh.
Irama musik tak bisa diberhentikan di tengah jalan. Irama itu terus menggema tanpa lirik di dalamnya. Ia berlabuh terlalu jauh untuk mencapai titik tertinggi, namun rupanya ia terjungkal ke tanah basah berumput berembun. Ia basah kuyup walaupun tidak sedang hujan lebat.
Backing vocal terus membantu dengan copian lirik yang ia tak tahu satu pun sambungannya. Ini sudah seperti kuis televisi sambung-menyambung lirik. Ia tak menang karena tidak mampu menyematkan lirik di antara irama kosong.
Musik kembali ke bagian reffrain. Ia hapal bagian itu, tiba-tiba saja. Bait pertama reffrain ia nyanyikan dengan lancar, dengan suara serak yang diakibatkan oleh tangis yang belum pecah. Tiba di bait setelah reffrain kedua, tak ada bayangan lirik di ingatannya. Ia kembali melayang-layang ke langit tak bertuan. Tak ada harapan dirinya menjadi terbaik, dari sekarang sampai ke akhir acara.
Mana ada penyanyi lupa lirik. Oh, calon penyanyi yang sial!
Musik berhenti. Ia berdiri di tengah-tengah panggung dengan sorotan lampu menyala terang. Seandainya bisa, ia musti segera berlari meninggalkan panggung ini dan pergi entah ke mana. Menghilangkan rasa malu sesaat saja. Tak usah lagi jadi terkenal karena ia sudah berubah pikiran.
Mungkin saja, karena ia sudah kalah bersaing. Apalagi dengan bumbu-bumbu manis dari seorang juri yang bernama Dayat!
“Titin,” sebut Dayat dengan lantang. Suaranya seperti drum band yang dipukul rata. Ia telah gemetar sebelum menerima ejekan dari juri muda itu. Benarlah. Dayat selalu memberi kritikan pedas kepadanya, walaupun juri lain menyukai namun Dayat tak pernah suka. Selalu saja ada kesalahan dalam dirinya di mata juri yang telah menerima puluhan penghargaan bernyanyi dalam negeri itu. Dayat mencari-cari celah supaya ia terjatuh ke lembah terendah karena pada saat itu ia tak akan mampu bangkit kembali.
“Malam, Mas Dayat…,” suaranya begitu serak. Airmatanya berurai. Walaupun Dayat tidak bisa melihat karena jauh, layar besar di depan mereka memperlihatkan kamera yang menyorot Titin dari dekat.
“Saya tidak bisa menerima cacat ini!” tegas Dayat. Titin paham. Dayat tidak puas. Dayat senang sekali menerima kesalahannya malam ini. Bukankah ini yang selalu dicari-cari Dayat selama ini. Juri muda itu tampak arogan sekali. Mungkin – karena ia tidak secantik Citra yang menjadi finalis terfavorit Dayat, walaupun juri lain menghardik Citra karena modal tampang saja namun tidak memiliki karakter dan ciri khas dalam bernyanyi. Citra lebih kepada penyanyi yang copy paste dari penyanyi aslinya. Tidak ada gubahan yang dilahirkan Citra dan tidak ada perbedaan yang menandakan lagu itu sedang dinyanyikan Citra.
Lagi-lagi Dayat akan membela, walaupun Citra bernyanyi tak bagus, menurutnya, menurut ketiga juri lain, dan menurut orang lain, mungkin yang menonton acara ini.