Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengemis Suara dalam Demokrasi Struktural

9 Mei 2019   10:54 Diperbarui: 9 Mei 2019   11:00 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


(note : Tulisan ini rampung 3 bulan sebelum Pemilu 2019)
Menjelang pemilihan umum 5 tahunan, para caleg mulai bergentayangan berusaha mendulang suara dengan mendatangi Dapil (Daerah Pemilihan) yang akan memilih mereka untuk menuju kursi legislatif. 

Sejauh ini para caleg masih terkesan seolah mengadu nasib dengan pencalonan mereka dan berkampanye dengan modal yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan lebih dulu. Ketika mereka terpilih pun upaya untuk megembalikan modal kampanye sudah menjadi hal lumrah. Beban moral kepada masyarakat pemilih atas janji-janji mereka tak jarang menjadi pemanis yang mereka abaikan.

Upaya-upaya mereka mendatangi para pemilih di daerah pilihan yang dibalut dengan nuansa silaturahmi syarat kepentingan. Kepentingan utama mereka meraih kursi, sementara substansi dari kekuasaan sebagai wakil rakyat tak mendapat ruang untuk benar-benar menjalankan kepentingan rakyat. 

Rakyat yang sudah didatangi pada saat kampanye dan memuluskan mereka menuju kursi kekuasaan tak lebih hanya konsep pengemis yang berbalik arah. 

Ketika kampanye mereka mengemis untuk dipilih, ketika mereka berkuasa, maka rakyat yang mengemis agar upaya-upaya untuk kesejahteraan mereka dapat diperhatikan oleh mereka yang telah dipilih.

Jika saja benar retorika mereka mencalonkan diri menjadi wakil rakyat untuk kesejahteraan rakyat, maka mereka hanya mengandalkan uang negara untuk menjalankan itu. 

Sekiranya mereka benar-benar secara substansial berkeinginan untuk kesejahteraan rakyat, maka dengan dana kampanye mereka yang tidak sedikit itu pun banyak hal yang dapat mereka berikan untuk kesejahteraan rakyat tanpa menunggu dari uang Negara. Pun jika jalan mereka mulus menuju kursi kekuasaan.

Tak heran demokrasi yang dijalankan negara saat ini hanyalah demokrasi prosedural yang menjadi upaya-upaya para pemodal untuk meraih kekuasaan. 

Sementara secara substasial nama wakil rakyat hanyalah mewakili sebagian kostituen yang memilih mereka sehingga mendapatkan kekuasaan. Itu pun hanya beberapa kali saja mereka memperhatikan konstituen, di awal menjabat, dan yang terakhir ketika akan mencalonkan diri lagi.

Jika mereka yang menyebut diri para wakil rakyat hanya mengandalkan dana aspirasi untuk berbuat demi rakyat, maka benar-benar mereka tidak mewakili apa-apa, karena uang negara yang bersumber dari rakyat pun sudah menjadi kewajiban negara memberikan haknya kepada rakyat. 

Sayangnya mekanisme atas hak rakyat itu pun didukung pula dengan aturan-aturan yang dibuat oleh mereka yang mengklaim sebagai wakil rakyat untuk penyalurannya dengan sebutan dana aspirasi, reses dan lainnya.

Dana aspirasi yang menjadi andalan para wakil rakyat dalam merawat konstituen sama halnya dengan iming-iming untuk meninabobokkan para pemilih mereka agar tetap loyal memilih mereka. Para pemilih di suatu wilayah lainnya yang pilihan mereka tidak mendapatkan kursi maka mereka pun hanya akan gigit jari karena wakil rakyat lainnya yang tidak mereka dukung hampir mustahil untuk melirik mereka.

Loyalitas Jamaah
Hal yang paling lumrah kita temui saat ini adalah mekanisme pengerahan jamaah-jamaah atau anggota organisasi untuk mendukung para calon yang telah ditetapkan para pimpinan organisasi.

 Tak jarang juga anggota keluarga dari pimpinan organisasi tersebut berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi kekuasaan dengan mengerahkan jamaah untuk mendukung mereka. 

Maka ketika anggota keluarga pimpinan organisasi itu terpilih, pun jamaahnya hanya akan menjadi pendukung yang tidak mendapatkan apa-apa meski mereka berharap besar atas pilihan mereka untuk kesejahteraan mereka bisa lebih diperhatikan.

Manipulasi kesadaran jamaah dengan konsep baiat untuk mendengarkan dan mentaati instruksi pimpinan tak ubahnya sebuah dominasi simbolik seperti yang diungkapkan Filsuf neo-marxis Pierre Bourdieu. 

Dominasi simbolik itu pun bekerja dengan peran-peran intelektual dengan kapital simbolik, ataupun kapital budaya yang mereka miliki sehingga jamaah pun senantiasa patuh untuk mengikuti arahan dari pimpinan tersebut dengan kesadaran semu (false consciousness) bahwa mereka juga akan mendapatkan timbal balik dari dukungan tersebut.

Akan tetapi pada kenyataannya, jamaah atau masyarakat yang mendukung para wakil rakyat pilihan mereka tak jarang lebih banyak yang gigit jari ketika upaya mereka untuk kesejahteraan yang lebih baik lagi tetapi diabaikan oleh para wakil rakyat yang mereka dukung. 

Maka munculnya Adagium "Raos Caleg"- Omongan Caleg- dalam bahasa Sasak sudah menjadi idiom yang bermakna negatif untuk menyebut janji-janji dari para calon wakil rakyat yang berbicara secara berapi-api ketika kampanye, namun ketika sudah duduk di kursi kekuasaan, asapnya pun tidak terlihat, padam sama sekali dan secepat itu lupa atas apa yang mereka janjikan.

Memang secara konstitusional untuk menjemput hak rakyat yang terpendam di kuasa negara atas anggaran-anggaran itu diperlukan wakil rakyat sebagai perpanjangan tangan untuk mencairkannya. 

Maka sudah barang tentu wakil rakyat yang benar-benar mewakili untuk daerah pilihan itu yang memang bisa merangkul dan bergerak untuk kesejahteraan semua masyarakat di dapil tersebut. Bukan wakil rakyat partisan yang hanya memperhatikan para pemilih mereka.

Dan hal ini sudah menjadi hal lumrah di masyarakat bahwa para wakil rakyat hanya memperhatikan kostituen mereka dan itu terus berulang ketika mereka mencalonkan diri lagi. Terlebih dengan mekanisme pencairan dana aspirasi menjelang masa kampanye mereka, sudah pasti bisa menjinakkan hati para pemilih untuk kembali mendukung mereka meraih kursi kekuasaan.

Dominasi Pemodal
Disadari atau tidak, politik elektoral dengan Pemilu yang bersandar pada asas demokrasi sangat memakan biaya tinggi. Sementara yang dihasilkan dari pemilu tidak jarang adalah para pemilik kapital yang secara mudah menggelontorkan dana kampanye. Maka ketika terpilih pun semakin melanggengkan kapital mereka lebih di atas kepentingan rakyat yang memilih mereka.

Sementara para calon wakil rakyat yang baru mencalonkan diri pun akan terpental jika tidak mempunyai kapital ekonomi yang mapan untuk merebut hati para pemilih di dapil mereka. Mekanisme para pemodal yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat sama halnya dengan adu nasib untuk merebut hati para pemilih lalu mereka akan mengembalikan sedikit dari usaha itu melalui dana aspirasi wakil rakyat tersebut seolah balas jasa kepada pemilih mereka.

Padahal jika pun mereka mau berbuat banyak untuk rakyat dengan modal kampanye tersebut, tak perlu menunggu mereka duduk di kursi kekuasaan baru mereka berniat berbuat banyak untuk masyarakat. 

Maka mereka yang mengandalkan uang negara dengan mereka duduk di kursi kekuasaan baru berbuat untuk rakyat, sama halnya mereka memanipulasi kesadaran para pemilih lalu diiming-imingi dengan janji-janji yang mereka taburkan kepada masyarakat, meski tak sedikit kekecewaan yang sering terjadi.

Jika pun masyarakat sadar dengan itu bahwa mereka hanya diiming-imingi dengan janji ketika para calon wakil rakyat terpilih nantinya, semestinya ketika ada yang menjanjikan masyarakat pada masa kampanye, maka mekanisme perjanjian tertulis di atas materai bisa digunakan atas janji-janji itu. Jika mereka terpilih nantinya mereka secara tertulis bisa membuat perjanjian untuk program-program yang bisa dilakukan di dapil tersebut. Tentunya bukan partisan, tetapi secara kolektif benar-benar dengan semangat megabdi untuk kesejahteraan rakyat.

Kalaupun mereka tidak terpilih, beban moral atas janji-janji itu pun tidak perlu untuk direalisasikan. Akan tetapi jika mereka terpilih lalu tidak ada beban moral atas janji-janji itu, maka masyarakat pun berhak untuk menuntut dengan mekanisme tertulis yang telah mereka sepakati bersama, tentu saja dengan tetap memperhatikan hal-hal substansial yang menjadi kepentingan masyarakat banyak.

Resolusi Dana Desa
Sebenarnya masyarakat pun bisa abai atas kampanye-kampanye dari para calon wakil rakyat yang datang ke mereka membawa janji. Dengan dana desa yang menjadi sandaran untuk pemerataan pembangunan, banyak hal yang bisa dibenahi untuk kesejahteraan masyarakat tanpa perlu menunggu janji-janji dari para calon wakil rakyat. 

Akan tetapi hal itu kembali lagi dari semangat pengabdian dari para pemangku kebijakan terendah di tingkat desa, apakah benar-benar mempunyai niatan untuk kesejahteraan masyarakat lebih banyak lagi dengan mengandalkan dana desa tersebut.

Ketika dana desa benar-benar diniatkan untuk membangun desa dan kesejahteraan masyarakat, maka para calon wakil rakyat yang datang menabur janji mestinya akan malu hanya datang dengan omongan, akan tetapi bentuk nyata dari apa yang mereka gagas benar-benar akan menjadi daya tarik sehingga masyarakat bersimpati untuk mendukung mereka menuju kekuasaan. Tentunya dengan tak lupa akan beban moral yang harus mereka pikul jika mendapat kesempatan menikmati kursi kekuasaan.

Adapun dana desa yang menjadi andalan, semestinya tidak melulu terpikir untuk pembangunan infrastruktur yang menjadi arena mark up atas dana desa yang bisa mereka selewengkan melalui itu. 

Akan tetapi pembangunan sumber daya manusia, geliat ekonomi kreatif, kerakyatan bisa menjadi hal prioritas yang mesti ditanggulangi oleh pemerintah desa sehingga masyarakat pun benar-benar merasakan manfaat dari besarnya dana desa yang memang bertujuan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan yang setara untuk semua wilayah, dengan visi membangun dari desa.

Maka tak perlu menunggu janji-janji para calon wakil rakyat yang hanya berupa omongan. Namun aksi nyata dari janji-janji itu mesti menjadi hal krusial yang perlu ditonjolkan dan pastinya untuk kesejahteraan masyarakat lebih banyak lagi bisa terwujud. Baik melalui pemanfaatan dana desa, atau pun realisasi janji dari para calon wakil rakyat yang berhasil mulus menuju kursi kekuasaan. 

Dan sudah sepantasnyalah janji-janji itu mesti dibarengi dengan beban moral yang akan mereka pikul untuk direalisasikan sesuai dengan niatan baik mereka jika itu memang itu untuk sebuah ketulusan pengabdian. 

Jika tidak, tuntutan dengan mekanisme janji tertulis itu pun bisa menjadi penyelesaian yang tentunya sebagai kawalan atas upaya-upaya mereka berlepas diri dari janji-janji mereka.


* Alumni Magister Kajian Media & Cultural Studies UGM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun