Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengemis Suara dalam Demokrasi Struktural

9 Mei 2019   10:54 Diperbarui: 9 Mei 2019   11:00 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan hal ini sudah menjadi hal lumrah di masyarakat bahwa para wakil rakyat hanya memperhatikan kostituen mereka dan itu terus berulang ketika mereka mencalonkan diri lagi. Terlebih dengan mekanisme pencairan dana aspirasi menjelang masa kampanye mereka, sudah pasti bisa menjinakkan hati para pemilih untuk kembali mendukung mereka meraih kursi kekuasaan.

Dominasi Pemodal
Disadari atau tidak, politik elektoral dengan Pemilu yang bersandar pada asas demokrasi sangat memakan biaya tinggi. Sementara yang dihasilkan dari pemilu tidak jarang adalah para pemilik kapital yang secara mudah menggelontorkan dana kampanye. Maka ketika terpilih pun semakin melanggengkan kapital mereka lebih di atas kepentingan rakyat yang memilih mereka.

Sementara para calon wakil rakyat yang baru mencalonkan diri pun akan terpental jika tidak mempunyai kapital ekonomi yang mapan untuk merebut hati para pemilih di dapil mereka. Mekanisme para pemodal yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat sama halnya dengan adu nasib untuk merebut hati para pemilih lalu mereka akan mengembalikan sedikit dari usaha itu melalui dana aspirasi wakil rakyat tersebut seolah balas jasa kepada pemilih mereka.

Padahal jika pun mereka mau berbuat banyak untuk rakyat dengan modal kampanye tersebut, tak perlu menunggu mereka duduk di kursi kekuasaan baru mereka berniat berbuat banyak untuk masyarakat. 

Maka mereka yang mengandalkan uang negara dengan mereka duduk di kursi kekuasaan baru berbuat untuk rakyat, sama halnya mereka memanipulasi kesadaran para pemilih lalu diiming-imingi dengan janji-janji yang mereka taburkan kepada masyarakat, meski tak sedikit kekecewaan yang sering terjadi.

Jika pun masyarakat sadar dengan itu bahwa mereka hanya diiming-imingi dengan janji ketika para calon wakil rakyat terpilih nantinya, semestinya ketika ada yang menjanjikan masyarakat pada masa kampanye, maka mekanisme perjanjian tertulis di atas materai bisa digunakan atas janji-janji itu. Jika mereka terpilih nantinya mereka secara tertulis bisa membuat perjanjian untuk program-program yang bisa dilakukan di dapil tersebut. Tentunya bukan partisan, tetapi secara kolektif benar-benar dengan semangat megabdi untuk kesejahteraan rakyat.

Kalaupun mereka tidak terpilih, beban moral atas janji-janji itu pun tidak perlu untuk direalisasikan. Akan tetapi jika mereka terpilih lalu tidak ada beban moral atas janji-janji itu, maka masyarakat pun berhak untuk menuntut dengan mekanisme tertulis yang telah mereka sepakati bersama, tentu saja dengan tetap memperhatikan hal-hal substansial yang menjadi kepentingan masyarakat banyak.

Resolusi Dana Desa
Sebenarnya masyarakat pun bisa abai atas kampanye-kampanye dari para calon wakil rakyat yang datang ke mereka membawa janji. Dengan dana desa yang menjadi sandaran untuk pemerataan pembangunan, banyak hal yang bisa dibenahi untuk kesejahteraan masyarakat tanpa perlu menunggu janji-janji dari para calon wakil rakyat. 

Akan tetapi hal itu kembali lagi dari semangat pengabdian dari para pemangku kebijakan terendah di tingkat desa, apakah benar-benar mempunyai niatan untuk kesejahteraan masyarakat lebih banyak lagi dengan mengandalkan dana desa tersebut.

Ketika dana desa benar-benar diniatkan untuk membangun desa dan kesejahteraan masyarakat, maka para calon wakil rakyat yang datang menabur janji mestinya akan malu hanya datang dengan omongan, akan tetapi bentuk nyata dari apa yang mereka gagas benar-benar akan menjadi daya tarik sehingga masyarakat bersimpati untuk mendukung mereka menuju kekuasaan. Tentunya dengan tak lupa akan beban moral yang harus mereka pikul jika mendapat kesempatan menikmati kursi kekuasaan.

Adapun dana desa yang menjadi andalan, semestinya tidak melulu terpikir untuk pembangunan infrastruktur yang menjadi arena mark up atas dana desa yang bisa mereka selewengkan melalui itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun