Orang tua merasa tidak terhubung dengan anak-anaknya, bahkan ketika mereka pergi wisata bersama. Dinamika hubungan orang tua dan anak remaja menjadi lebih rumit, sulit diperkirakan, dan rentan terhadap konflik yang melibatka emosi anak dan orang tua.Â
Teori Hirarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs), Abraham Maslow. Maslow menjelaskan bahwa manusia memiliki tingkatan-tingkatan kebutuhan dari mulai kebutuhan fisik (physiology), keamanan (safety), kepemilikan (belongings), penghargaan (esteem) hingga kebutuhan yang bersifat aktualisasi diri (self-actualization).Â
Teori Maslow berbasis pada gagasan bahwa seorang individu harus memenuhi kebutuhan yang lebih rendah lebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan lain dengan hirarki yang lebih tinggi, Ibaratnya seperti kita bermain video game, kita harus menyelesaikan tantangan di Level 1 untuk dapat masuk ke Level 2[i].Â
 Dalam prakteknya, kebutuhan manusia tidak tersusun secara hirarkis seperti yang disebutkan Maslow. Bayangkan ilustrasi di atas itu terjadi pada mahasiswa kos (anak kos) yang mungkin memilih untuk menunda makan siangnya demi membeli kuota internet padahal ia sudah sangat lapar.Â
Atau seorang anak muda yang ingin terlihat hebat dan dihargai teman sebayanya terlibat balapan liar di jalan raya sambil mengabaikan aspek keselamatan.
Artikel Pamela Rutledge berjudul Social Networks: What Maslow Misses (2011) yang dimuat dalam Psychology Today memperbaiki teori hirarki Maslow. Tak seperti Maslow, Routledge berkeyakinan kebutuhan manusia itu bersifat multi-pola dan sangat bergantung pada hubungan-hubungan sosial (social connections) dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhanÂ
Pendekatan Rewired dari Routledge menjadi relevan dalam memahami perilaku manusia di era sosial media. Koneksi sosial dan kolaburasi menjadi pusat dari kebutuhan manusia saat ini.Â
Kita menggunakan teknologi internet dan berbagai aplikasi sosial media untuk mencukupi kebutuhan itu. Sosial media adalah perkakas (tool) baru untuk saling terhubung dan perilaku manusia beradaptasi dengan perkakas-perkakas baru tersebut.
Apakah konsep Rewired dari Routledge ini sudah cukup menjelaskan fenomena Constant Checkers? Nampaknya belum. Mengapa kebutuhan untuk terkoneksi berkembang dari kebutuhan menjadi sesuatu yang cenderung adiktif bahkan problematis?
Fear of Missing Out (FOMO)
Artikel Erik Barker dalam New York Time menjelaskan dengan gamblang bagaimana FoMO "merasuki" manusia di era sosial media saat ini[i]. Itu dilakukan hanya untuk "Feel OK", untuk merasa baik-baik saja. Tapi perasaan itu akan berubah jika mengetahui bahwa ada satu informasi yang tertinggal. Emosi dan level stres akan berubah drastis.Â