Pendahuluan
Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah inisiatif pemerintah yang dirancang untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 67 sampai 70, disusun sebagai pengganti Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Peraturan Menteri diatas merupakan peraturan terbaru untuk regulasi implementasi SPMI Perguruan Tinggi.
Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), SPMI bertujuan untuk memastikan mutu pendidikan tinggi sesuai dengan standar nasional atau harapannya dapat melampaui.
Namun, di beberapa perguruan tinggi, kebijakan ini sering kali dirasa belum optimal mencapai tujuannya. Dokumen disusun hanya untuk sekedar formalitas belaka, belum menjadi acuan kongkrit dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Mengapa kebijakan yang sudah dipersiapkan dan dirancang dengan baik tidak berjalan efektif di lapangan?
Teori implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn, The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework.Administration & Society, menawarkan perspektif yang membantu menjelaskan mengapa SPMI tidak selalu berhasil diimplementasikan.
Dalam model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, ada enam komponen utama yang memengaruhi efektifitas implementasi kebijakan: 1. standar dan tujuan kebijakan, 2. sumber daya, 3. komunikasi antarorganisasi, 4. karakteristik agen pelaksana, 5. kondisi sosial-politik, dan 6. sikap pelaksana.
Standar Tinggi, Kapasitas Terbatas
Kebijakan SPMI yang berlandaskan pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti) tampaknya menawarkan kerangka kerja yang jelas. Namun, standar yang tinggi ini sering kali sulit diterjemahkan oleh banyak perguruan tinggi, terutama yang memiliki keterbatasan sumber daya. Seperti misalnya standar sarana prasarana tentang penyediaan akses yang handal untuk teknologi informasi dan komunikasi (pasal 48 ayat 3 Permendikbudristek No 53 Tahun 2023).
Meskipun tujuannya jelas, perguruan tinggi di pelosok terpencil atau yang memiliki keterbatasan fasilitas mengalami kesulitan dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Perguruan tinggi dengan anggaran kecil sering kali menghadapi tantangan dalam mengimplementasikan standar ini secara penuh, sehingga dikhawatirkan kebijakan hanya menjadi sekadar formalitas belaka.
Tanpa Uang, Kebijakan Hanya Ilusi?
Menurut Van Meter dan Van Horn, sumber daya (resources) memainkan peran penting dalam implementasi kebijakan. Dalam konteks SPMI, kurangnya sumber daya sering kali menjadi alasan utama program SPMI kurang berjalan efektif.
Perguruan tinggi dengan dana yang terbatas tidak cukup mampu menyediakan fasilitas yang diperlukan, seperti program pelatihan dan pengembangan dosen atau infrastruktur teknologi yang memadai. Tanpa sumber daya yang memadai, kebijakan SPMI hanya menjadi dokumen yang bagus di atas kertas tetapi sulit dijalankan di lapangan.
Pressman dan Wildavsky (1973), mengemukakan bahwa implementasi kebijakan sering kali mengalami kendala atau bahkan kegagalan, bukan karena perumusan kebijakan yang buruk, namun karena eksekusi yang lemah akibat resources (sumber daya) yang kurang memadai.
Koordinasi Yang Kurang Efektif
Menurut Van Meter dan Van Horn, komunikasi antar organisasi merupakan kunci keberhasilan implementasi kebijakan. Komunikasi efektif perlu dibangun antara organisasi yang berkepentingan untuk keberhasilan SPMI seperti Kemendikbudristek, BAN-PT, LLDIKTI dan lain lain. Di Internal perguruan tinggi juga dipertanyakan sejauh mana efektifitas komunikasi dan koordinasi antar unit kerja.
Komunikasi internal perguruan tinggi meliputi komunikasi top-down, bottom-up dan komunikasi horisontal. Sejauh mana efektifitas saluran komunikasi dari universitas ke departemen dan fakultas, komunikasi dari dekan ke unit kerja dan kaprodi, semua itu sangat berpengaruh terdapat keberhasilan implementasi kebijakan SPMI.
Ketidakseimbangan informasi, koordinasi dan minimnya sosialisasi menyebabkan implementasi kebijakan SPMI tidak dilakukan secara merata di seluruh unit. Beberapa unit kerja mungkin sangat aktif menjalankan siklus PPEPP, sementara yang lain menjalankannya hanya sebatas formalitas tanpa pemahaman substansi yang mendalam. Goggin (1990) menyebutkan bahwa kurangnya komunikasi yang efektif di antara para pelaksana dapat menyebabkan fragmentasi implementasi kebijakan.
Goggin menekankan bahwa komunikasi yang efektif merupakan komponen penting dalam implementasi kebijakan publik. Menurut Goggin, kurangnya komunikasi yang baik di antara para pelaksana kebijakan, terutama di berbagai level organisasi, dapat menyebabkan fragmentasi implementasi. Fragmentasi ini terjadi ketika pelaksana kebijakan di lapangan (top, middle atau lower level management) tidak mendapatkan informasi yang cukup, tidak memahami instruksi dengan baik, atau mengalami keterputusan komunikasi dengan pembuat kebijakan di kementerian, pemda atau pimpinan perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Agen Pelaksana: Sudah Siapkah?
Karakteristik agen pelaksana juga menjadi faktor penting dalam teori Van Meter dan Van Horn. Di perguruan tinggi, kualitas pelaksana kebijakan (implementing agencies)---baik itu pimpinan perguruan tinggi, kepala unit kerja, dosen, atau staf administratif---sangat menentukan keberhasilan SPMI.
Dosen dan staf yang tidak pernah mengenyam pelatihan tentang siklus PPEPP kemungkinan besar akan gagal dalam menjalankan siklus tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Matland (1995), implementasi kebijakan membutuhkan kapabilitas pelaksana yang tinggi. Jika kapabilitas tersebut rendah, kebijakan tidak akan diterapkan secara efektif, terlepas dari seberapa baik kebijakan itu dirancang.
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik
Menurut Van Meter dan Van Horn, kondisi eksternal seperti kondisi ekonomi, sosial dan politik sangat mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan. Perguruan tinggi di Indonesia yang berada di pelosok terpencil dengan akses terbatas ke teknologi dan sumber daya sering kali kesulitan dalam implementasi SPMI.
Sementara, kebijakan juga sering kali terpengaruh oleh dinamika politik, seperti perubahan kepemimpinan, seperti ada pameo "ganti menteri, ganti kebijakan", regulasi yang tidak konsisten atau tekanan dari pemangku kepentingan pemilik modal. Mazmanian dan Sabatier (1981) menyampaikan bahwa kondisi perubahan lingkungan eksternal dapat menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan publik, terutama di sektor pendidikan.
Dalam konteks pendidikan tinggi, dinamika politik yang tidak stabil, kondisi ekonomi yang buruk, dan tekanan perubahan sosial dapat membuat kebijakan sulit untuk diimplementasikan dengan baik.
Sikap Apatisme?
Faktor terakhir dalam teori Van Meter dan Van Horn adalah sikap pelaksana kebijakan (The attitude of the implementers). Di banyak perguruan tinggi, kebijakan SPMI sering kali dianggap sebagai "beban tambahan" oleh para pelaksana.
Dosen dan staf administratif yang tidak memahami manfaat langsung dari kebijakan ini "cenderung apatis" atau bahkan menolak (resistensi) menerapkannya dengan serius. Sikap ini sering kali menjadi penyebab kegagalan kebijakan di level implementasi.
Lipsky (1980), dalam teorinya tentang street-level bureaucracy, menjelaskan bahwa sikap pelaksana di lapangan sangat menentukan apakah kebijakan akan berjalan sesuai rencana atau tidak. Dalam kasus kebijakan SPMI, tanpa komitmen dan dukungan penuh dari pelaksana, kebijakan ini hanya akan sia-sia belaka.
Para pelaksana kebijakan di tingkat bawah atau yang berhadapan langsung dengan stakeholder (seperti Rektor, Dosen, atau Petugas administrasi) memiliki peran penting dalam menentukan apakah kebijakan SPMI akan diimplementasikan sesuai dengan standar SPMI atau tidak. Lipsky berpendapat bahwa "birokrat tingkat bawah" ini memiliki diskresi (kewenangan untuk membuat keputusan) yang cukup besar dalam menerjemahkan standar SPMI menjadi tindakan konkret di lapangan.
Baca juga:Â Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Kegagalan atau Tantangan?
Studi penerapan kebijakan SPMI melalui perspektif teori Van Meter dan Van Horn menunjukkan bahwa kegagalan implementasi bukan masalah tunggal, namun akibat interaksi kompleks dari berbagai macam faktor. Dari standar (target) yang terlalu tinggi, keterbatasan sumber daya (resources), hingga sikap apatis pelaksana kebijakan, tantangan dalam implementasi SPMI sangat beragam.
Perguruan tinggi dan stakeholder lainnya, perlu melakukan evaluasi mendalam untuk mengidentifikasi area-area yang memerlukan perbaikan. Dengan mengatasi hambatan-hambatan ini, diharapkan kebijakan SPMI dapat dijalankan secara lebih efektif, sehingga tujuan peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia dapat tercapai. InsyaAllah.
Referensi:
- Van Meter, D.S., & Van Horn, C.E. (1975). The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework.Administration & Society, https://doi.org/10.1177/009539977500600404
- Pressman, J.L., & Wildavsky, A. (1973). Implementation: How Great Expectations in Washington Are Dashed in Oakland; Or, Why It's Amazing that Federal Programs Work at All. University of California Press.
- Goggin, M.L., Bowman, A.O., Lester, J.P., & O'Toole, L.J. (1990). Implementation Theory and Practice: Toward a Third Generation. Scott, Foresman and Company.
- Matland, R.E. (1995). Synthesizing the implementation literature: The ambiguity-conflict model of policy implementation. Journal of Public Administration Research and Theory.
- Mazmanian, D.A., & Sabatier, P. (1981). Effective Policy Implementation. Lexington Books.
- Lipsky, M. (1980). Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. Russell Sage Foundation.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H