Mohon tunggu...
Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana Mohon Tunggu... Relawan - Profesional dalam bidang transformasi konflik, memiliki ketertarikan khusus pada isu-isu perdamaian, toleransi, pengambangan budaya damai.

Tinggal di Cirebon, saat ini adalah mahasiswa Magister Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Menekuni bidang pengembangan budaya perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apakah Anda Seorang "Constant Checker"?

21 Januari 2021   19:23 Diperbarui: 21 Januari 2021   19:31 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Anak perempuan ini tak berhenti menggeser (scroll) layar di telepon cerdasnya. Sesekali ia mengamati gambar atau teks yang nampak di layar lebih seksama. Tapi tak lama, hanya 5 sampai 8 detik. Kali ini dia tersenyum dan kemudian melanjutkan menggeser ke layar berikut. Pada satu layar dia terbahak, di layar lain ia mengernyitkan dahi tanda penasaran, sejurus kemudian dia seperti hendak menangis karena bersedih.

Selama 30 menit ia memegang telepon cerdasnya, hampir semua ekspresi-ekspresi dasar manusia seperti; marah, gembira, jijik, takut, terkejut, dan sedih dapat hadir secara bergantian. 

Ekspresi-ekspresi berganti secara cepat (rapid) terkadang tanpa transisi. Dari marah dapat segera berganti terkejut, segera berganti ke gembira dan berganti ke ekspresi-ekspresi lainnya. Pada momen tertentu ekspresinya lebih terartikulasi, berteriak senang atau mengeluh tanda tak suka dengan apa yang ia lihat, dengar atau baca.

Ketinggalan satu informasi akan membuat dia merasa "kudet" atau kurang update. Status kudet ini akan mudah menjadi bahan olok-olok teman sebayanya. "Katanya kamu penggemar si A, masa kamu gak tahu kalau dia kemarin makan Tahu Gejrot Cirebon?", "Penggemar kok tidak tahu kalau si A sekarang sudah buka gerai cilok di Zimbabwe?"

Olok-olok itu tentu bukan hal yang baik bagi remaja seusianya. Jadilah ia seorang yang terus menerus mengecek apa yang terjadi di sosial media untuk memastikan bahwa dia tak tertinggal dan tetap dalam semesta pembicaraan (on the loop). 

Mereka, dan mungkin juga kita, kemudian menjadi satu generasi yang kemudian dikenal sebagai Constant Checkers, sebuah generasi yang terus menerus mengecek gawainya untuk mengetahui apa yang terjadi di sosial media.

 Bagaimana Teori Psikologi Melihat Constant Checkers?

Menurut Hootsuite, sebuah situs analisis sosial media, rerata durasi penggunaan sosial media orang Indonesia adalah 3 jam dan 36 menit. Menurut situs ini pula, ada 160 juta orang Indonesia yang aktif menggunakan sosial media, memiliki rata-rata 10 akun berbagai platform sosial media. Anak muda ditengerai menghabiskan lebih banyak waktu di dunia maya dan terkoneksi lebih banyak dengan aplikasi sosial media. 

 Sebuah survey yang dilakukan oleh American Psychology Assosication (APA)[ii] menemukan bahwa Constant Checkers rentan terhadap kesehatan mental karena mereka merasa harus memeriksa email, percakapan dan akun sosial media mereka setiap saat. Tingkat stres mereka lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih sedikit terhubung dengan sosial media. 

Hubungan orang tua dengan anak remaja juga menjadi masalah tersendiri. Sebagian orang tua yang tidak terlalu terkoneksi pada sosial media kerap dan kesal mengetahui anaknya yang  sulit melepaskan gawai dari genggamannya. 

Ketika ditanya, "Kenapa sih harus ngecek handphone terus?". Anak remaja kerap meresepon dengan jawaban yang sederhana bahkan truistic, "Ya gak apa-apa, karena harus ngecek saja supaya tak ketinggalan informasi". 

Orang tua merasa tidak terhubung dengan anak-anaknya, bahkan ketika mereka pergi wisata bersama. Dinamika hubungan orang tua dan anak remaja menjadi lebih rumit, sulit diperkirakan, dan rentan terhadap konflik yang melibatka emosi anak dan orang tua. 

Teori Hirarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs), Abraham Maslow. Maslow menjelaskan bahwa manusia memiliki tingkatan-tingkatan kebutuhan dari mulai kebutuhan fisik (physiology), keamanan (safety), kepemilikan (belongings), penghargaan (esteem) hingga kebutuhan yang bersifat aktualisasi diri (self-actualization). 

Teori Maslow berbasis pada gagasan bahwa seorang individu harus memenuhi kebutuhan yang lebih rendah lebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan lain dengan hirarki yang lebih tinggi, Ibaratnya seperti kita bermain video game, kita harus menyelesaikan tantangan di Level 1 untuk dapat masuk ke Level 2[i]. 

 Dalam prakteknya, kebutuhan manusia tidak tersusun secara hirarkis seperti yang disebutkan Maslow. Bayangkan ilustrasi di atas itu terjadi pada mahasiswa kos (anak kos) yang mungkin memilih untuk menunda makan siangnya demi membeli kuota internet padahal ia sudah sangat lapar. 

Atau seorang anak muda yang ingin terlihat hebat dan dihargai teman sebayanya terlibat balapan liar di jalan raya sambil mengabaikan aspek keselamatan.

Artikel Pamela Rutledge berjudul Social Networks: What Maslow Misses (2011) yang dimuat dalam Psychology Today memperbaiki teori hirarki Maslow. Tak seperti Maslow, Routledge berkeyakinan kebutuhan manusia itu bersifat multi-pola dan sangat bergantung pada hubungan-hubungan sosial (social connections) dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan 

Pendekatan Rewired dari Routledge menjadi relevan dalam memahami perilaku manusia di era sosial media. Koneksi sosial dan kolaburasi menjadi pusat dari kebutuhan manusia saat ini. 

Kita menggunakan teknologi internet dan berbagai aplikasi sosial media untuk mencukupi kebutuhan itu. Sosial media adalah perkakas (tool) baru untuk saling terhubung dan perilaku manusia beradaptasi dengan perkakas-perkakas baru tersebut.

Apakah konsep Rewired dari Routledge ini sudah cukup menjelaskan fenomena Constant Checkers? Nampaknya belum. Mengapa kebutuhan untuk terkoneksi berkembang dari kebutuhan menjadi sesuatu yang cenderung adiktif bahkan problematis?

Fear of Missing Out (FOMO)

Artikel Erik Barker dalam New York Time menjelaskan dengan gamblang bagaimana FoMO "merasuki" manusia di era sosial media saat ini[i]. Itu dilakukan hanya untuk "Feel OK", untuk merasa baik-baik saja. Tapi perasaan itu akan berubah jika mengetahui bahwa ada satu informasi yang tertinggal. Emosi dan level stres akan berubah drastis. 

Berbagai bentuk kecemasan seperti kekhawatiran dimanfaatkan oleh orang yang lebih tahu, cemburu jika pada orang lain yang lebih tahu, khawatir dianggap tidak kompeten, atau takut dinilai tak memiliki otoritas dan tanggungjawab. Dalam kasus anak muda/remaja, mereka cemas jika tak diakui sebagai bagian dari satu kelompok. 

Sosial media bukanlah gambaran sejati dari kehidupan orang-orang yang berada di dalamnya. Sosial media adalah episode-episode versi paling sempurna yang secara sadar dipilih untuk disebarluaskan di jejaring pertemanannya.  

Jika platform sosial media paling terkemuka seperti Facebook, Instagram, Youtube atau Twitter melarang penggunanya untuk pamer, membual atau sok-sokan, sepertinya orang tidak akan menggunakan sosial media. Sosial media memang galeri pameran kehidupan. Produk yang cacat tidak akan dipertunjukan di gerai atau outlet.

 Jika pengguna sosial media merasa hidupnya sama baik atau lebih baik dari orang lain, mereka akan bangga untuk membagikannya. Ini salah satu cara pengguna sosial untuk menilai dirinya, "Aku juga gak kalah keren loh!". 

Masalahnya perilaku ini pun akan berdampak buruk bagi orang-orang di jejaringnya yang merasa hidupnya tak lebih baik. Jadilah sosial media sebuah siklus yang tak berhenti dan berfungsi ganda: sebagai racun sekaligus obat bagi Constant Checkers.

Dampak Psikologis Constant Checker

Studi tentang pengaruh internet dan sosial media dalam perkembangan kognitif telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh Kathryn L Mills dari Departeme Psikologi, Universitas Oregon[i]. Menurut Mills ada enam kemungkinan efek internet bagi pertumbuhan kognitif anak muda:

1. Memori. Internet dan sosial media memungkinkan manusia untuk menyimpan memori secara eksternal, virtual dan digital yang akan mengurangi kemampuan individu untuk menyimpan memori secara internal.  

Dalam penelitiannya terhadap beberapa siswa, Mills menemukan bahwa mereka cenderung tidak mengingat APA isi informasi secara spesifik, namun mereka mengetahui persis DIMANA dan BAGAIMANA informasi itu dapat ditemukan. 

Anak remaja beradaptasi pada situasi kekinian dan alih-alih mengingat informasi secara spesifik, mereka lebih  berusaha untuk mengetahui bagaimana cara mengakses informasi yang lebih mudah dan efisien. Mills menyimpulkan, semakin dekat dan mudah akses pada internet, semakin percaya diri seorang remaja untuk menyelesaikan tugas-tugas (terutama) pendidikannya.

2. Pemikiran Analitik (Analytical Thinking). Salah satu dampak yang mencemaskan dari internet dalam perkembangan kognisi adalah menurunnya kemampuan analisis, terutama pada anak dan remaja. Dengan akses pada informasi yang sangat mudah, mereka cenderung  menghindari untuk terlibat dengan proses kognitif yang lebih berat (High Effort Thinking)

3. Ragam Tugas (Multi-tasking). Jika kita perhatikan, remaja sekarang semakin terbiasa melakukan ragam-tugas pada waktu yang bersamaan. Mereka mengerjakan tugas sekolah atau kuliah dengan menggunakan laptop sambal bertukar pesan di aplikasi Whatsapp, membagi foto di Instagram, berseluncur di mesin pencari, sembari mendengarkan musik kegemaran di Spotify. 

Kita akan menduga bahwa kualitas pekerjaan rumah mereka tidak akan sebaik jika mereka fokus untuk menyelesaikannya tanpa melakukan hal lain di internet. Studi-studi awal mengafirmasi ini; kualitas pekerjaan rumah para remaja menurun ketika mereka terkoneksi lebih banyak dengan aplikasi-aplikasi di internet (Ophis, Nass dan Wagner 2009 dalam Mills 2016). 

Akan tetapi studi terbaru menunjukkan hasil yang berbeda. Studi Alzahabi dan Becker (dalam Mills 2016) yang menggunakan metodologi penelitian yang kurang lebih sama dengan yang penelitian terdahulu, menemukan bahwa remaja yang terkenoksi ke internet dengan ragam yang lebih banyak (heavier media multi-tasker) justru lebih baik dalam kemampuannya berpindah (switching) dari satu tugas ke tugas yang lain dibandingkan mereka yang terkoneksi media internet lebih sedikit (lighter media multi-tasker).Nasihat orang tua pada anak remaja seperti, "Nak, fokus selesaikan satu dulu sebelum mengerjakan yang lain" atau "Jangan main sosial media waktu mengerjakan pekerjaan rumah!" bisa jadi tak lagi relevan bagi generasi Constant Checker ini.

4. Processing Social Cues.  Social cues adalah petunjuk verbal atau non-verbal yang diekspresikan melalui wajah, tubuh, suara, gerak dan lainnya yang menjadi panduan bagi seseorang yang tengah melakukan pembicaraan dan interaksi sosial lainnya[ii]. Koneksi sosial melalui internet umumnya dilakukan melalui gawai, dikhawatirkan akan menghilangkan kemampuan seseorang untuk memproses social cues.

5. Kompetensi Sosial (Social Competence). Kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang untuk melakukan interaksi sosial secara efektif. Masa-masa remaja adalah saat individu mempelajari cara berinteraksi sosial dengan baik. 

Dengan kata lain ini adalah waktu ketika remaja belajar cara bergaul, membentuk dan memelihara hubungan sosial dan beradaptasi dengan berbagai situasi sosial yang berbeda.

Sejauh ini belum ada bukti bahwa internet dan sosial media berpengaruh pada melemahkan kemampuan sosial penggunanya. Studi justru menunjukkan bahwa remaja yang terhubung dengan internet mampu mengembangkan kompetensi sosialnya. 

Remaja umumnya menggunakan sosial media untuk memelihara ikatan kelompok yang memang telah terbentuk secara sosial dan bukan untuk membentuk kelompok sosial yang baru.

6. Evaluasi Sosial (Social Evaluation). Salah satu kerawanan bagi Constant Checker adalah perasaan bahwa mereka selalu dalam "pengawasan" atau evaluasi terutama dari rekan sebayanya. 

Hal ini menjadi problematis bagi anak jelang remaja dan remaja yang memang sangat sensitif terhadap penilaian sosial dan pengucilan (exclusion). Mills menyebutkan beberapa studi yang menunjukkan perbedaan dampak evaluasi sosial bagi kelompok umur yang berbeda. 

Mills berkesimpulan bahwa evaluasi sosial berdampak negatif terhadap kemampuan seseorang untuk mengerjakan tugas-tugas kognitif dibandingkan ketika mereka sedang tidak dalam konteks evaluasi sosial.

Penutup

Constant Checker dan dampak-dampak lain dari penggunaan gawai cerdas dan sosial media yang berlebihan telah menjadi problem umum dalam keluarga terutama keluarga dengan setting perkotaan dan kelas menengah. 

Psikologi dan para psikolog dapat membantu mengembangkan perangkat, mekanisme dan alat untuk membantu masyarakat -terutama remaja- membangun relasi yang lebih sehat dengan internet/sosial media.

Masalahnya, yang bermasalah dengan sosial media bukan hanya anak tapi juga orang dewasa. Dalam konteks sosial tertentu seperti Ketika suhu politik meningkat, bencana atau kejadian luar biasa, orang dewasa justru kerap menyebarkan kabar palsu (hoax). Whatsapp Grup (WAG), Twitter, Facebook yang akunnya dimiliki orang dewasa rentan terhadap peredaran hoax, sikap permusuhan bahkan ujaran kebencian.898  /

Di masa pandemik ini, ada baiknya kita bukan hanya melakukan social distancing tapi juga gadget distancing. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun