Pekan kedua Januari 2021, warganet Indonesia sempat heboh mengetahui bahwa akun Twitter Fadli Zon, politisi dan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, memberi tanda suka (like) pada satu tautan situs porno.Â
Keramaian ini sempat menjadi topik yang paling banyak dibicarakan (trending topic). Fadli Zon kemudian mengklarifikasi bahwa dia tidak melakukannya dan ia tengah mengevaluasi jika ada kelalaian di admin Twitter yang dikelola oleh empat orang stafnya. Kehebohan netizen kemudian mereda setalahnya.Â
Di jaman sosial media, satu klik saja akan sangat fatal. Di negara yang lebih kuat menjunjung etika, contoh kasus di atas (jika benar-benar dilakukan oleh pejabat public) mungkin akan berkonsekuensi lebih serius.Â
Ia dapat dianggap memalukan, melanggar etika, atau tak patuh pada sumpah jabatan sebagai pejabat publik. Konsekuensinya bisa pemecatan. Kehilangan seluruh karir politiknya bisa jadi akibat paling memilukan.
Tidak ada definisi khusus tentang virtue signaling. Para penulis umumnya merujuk pada sikap menyetujui dan membagikan pandangan sosial-politik seseorang, terutama di sosial media, dalam upaya untuk mengakui kebenaran pendapat seseorang tentang sesuatu, sambil secara pasif menolak gagasan lainnya .Â
Penulis James Bartholomeu (2015) dalam kolomnya di The Spectator mengatakan, virtue signaling adalah upaya yang lebih canggih untuk meningkatkan citra diri seseroang di depan khalayak agar dinilai sebagai orang yang bermartabat, berkelas dan memiliki standar moral tinggi dan secara tidak langsung menganggap orang lain tak satu tingkatan dengannya.Â
Saltman (2017) adalah tindakan mengekspresikan kemarahan tentang ketidakadilan yang dilakukan seseorang tokoh kepada tokoh yang lain untuk meningkatkan kedudukan sosialnya.Â
Virtue signaling semakin penting di masa ketika semakin banyak orang menggunakan sosial media. Mereka yang dinilai memiliki pengaruh sosial dalam membangun opini, pembingkaian (framing) berita atas suatu situasi, kerap menggunakan ini untuk mendukung atau menolak suatu pandangan.Â
Sebagai individu siapapun dapat menunjukkan ekspresi apapun (suka, benci, mendukung atau menolak) pada suatu hal. Namun seseorang dengan jabatan publik yang terikat oleh sumpah jabatan dan juga nilai-nilai etika, ceritanya memang akan lain.
Hal sama juga dapat berlaku bagi wartawan. Wartawan adalah influencer, pembuat pendapat publik dan karena tujuan-kepentingan tertentu yang dimilikinya dia dapat melakukan virtue signaling untuk mendukung atau menolak suatu hal. Â Kapan dan bagaimana seorang wartawan menjadi dirinya sendiri dan menjadi representasi dari organisasinya? Tak akan mudah untuk dijawab jika menyangkut sosial media.Â
Jurnalis dituntut objektif dan imparsial atas satu fenomena. Jika jurnalis secara nyata mengartikulasikan penolakan dan keberpihakannya pada satu hal, ia akan dianggap bias. Penulis sendiri bukan orang yang sepakat pada objektivitas apalagi netralitas media. Meski demikian, bias inilah yang dikhawatirkan oleh British Broadcasting Corporation (BBC), lembaga penyiaran paling terkemuka di Inggris.
Aturan virtue signaling
Istilah virtue signaling semakin popular setelah pada 28 Oktober 2020, BBC, megeluarkan peraturan baru bagi para jurnalisnya untuk tidak menunjukkan virtue signaling pada pandangan-pandangan politik tertentu.Â
Dalam peraturan yang ditandatangani Tim Davie, Direktur Umum, BBC melarang jurnalis menggunakan akun sosial medianya untuk mendukung atau menolak isu-isu politik, kampanye atau aktivisme sosial lainnya betapapun pentingnya isu tersebut untuk kepentingan publik.Â
BBC mengatakan, tujuan peraturan baru ini agar jurnalis BBC menjaga imparsialitasnya atas satu pandangan politik agar kerja-kerja jurnalistik mereka tidak terganggu dengan pandangan pribadinya. Peraturan ini juga melarang jurnalis hadir dan terlibat langsung dalam massa protes, meskipun dalam kapasitas ribadi untuk menghindari tudingan BBC berpihak.Â
Tim Davies tegas mengatakan bahwa jika jurnalis di tempatnya ingin jadi seorang komentator, tim kampanye, atau penulis kolom dengan opini sendiri, boleh saja. Tapi ia tak akan bisa bekerja di BBC. Bagi Davies, pegawai harus menomorduakan citra diri (personal brand) yang berusaha dibangun melalui sosial media dan mengutamakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pegawai BBC.
Belum diketahui apakah media-media di Indonesia mengikuti langkah BBC untuk melakukan pelarangan serupa. Media-media di Indonesia pernah melewati dogfight (pertarungan udara) selama pemilihan presiden dan gubernur Jakarta, antara 2014-2018. Media terbelah dalam pro-Jokowi dan pro-Prabowo menyisakan persoalan-persoalan sosial dan sosial media hingga kini.Â
Dalam ranah jurnalis, Indonesia mengenal Kode Etik Jurnalisme Indonesia yang prinsipnya menekankan sikap imparsial dan menyampaikan kebenaran. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa pada masa-masa genting tertentu jurnalis harus mengikuti arahan pemilik perusahaan yang umumnya berkepentingan secara langsung dan tidak langsung pada hasil satu kompetisi politik.
Â
Virtue Signaling dari Perspektif Representasi Sosial
Istilah 'Representasi Sosial' (RS) pertama kali muncul pada tahun 1961, Serge Moscovici dapat dipandang sebagai pelopor gagasan ini. Moscovici sendiri tidak membuat definisi khusus tentang RS. Ilmuwan psikologi mendukung gagasannya mengembangkan batasan-batasan tersendiri tentang RS yang lebih tepat untuk keperluan studinya.Â
Jodelet (2011) menyebut RS sebagai teori yang berupaya untuk mengkonseptualisasi sebuah sistem informasi, kepercayaan, pendapat dan sikap atas sebuah debat tertentu.Â
Konsep-konsep ini digerakan melalui komunikasi, pemahaman dan kemampuan untuk mengetahui dunia sosial, material dan lingkungannya (milleu). Sebagai sebuah kerangka kerja teoritik, RS digambarkan sebagai proses penciptaan makna (creation of meaning) oleh kelompok-kelompok sosial tertentu untuk menafsirkan hal-hal atau kejadian baru seperti bencana atau wabah dengan mempertanyakan pandangan mereka atas hal-hal tersebut (Moloney, Gamble, Hayman, Smith, G. 2015.)
Moscovici menjelaskan bagaimana RS dibentuk dengan menyebut metafora 'ilmuwan amatir': setiap orang memilih, mengukir dan mengklasifikasikan informasi yang tidak diketahui dengan cara yang mirip seperti pembuat dokumenter dan mengintegrasikannya dalam alam semesta yang sama , tanpa dibatasi oleh ketelitian dan kehati-hatian spesialis.Â
Sekalipun ide dan istilah baru tidak tersebar luas secara aktif, orang biasa terus mencari penjelasan, eksplorasi ini dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman tentang istilah dan ide masing-masing. Menurut Moscovici (Moskovici dan Markova 1998, p. 412), tujuan dari upaya semacam itu bukanlah untuk melanjutkan proses pengetahuan, tetapi untuk diperbarui dan untuk mengisi kekosongan.
Dari aspek kognisi, Moscovici bersikeras untuk membedakan antara RS, di satu sisi, dan mitos, stereotip, opini dan sikap, di sisi lain. Baginya, tiga yang terakhir mewakili "jawaban jangka pendek pada objek itu sendiri" sementara representasi adalah fondasi yang mendasari ketiganya (Voelklein & Howarth, 2005).Â
Mitos milik dunia kuno, sedangkan representasi milik masyarakat yang sebenarnya; yang pertama dianggap sebagai ilmu mutlak sedangkan yang kedua hanya salah satu cara untuk mengetahui dunia konkrit (Moscovici, 1998). Sebuah opini mewakili, di satu sisi, "formula yang secara sosial dihargai terhadap subjek dan, di sisi lain, posisi terhadap isu kontroversial masyarakat" (Moscovici, 1998). Pendapat tidak menyajikan secara rinci konteks di mana mereka dikeluarkan atau konsep yang menjadi fondasinya - inilah mengapa pendapat memiliki karakter parsial dan kurang stabil.
Hubungan antara RS dan sikap lebih kompleks. Markova (dalam Moscovici & Markova, 1998, hlm. 382) menyebutkan bahwa ahli teori-teori behaviorist di Amerika serikat - pendukung pentingnya sikap dan pemisahan mereka dari representasi- secara keliru mengklasifikasikan sikap sebagai individu sementara mereka mengklasifikasikan RS sebagai kolektif.Â
Menurut Moscovici, sikap mempelajari "hubungan antara pikiran dan objek", tetapi tidak ada yang dapat memiliki pemikiran tentang suatu objek tanpa representasi dari objek itu (Moscovici & Markova, 1998, hlm. 380). Jadi, memiliki sikap sebenarnya berarti mengungkapkan sikap terhadap representasi Anda sendiri yang Anda miliki tentang objek itu. Baginya sikap tidak bertentangan dengan representasi, tetapi mewakili salah satu dimensi yang terakhir - tiga dimensi adalah sikap, informasi, dan citra.
Moscovici merancang RS tersebut sebagai konsep berwajah banyak yang berfokus pada sistem nilai, ide, gambar, dan praktik, sehingga RS menjadi keduanya; proses kognitif dan sosial. Seperti yang digarisbawahi oleh Wagner (1995), kognisi itu sendiri bersifat sosial karena berkembang melalui interaksi sosial. Dia menekankan pentingnya budaya yang mewakili kerangka kognisi, memungkinkan pembentukan, penyebaran dan transformasi RS yang spesifik.
Dalam cara pandang RS, tidak ada separasi antara pengirim, pesan, kanal/media yang dipergunakan dan pengirim pesan seperti yang secara jelas dibedakan oleh pendekatan klasik tentang perkembangan kognisi. Menurut RS, seorang pengirim pesan sangat paham pesan apa yang paling tepat untuk dikirim pada penerima pesan yang ia sasar.Â
Dengan kata lain, Ketika pesan itu diciptakan pengirim pesan telah memerhatikan (bearing in mind) hubungan sosial yang dimiliki atau ingin dimiliki dengan penerima pesan yang ia sasar. Ia juga mengetahui bahwa pesan yang dikirimnya itu akan memiliki pengaruh pada pendapat atau gagasan, sikap, stereotip bahkan mendorong sikap-sikap tertentu.
Dalam kasus pelarangan virtue signaling seperti yang terjadi di Indonesia dan Inggris kita dapat duga bahwa pimpinan BBC mengetaui bahwa pegawainya (terutama jurnalis, komentator dan pembawa acara yang popular dan kritis) kerap mengekpresikan pandangan berbeda dengan pemerintah atau dengan kebijakan internal BBC.Â
Demikian halnya juga ketika Menpan RB dan BKN mengeluarkan aturan penggunaan sosial media bagi ASN. Kedua instansi ini sadar bahwa banyak ASN juga menunjukkan pendapat yang bersebrangan dengan pemerintah.
Menurut Moskovici inilah pentingnya untuk melihat tiga jenis moda komunikasi yang biasa dikembangkan pengirim pesan untuk mencapai tujuan-tujuannya yaitu; diseminasi, propagasi dan propaganda.
Diseminasi dicirikan sebagai usaha untuk menyebarkan informasi pada audien seluas mungkin. Untuk melakukan hal itu, pengirim pesan harus mampu melampaui berbagai rintangan dan memperhatikan perbedaan segmen pendengarnya. Propagasi adalah bagaimana pesan itu dapat merambat pada sasarannya.Â
Pada tahap ini pengirim pesan akan berusaha untuk memperkuat ikatan individu dengan nilai/ideologi yang terkandung dalam pesan dengan ideologi, kepercayaan dan "akal sehat" yang selama ini dipegang oleh penerima pesan.Â
Dengan begitu, isi pesan disesuaikan bukan dengan "isi kepala" pemberi pesan seperti dalam tahap diseminasi, tapi justru dengan ideologi, kepercayaan dan akal sehat penerima pesan. Informasi dalam tahap ini disesuaikan dengan bahasa, gaya dan budaya yang tepat untuk kemudian dianalisis bagaimana pesan itu berasimilasi di dalam kelompok-kelompok penerima pesan.
Sistem komunikasi yang memiliki tujuan khusus untuk menciptakan atau memilihara perbedaan sosial adalah inti dari propaganda. Ciri utama dari propaganda adalah untuk menekankan konflik dan perbedaan antara dua kelompok, partai, komunitas, negara, agama, ideologi dan sebagainya.Â
Menggunakan pendekatan ini, menurut Moskovici, komunikasi yang bersifat propaganda akan memisahkan satu kelompok sebagai kelompok yang baik dan kelompok lain sebagai kelompok yang jahat. Seterusnya, moda komunikasi ini akan menciptakan representasi stereotip antara satu pada kelompok lainnya. Caranya selalu sama: memproduksi pesan-pesan tentang kekuatan dan superioritas dengan melakukan simplifikasi, generalisasi dan statemen-statemen yang sifatnya ekstrem memuja kelompok sendiri.Â
Virtue Signaling dan RS
RS dalam menggunakan bermacam moda untuk memperkuat pengaruh, pendapat, sikap, kepercataan, citra dan mendorong perilaku yang ingin dikembangkan terhadap sebuah diskursus. Isi dari RS dikembangkan melalui dua cara kerja sosio-kognitif; yaitu anchoring dan objektivikasi. Â
Secara sederhana proses anchoring berarti membandingkan sesuatu yang baru dengan sesuatu yang telah ada. Bagaimana objek baru ini direkonstruksi melalui cara kerja dengan interpretasi yang paling mudah diterima. Membuat sesuatu yang baru, aneh dan tidak diketahui menjadi lebih mudah diterima dan tidak mengancam.Â
Contoh aturan penggunaan sosial media di kalangan jurnalis dapat dianggap sebagai hal baru atau aneh. Proses anchoring berarti upaya untuk membuat aturan itu jadi masuk akal bagi penerima pesan. Tentu saja cara orang memaknai aturan virtue signaling akan berbeda berdasarkan pendidikan, ideologi, wilayah/tempat, waktu bahkan politik.Â
Di Amerika serikat misalnya, Covid-19 disebut Trump sebagai virus China hasil dari konspirasi teori melawan Amerika. Mereka yang mendukung Trump mayoritas tidak menggunakan masker karena mereka percaya bahwa virus ini tidak semengerikan seperti yang disampaikan komunitas ilmiah. Bagi jurnalis, pelarangan virtue signing dapat juga dianggap sebagai intervensi perusahaan pada aspek privat bahkan merusak kebebasan berpendapat.
Sementara proses objektifikasi merujuk pada skematisasi dan meterialisasi sebuah kepercayaan menjadi sesuatu yang lebih nyata (tangible). Metafora (perumpamaan) adalah cara yang paling kerap dipergunakan dalam proses objektifikasi. Contoh objektivikasi dalam masalah pandemic Covid-19 adalah mengumpamakannya sebagai "perang".Â
Contoh nyata objektivikasi Covid-19 menjadi perang ditunjukkan dengan poster-poster polisi dan tantara bertebaran mengajak masyarakat memerangi virus ini bersama-sama. Sementara dalam jurnalistik, aturan-aturan tentang penggunaan sosial media bagi karyawan yang memiliki pengaruh dalam membentuk opini masa, diregulasi dan diawasi oleh pemilik perusahaan media.
Begitulah cara RS bekerja, bagaimana pendapat umum dibentuk, berkembang dan diungkapkan dalam perilaku kolektif. Jadi tujuan utama RS adalah untuk melihat sejauh mana "kreativitas" dan nalar manusia atau kelompok mengasimilasi diskursus yang dihasilkan oleh para ahli, pemimpin pemerintahan, agama atau pengirim pesan lainnya dan memberi makna pada apa yang tengah terjadi/didiskusikan.
Aturan virtue signaling di kalangan jurnalis dikhwatirkan akan membuat jurnalis kehilangan independensinya. Selain itu aturan ini akan "melipat" dunia sosial dan dunia sosial media jurnalis dalam satu halaman saja.Â
Makna dan tafsir aturan virtue signaling di kalangan jurnalis perlu digali karena perlu kekuatan yang besar agar perusahaan media dapat "mengendalikan"  pemikiran jurnalis. Inilah yang sejatinya hendak perlu disingkap!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H