Mohon tunggu...
Bagus Yudananto N
Bagus Yudananto N Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi bidang Marketing Communication dan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi

Urip Iku Urup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Di Balik Gelombang Cinta untuk Para "Oppa" dan Eonni" di Indonesia

10 November 2020   11:56 Diperbarui: 31 Juli 2024   14:43 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi yang melanda seluruh belahan dunia saat ini memunculkan sebuah pola baru dalam tatanan masyarakat, khususnya mengenai distribusi budaya dari satu negara ke negara lain. 

Perkembangan teknologi seperti internet turut berkontribusi dalam menghilangkan batasan-batasan yang ada dalam masyarakat dan mampu diolah dan disalurkan secara cepat oleh media kepada khalayak yang luas. 

Dalam konteks ini, komunikasi kemudian menjadi sebuah pondasi bagaimana kebudayaan, politik, maupun ekonomi ditularkan dan disalurkan ke negara-negara lain, dalam konteks kebudayaan tak mengherankan bila saat ini muncul fenomena "K-Pop" dan "Drama Korea - Drakor" yang menjamur secara cepat dan meraih atensi anak muda di Indonesia.

Sebelum mengulas mengenai fenomena "K-Pop dan Drakor" di tanah air, fenomena semacam ini secara tidak langsung membuktikan bahwa media menciptakan suatu dampak kepada masyarakat baik dalam hal perilaku, kebudayaan, maupun perilaku sehari-hari, realitas ini kerap disebut sebagai imperialisme budaya. 

Menurut Hamelink dalam Malik (2014), imperialisme budaya diartikan sebagai peran media dalam menciptakan budaya pada masyarakat suatu negara. 

Pada awalnya, konsep imperialisme budaya dikenal dari negara Amerika Serikat (AS) terutama melalui musik maupun film Hollywood yang mendominasi industri hiburan di seluruh dunia dan secara perlahan mengubah tren serta pola perilaku masyarakat, namun seiring berkembangnya waktu beberapa negara kemudian memainkan peran dalam menyalurkan kepentingannya, mulai dari Jepang, India, hingga Korea Selatan.

Dari beberapa negara yang disebutkan tersebut, Korea Selatan saat ini tentu menjadi salah satu top of mind terutama bagi anak muda Indonesia. Maraknya K-Pop dan Drakor secara ini kemudian memunculkan istilah "Hallyu" atau Korean Wave.

Secara singkat diartikan sebagai gelombang kebudayaan Korea Selatan yang tersebar ke seluruh dunia yang memicu masyarakat untuk mempelajari kebudayaan korea baik bahasa maupun budaya melalui film, musik maupun pariwisata. Lalu bagaimana dengan Fenomena Hallyu di Indonesia?

Berdasarkan data dari Korea.net mengenai data jumlah penggemar K-Pop tahun 2019 di seluruh dunia, Indonesia  berada satu peringkat di bawah Korea Selatan yaitu menempati posisi kedua dengan 9,9 persen. 

Data ini tentu mengejutkan, besarnya populasi anak muda di Indonesia serta potensi pasar nyatanya berhasil diambil dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu fanbase Hallyu di dunia.

Tak hanya itu saja, fenomena ini kemudian juga dijadikan sebagai peluang bagi dunia bisnis dalam menarik minat dari para penggemar, sebagai contoh beberapa raksasa startup di Indonesia seperti Tokopedia dan Shopee hingga merek makanan dan minuman seperti Mie Sedaap, Luwak White Coffee, serta Nu Green Tea pernah memilih brand ambassador dari bintang Korea Selatan ini. 

Bahkan kecenderungan televisi nasional saat ini tak lagi mengundang musisi dari Amerika atau Eropa, namun justru dari Korea Selatan. Hal ini menjadi bukti bahwa gelombang cinta untuk para Oppa dan Eonni (untuk sebutan kakak laki-laki dan kakak perempuan) ini begitu luar biasa.

Walaupun begitu, kita tidak boleh "silau" dengan hal tersebut. Bila dilihat secara lebih mendalam, tentu ada serangkaian dampak negatif baik dirasakan secara langsung maupun tidak langsung dan menjadikan hal ini sebuah tamparan keras. 

McPhail (2014) pernah mengatakan bahwa sejak perang dunia kedua (PD II), para akademisi khawatir tentang kemungkinan efek media massa pada individu dan budaya. 

Munculnya kepentingan-kepentingan baru dan adanya sebuah peluang dalam meningkatkan komoditas terutama dari sisi media menjadi persoalan tersendiri. 

Film, majalah, televisi dan teknologi kemudian menjadi salah satu sumber dan sarana baru untuk "menjajah kebudayaan" negara lain, tak hanya itu saja penggunaan internet juga mewarisi kebiasaan baru bagi para pengguna internet di Indonesia. Platform media sosial seperti Tik-Tok, Instagram, dan Youtube kini cenderung dihiasi oleh para anak muda dengan cover lagu maupun dance khas dari Korea Selatan.

Di balik balutan tren keunikan, kemewahan, kreatifitas yang ditawarkan oleh gelombang budaya Korea Selatan ini nyatanya menyisakan dilema tersendiri, perlahan-lahan pula gelombang ini kemudian meredupkan kebudayaan lokal di tanah air, sebagai contoh hal yang sangat memprihatinkan adalah anak muda saat ini cenderung lebih memahami bahasa Korea Selatan dibandingkan budaya lokal seperti Jawa (aksara Jawa, tari-tarian Jawa, hingga alat musik tradisional). 

Bila tak ada aksi nyata, bukan tidak mungkin nantinya kebudayaan lokal tidak akan terpelihara dan tidak mampu diwariskan, bahkan dikhawatirkan akan punah seiring dengan "gempuran" budaya luar yang secara berkala disalurkan oleh media.

Oleh karena itu, dalam konteks imperialisme budaya ini sejatinya menjadi bahan introspeksi bersama terutama melihat kembali arah tujuan bersama dalam mewarisi dan melestarikan kebudayaan lokal di tanah air. 

Kesadaran pemerintah, media nasional, media lokal maupun masyarakat juga menjadi sebuah tantangan dalam menjaga kebudayaan lokal sekaligus memanfaatkan peluang globalisasi ini sebagai "alat diplomasi" ke negara lain. 

Urgensi dalam menciptakan strategi kebudayaan baru juga dirasa menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan diupayakan, melihat potensi perkembangan teknologi yang selalu berkembang saat ini menjadi sebuah "potensi besar", ragam kebudayaan tradisional yang dimiliki Indonesia baik dari Sabang hingga Merauke juga menjadi aset berharga untuk dikembangkan. 

Perlunya pendekatan kebudayaan bagi para anak muda di Indonesia juga menjadi tantangan baru, agar generasi muda Indonesia yang menjadi agen perubahan ini justru turut serta membantu proses "diplomasi budaya" kepada khalayak luas melalui teknologi internet. 

Di samping itu, peran media yang membantu dalam mengemas kebudayaan lokal  serta menjadi wadah dalam penyaluran informasi guna membuka wawasan dan literasi bagi publik juga menjadi hal yang perlu diupayakan secara berkala.  

Sehingga nantinya, diharapkan gelombang cinta kepada para Oppa dan Eonni ini dapat digantikan menjadi gelombang cinta bagi kebudayaan lokal di Indonesia, yang nantinya diharapkan masyarakat lokal saja yang tertarik untuk mempelajari kebudayaan Indonesia, namun juga orang-orang dari luar negeri.

Sumber Referensi:

  1. McPhail, Thomas L. (2014). Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends. MA, USA: Blackwell Publishing. 

  2. Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan. (2019). Map Showing K-Pop's Popularity by Global Region Released. Diakses melalui 

  3. Malik, Dedy Djamaluddin. (2014). Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia. Journal Communication 5 (2), 1-16. Diakses emlalui

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun