Menurut Van Meter dan Van Horn, sumber daya (resources) memainkan peran penting dalam implementasi kebijakan. Dalam konteks SPMI, kurangnya sumber daya sering kali menjadi alasan utama program SPMI kurang berjalan efektif.
Perguruan tinggi dengan dana yang terbatas tidak cukup mampu menyediakan fasilitas yang diperlukan, seperti program pelatihan dan pengembangan dosen atau infrastruktur teknologi yang memadai. Tanpa sumber daya yang memadai, kebijakan SPMI hanya menjadi dokumen yang bagus di atas kertas tetapi sulit dijalankan di lapangan.
Pressman dan Wildavsky (1973), mengemukakan bahwa implementasi kebijakan sering kali mengalami kendala atau bahkan kegagalan, bukan karena perumusan kebijakan yang buruk, namun karena eksekusi yang lemah akibat resources (sumber daya) yang kurang memadai.
Koordinasi Yang Kurang Efektif
Menurut Van Meter dan Van Horn, komunikasi antar organisasi merupakan kunci keberhasilan implementasi kebijakan. Komunikasi efektif perlu dibangun antara organisasi yang berkepentingan untuk keberhasilan SPMI seperti Kemendikbudristek, BAN-PT, LLDIKTI dan lain lain. Di Internal perguruan tinggi juga dipertanyakan sejauh mana efektifitas komunikasi dan koordinasi antar unit kerja.
Komunikasi internal perguruan tinggi meliputi komunikasi top-down, bottom-up dan komunikasi horisontal. Sejauh mana efektifitas saluran komunikasi dari universitas ke departemen dan fakultas, komunikasi dari dekan ke unit kerja dan kaprodi, semua itu sangat berpengaruh terdapat keberhasilan implementasi kebijakan SPMI.
Ketidakseimbangan informasi, koordinasi dan minimnya sosialisasi menyebabkan implementasi kebijakan SPMI tidak dilakukan secara merata di seluruh unit. Beberapa unit kerja mungkin sangat aktif menjalankan siklus PPEPP, sementara yang lain menjalankannya hanya sebatas formalitas tanpa pemahaman substansi yang mendalam. Goggin (1990) menyebutkan bahwa kurangnya komunikasi yang efektif di antara para pelaksana dapat menyebabkan fragmentasi implementasi kebijakan.
Goggin menekankan bahwa komunikasi yang efektif merupakan komponen penting dalam implementasi kebijakan publik. Menurut Goggin, kurangnya komunikasi yang baik di antara para pelaksana kebijakan, terutama di berbagai level organisasi, dapat menyebabkan fragmentasi implementasi. Fragmentasi ini terjadi ketika pelaksana kebijakan di lapangan (top, middle atau lower level management) tidak mendapatkan informasi yang cukup, tidak memahami instruksi dengan baik, atau mengalami keterputusan komunikasi dengan pembuat kebijakan di kementerian, pemda atau pimpinan perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Agen Pelaksana: Sudah Siapkah?
Karakteristik agen pelaksana juga menjadi faktor penting dalam teori Van Meter dan Van Horn. Di perguruan tinggi, kualitas pelaksana kebijakan (implementing agencies)---baik itu pimpinan perguruan tinggi, kepala unit kerja, dosen, atau staf administratif---sangat menentukan keberhasilan SPMI.
Dosen dan staf yang tidak pernah mengenyam pelatihan tentang siklus PPEPP kemungkinan besar akan gagal dalam menjalankan siklus tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Matland (1995), implementasi kebijakan membutuhkan kapabilitas pelaksana yang tinggi. Jika kapabilitas tersebut rendah, kebijakan tidak akan diterapkan secara efektif, terlepas dari seberapa baik kebijakan itu dirancang.
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik
Menurut Van Meter dan Van Horn, kondisi eksternal seperti kondisi ekonomi, sosial dan politik sangat mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan. Perguruan tinggi di Indonesia yang berada di pelosok terpencil dengan akses terbatas ke teknologi dan sumber daya sering kali kesulitan dalam implementasi SPMI.