Tak hanya itu saja, fenomena ini kemudian juga dijadikan sebagai peluang bagi dunia bisnis dalam menarik minat dari para penggemar, sebagai contoh beberapa raksasa startup di Indonesia seperti Tokopedia dan Shopee hingga merek makanan dan minuman seperti Mie Sedaap, Luwak White Coffee, serta Nu Green Tea pernah memilih brand ambassador dari bintang Korea Selatan ini.Â
Bahkan kecenderungan televisi nasional saat ini tak lagi mengundang musisi dari Amerika atau Eropa, namun justru dari Korea Selatan. Hal ini menjadi bukti bahwa gelombang cinta untuk para Oppa dan Eonni (untuk sebutan kakak laki-laki dan kakak perempuan) ini begitu luar biasa.
Walaupun begitu, kita tidak boleh "silau" dengan hal tersebut. Bila dilihat secara lebih mendalam, tentu ada serangkaian dampak negatif baik dirasakan secara langsung maupun tidak langsung dan menjadikan hal ini sebuah tamparan keras.Â
McPhail (2014) pernah mengatakan bahwa sejak perang dunia kedua (PD II), para akademisi khawatir tentang kemungkinan efek media massa pada individu dan budaya.Â
Munculnya kepentingan-kepentingan baru dan adanya sebuah peluang dalam meningkatkan komoditas terutama dari sisi media menjadi persoalan tersendiri.Â
Film, majalah, televisi dan teknologi kemudian menjadi salah satu sumber dan sarana baru untuk "menjajah kebudayaan" negara lain, tak hanya itu saja penggunaan internet juga mewarisi kebiasaan baru bagi para pengguna internet di Indonesia. Platform media sosial seperti Tik-Tok, Instagram, dan Youtube kini cenderung dihiasi oleh para anak muda dengan cover lagu maupun dance khas dari Korea Selatan.
Di balik balutan tren keunikan, kemewahan, kreatifitas yang ditawarkan oleh gelombang budaya Korea Selatan ini nyatanya menyisakan dilema tersendiri, perlahan-lahan pula gelombang ini kemudian meredupkan kebudayaan lokal di tanah air, sebagai contoh hal yang sangat memprihatinkan adalah anak muda saat ini cenderung lebih memahami bahasa Korea Selatan dibandingkan budaya lokal seperti Jawa (aksara Jawa, tari-tarian Jawa, hingga alat musik tradisional).Â
Bila tak ada aksi nyata, bukan tidak mungkin nantinya kebudayaan lokal tidak akan terpelihara dan tidak mampu diwariskan, bahkan dikhawatirkan akan punah seiring dengan "gempuran" budaya luar yang secara berkala disalurkan oleh media.
Oleh karena itu, dalam konteks imperialisme budaya ini sejatinya menjadi bahan introspeksi bersama terutama melihat kembali arah tujuan bersama dalam mewarisi dan melestarikan kebudayaan lokal di tanah air.Â
Kesadaran pemerintah, media nasional, media lokal maupun masyarakat juga menjadi sebuah tantangan dalam menjaga kebudayaan lokal sekaligus memanfaatkan peluang globalisasi ini sebagai "alat diplomasi" ke negara lain.Â
Urgensi dalam menciptakan strategi kebudayaan baru juga dirasa menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan diupayakan, melihat potensi perkembangan teknologi yang selalu berkembang saat ini menjadi sebuah "potensi besar", ragam kebudayaan tradisional yang dimiliki Indonesia baik dari Sabang hingga Merauke juga menjadi aset berharga untuk dikembangkan.Â