Mohon tunggu...
Bagus anak wage
Bagus anak wage Mohon Tunggu... -

saya bagus anak wage

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dulu

12 September 2015   22:08 Diperbarui: 12 September 2015   22:08 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dulu, dulu sekali, waktu saya masih muda dan berseragam abu-abu, waktu jaman intisari menjadi minuman favorit di penghujung sekolah, waktu Avatar : the legend aang belum ada, dan negara api belum menyerang, saya adalah pelajar yang pada umumnya belajar dan bertekad lulus dengan nilai yang baik, supaya bisa masuk kuliah di kampus favorit. 

 

Saya hidup di jaman itu, jaman di mana video  dengan format 3gp mudah merajalela dari telepon genggam ke telepon genggam lewat bluetooth, kepingan cakram digital tanpa cover berpindah tangan dan membuat goretan, serta sesekali karya Enny Arrow yang masih tersisa nyelip dibuku pelajaran sekolah.

 

Waktu itu, uang saku paling besar untuk pelajar adalah Rp50ribu. Itu uang jajan teman saya, perempuan, yang merupakan anak dari pegawai Bank Indonesia. Apa jabatan orang tuanya saya tidak tau, tapi itu yang diceritakan si perempuan yang jajannya banyak itu. Uang jajan seharinya itu, bisa untuk traktir teman setengah kelas. Waktu itu, harga nasi uduk di kantin sekolah cuma Rp3000. Dan uang jajan saya waktu itu Rp7000 (belum dipotong ongkos angkot Rp2000 pulang-pergi).

 

Waktu saya berseragam abu-abu artinya saya murid SMA. Saat itu,presidennya Megawati Sukarnoputri. Presiden yang pertama berjenis kelamin wanita, yang menggantikan Abdurahman Wahid (Gusdur) karena mandat MPR.

 

Waktu kelas 2 SMA, ada pemilu untuk pergantian presiden. Hasil pemilu itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi presiden.  SBY ini diusung Partai Demokrat. Saat itu, saya belum ikutan pemilu, soalnya saya belum punya KTP. Tapi, saya ikut kampanyenya, sejumlah partai saya ikuti kampanyenya.  Sebab, dapat uang Rp50ribu dan nasi uduk.

 

Saya sekolah tepat waktu, 3 tahun. Dan tidak pernah tinggal kelas. Pada jaman itu, lagi ngetren tinggal kelas. Biasanya, gara-gara kasus tawuran atau bolos sekolah sampai berbulan-bulan. Saya ikut tawuran, dan sering bolos, tapi saya bisa naik kelas. Karena saya adalah pelajar pada umumnya belajar dan bertekad lulus dengan nilai yang baik, supaya bisa masuk kuliah di kampus favorit. 

 

Kelas 2 SMA, saya nyaris tinggal kelas. Waktu proses kenaikan kelas, SBY baru mau dilantik jadi presiden. Untungnya, saya tidak jadi tinggal kelas. Bukan karena SBY, tapi karena kebaikan wali kelas saya. 

 

Dan akhirnya, saya naik kelas 3 dan masuk ke kelas IPS, kelas yang saya idamkan sejak kelas 1. Waktu saya kelas 1, abang-abang kelas 3 yang IPS belajarnya di luar kelas dan membawa tas. Saya jadi berharap bisa seperti itu. Soalnya, kalau di IPA, belajarnya di dalam kelas dengan buku yang banyak. Saya malas kalau bawa buku yang banyak, berat. Jadi saya berdoa supaya masuk ke IPS saat kelas 3.

 

Saya duduk dikelas 3 IPS 1. Teman sebangku saya nama panggilannyw Boker, nama aslinya Ibnu Arifianto. Untung dia rajin, saya bisa titip absen sama dia kalau lagi malas belajar di kelas. Saya lebih suka belajar di kantin atau luar kelas. 

 

Kelas saya unik, ada grafitinya, tulisannya 'Tiga Sos Satu' (kira-kira begitu bacaannya). Grafiti itu ada di tembok paling belakang. Kalau dipersentasekan, grafiti itu memakan 50 persen tembok kelas. Latar belakang grafiti itu berwarna variatif, merah - kuning - hijau, secara vertikal dengan urutan dari kanan ke kiri. Pada saat saya naik kelas 3, ada kebijakan dari kepala sekolah, katanya disuruh membuat kelas sekreatif mungkin dan senyaman mungkin. 

 

Di kelas lain tidak ada grafitinya, cuma belang-belang dua warna untuk temboknya. Ada juga yang pakai motif bunga-bunga. Ada juga yang pakai origami yang digantung-gantung di dekat jendela. Setidaknya itu yang saya ingat, karena itu yang beda. Selain itu, standar. Ruangan kelas dicat satu warna dengan warna yang para siswa suka.

 

Akhirnya, waktu ujian akhir sekolah dan ujian nasional dimulai. Ada tiga mata pelajaran yang menjadi faktor kelulusan. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi. Tiga mata pelajaran itu ditujukan untuk kelas IPS. Untuk yang IPA saya tidak tau, soalnya saya bukan belajar di kelas IPA. Secara berututan, saya mendapatkan nilai 8.00; 8.80; 7.37. Artinya, saya mendapatkan surat ijazah karena dianggap Lulus dengan nilai itu.

 

Tapi itu dulu, kira-kira sudah 10 tahun lalu. Waktu itu masih banyak pentas seni atau bahasa umumnya Pensi,  yang digelar di sekolah atau ruangan terbuka dan menampilkan band-band indie. Waktu itu juga belum ada acara Dahsyat, Inbox dan yang semiripnya, yang ada acara MTV. Isi siaran di MTV kebanyakan soal musik. Musinya dari band-band yang direkrut oleh perusahaan rekaman ternama.

 

Itu dulu, ketika situs bokep belum ditutup, dan warnet jadi taman bermain karena menyediakan penyewaan komputer untuk game online. Serta rental PS jadi tempat sendagurau pelajar dikala jam sekolah mulai. 

 

Ketika itu juga, parkiran sekolah masih sepi. Ketika itu, anak SMA belum banyak yang mengendarai motor ke sekolah. Paling sering naik angkot atau bus dan rame-rame. 

 

Ya begitulah. Jaman sudah berubah. Kalau kata Deddy Mizwar, 'kiamat sudah dekat'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun