Pada hari libur aku yang lagi asik rebahan sambil bermain game, terdengar ibuku memberi tau bahwa keluarga ku dari pesisir selatan akan pergi kesini.
Mendengar itu aku pun senang karena sudah bosan dengan bermain game. Pada hari selanjut nya datang keluargaku dari pesisir selatan. Yang datang ada saudara ibuku dan sepupuku
 Aku dan keluargaku merencanakan perjalanan ke bukittinggi, dan akhirnya hari yang dinanti tiba. Tujuan utama kami adalah Lubang Jepang, sebuah bunker bersejarah peninggalan masa penjajahan Jepang yang terletak di kawasan Taman Panorama.
Perjalanan menuju Taman Panorama memakan waktu sekitar 20 menit. Sepanjang jalan, kami melihat pemandangan perbukitan yang hijau. Bukittinggi, sebuah kota kecil yang memiliki banyak wisata unik.
Begitu tiba di Taman Panorama, kami langsung terkesima dengan pemandangan Ngarai Sianok. Tebing-tebing curam menjulang tinggi, dihiasi oleh tumbuhan hijau.
 Di dasarnya mengalir sungai kecil yang berkelok-kelok. Kami menghabiskan beberapa saat di sana untuk mengambil foto dan menikmati keindahan alam.
Puas menikmati panorama, kami melangkah menuju pintu masuk Lubang Jepang. Di pintu masuk, seorang pemandu wisata menyambut kami.
 Ia memperkenalkan dirinya dan mulai menceritakan sedikit tentang sejarah Lubang Jepang sebelum kami memasuki lorong bawah tanah.
Lubang Jepang dibangun pada masa Perang Dunia II, sekitar tahun 1942 hingga 1945. Tentara Jepang memaksa para romusha, atau pekerja paksa, untuk menggali lubang ini. Mereka bekerja tanpa alat yang memadai dan dalam kondisi yang sangat buruk.Â
Kami mulai menuruni tangga curam menuju lorong bawah tanah. Udara di dalam terasa dingin dan lembap berbeda dengan suasana di permukaan. Dinding-dinding batu yang kokoh, menciptakan gema. Cahaya lampu temaram menerangi lorong, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding.
Pemandu mulai membawa kami melewati beberapa ruangan penting. Ruang pertama yang kami lihat adalah ruang amunisi, tempat penyimpanan senjata dan bahan peledak. Ruang ini cukup luas dan memiliki ventilasi yang dirancang untuk menyembunyikan keberadaannya dari musuh.
Kemudian, kami melewati ruang dapur yang kecil dan sederhana. Di sini, pemandu menjelaskan bagaimana para tentara Jepang menyiapkan makanan mereka.
 Aku mencoba membayangkan suasana saat itu, tetapi rasanya sulit untuk benar-benar memahami kehidupan di dalam lubang ini.
Salah satu ruangan yang paling membuatku merinding adalah penjara. Ruangan ini kecil, gelap, dan pengap. Konon, banyak tahanan yang kehilangan nyawa di sini akibat penyiksaan atau kelaparan. Melihat ruangan ini membuatku merasa tidak nyaman, tetapi sekaligus mengingatkan akan betapa kejamnya masa penjajahan.
Setelah itu, kami tiba di ruang rapat, yang digunakan oleh para pemimpin tentara Jepang untuk menyusun strategi perang. Ruang ini cukup besar dibandingkan ruangan lainnya.
Dengan dinding yang sedikit lebih halus. Pemandu menjelaskan bahwa suara di dalam ruang ini dirancang agar tidak terdengar dari luar, sehingga pembicaraan rahasia tetap aman.
Kami terus berjalan melewati lorong-lorong yang panjang dan berliku. Pemandu menjelaskan bahwa lorong ini dirancang sedemikian rupa untuk membingungkan musuh.
 Selain itu, ventilasi udara yang tersembunyi membuat lorong ini tetap nyaman meskipun berada jauh di bawah tanah.
Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa berhenti membayangkan bagaimana rasanya menjadi salah satu romusha yang dipaksa bekerja di tempat ini. Mereka tidak hanya harus menggali batuan keras, tetapi juga menghadapi ancaman kekerasan dan kelaparan.
Setelah sekitar satu jam menjelajahi lorong-lorong Lubang Jepang, kami akhirnya keluar ke permukaan Dan meresa capek karena tangga nya terlalu banyak. Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar Bukittinggi.
Sebelum pulang, kami memutuskan untuk menikmati makanan ringan di area sekitar Taman Panorama. Kami mencoba karupuak kuah, sebuah hidangan khas Minang yang sederhana tetapi sangat lezat. Kerupuk yang disiram dengan kuah kacang pedas memberikan rasa yang kaya dan memuaskan.
Kami juga mencicipi pisang kapik, pisang bakar khas Bukittinggi yang disajikan dengan kelapa parut dan gula merah. Rasanya manis dan sedikit gurih, sangat cocok untuk menutup perjalanan hari itu.
Pengalaman di Lubang Jepang meninggalkan kesan. Selain menyaksikan keindahan alam Bukittinggi, aku juga mendapat pelajaran berharga tentang sejarah dan perjuangan bangsa.Â
Tempat ini bukan hanya sebuah destinasi wisata, tetapi juga monumen pengingat akan pengorbanan yang telah dilakukan oleh mereka yang hidup di masa lalu.
Aku merasa sangat bersyukur telah diberi kesempatan untuk mengunjungi tempat ini. Aku berharap lebih banyak orang juga mau mengunjungi Lubang Jepang untuk belajar dan memahami sejarah kita.
Perjalanan ini memberiku banyak pengalaman dan pelajaran. Dari pemandangan Ngarai Sianok yang memukau hingga cerita-cerita kelam dari Lubang Jepang, semuanya meninggalkan jejak yang tak terlupakan di hatiku.
Hari mulai beranjak sore ketika kami meninggalkan Taman Panorama. Matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit memberi warna oranye keemasan di langit, seolah menutup perjalanan kami dengan keindahan yang sempurna.
Saat perjalanan pulang, aku merenung tentang betapa beruntungnya kita hidup di masa damai. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih menghargai sejarah dan segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita.
Bukittinggi benar-benar kota yang penuh dengan keajaiban. Dari keindahan alamnya hingga sejarah yang kaya, semuanya membuatku ingin kembali lagi suatu hari nanti. Aku merasa bahwa perjalanan ini bukan hanya sekadar liburan, tetapi juga perjalanan hati dan pikiran.
Dengan hati yang penuh rasa syukur, aku menutup hari itu dengan senyum. Perjalanan ke Lubang Jepang akan selalu menjadi salah satu kenangan terbaik dalam hidupku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI