Ini menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah bagi Kepolisian untuk menegakan integritas dan profesionalitas dalam kerja pengayoman masyarakat kedepan. Selain itu Presiden dalam memilih calon Kapolri haruslah menegaskan komitmen pembenahan internal institusi Polri. Setidaknya Presiden menetapkan indikator kompetensi, rekam jejak, dan integritas dalam menentukan calon Kapolri baru selain melakukan penyaringan masukan dari masyarakat maupun Organisasi Masyarakat yang mengawal isu kepolisian dan keamanan masyarakat.
Selain itu internal Polri juga harus menegaskan integritasnya, misal melakukan pengawasan pada anggota Polri terkhusus pejabat perwira dilingkungan Polri melalui laporan harta kekayaannya (Laporan Kekayaan Penyelengara Negara (LHKPN)). Ini penting karena berdasarkan penelusuran ICW pada pertengahan tahun 2019 yang lalu, dari 29.526 anggota Polri yang wajib lapor, 12.779 diantaranya belum menyampaikan LHKPN ke KPK. Padahal di satu sisi, Polri telah memiliki PerKap Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian LHKPN di lingkungan Kepolisian yang semestinya dapat dimaksimalkan. Hal tersebut juga merupakan penegasan pelaksanaan daripada Surat Telegram Nomor: ST/30/XI/HUM.3.4./2019/DIVPROPAM yang berisi peraturan disiplin anggota Polri, kode etik, profesi Polri, dan kepemilikan barang mewah oleh pegawai negeri di Polri. Â
Kedepan juga harus dilakukan pembenahan aturan untuk mendukung pelaksanaan hal ini. Misal melakukan revisi atas Keputusan Kapolri No. Kep/1059/X/2017, hal ini karena aturan ini tidak memasukkan beberapa jabatan strategis dilingkungan Polri yang semestinya wajib melakukan laporan LHKPN, misalnya jabatan Wakil Kepala Kepolisian Daerah. Persoalan ini muncul ketika salah seorang perwira tinggi Polri Karyoto yang sebelumnya merupakan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta terpilih menjadi Deputi Penindakan KPK. Saat itu KPK menyebutkan tidak ada kewajiban bagi Wakapolda untuk melaporkan LHKPN berdasarkan aturan tersebut.
Perlu juga dilakukan pembenahan dalam hal pemahaman dan perlindungan HAM oleh aparat kepolisian. Hal ini dapat dimulai dengan mencabut aturan yang ada dilingkungan Polri yang membatasi kebebasan sipil masyarakat, hal ini karena kewenangan tersebut terletak pada pembentuk UU dan bukan Polri sebagai pelaksana UU. Lebih jauh pendekatan yang egaliter dan humanis dalam bingkai profesionalitas juga penting dilakukan Polri dalam menangani ruang ruang aspirasi publik seperti aksi massa. Kekerasan atas nama tugas kepolisian harus segera dihentikan dan Polri harus bisa memastikan proses hukum bagi angotanya yang melakukan pelanggaran penggunaan kekerasan yang berlawanan dengan Perkap Nomor 01 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.
Mengenai pembenahan pada penanganan kasus korupsi setidaknya pemberian efek jera (sanksi) bagi pelaku korupsi menekankan basis beberapa cara diantaranya Pemidanaan penjara dengan sanksi maksimal, upaya pemulihan kerugian keuangan Negara. Cara-cara tersebut dapat terealisasikan dengan menggunakan instrument hukum yang beriringan yakni UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, hal ini belum tampak dikerjakan maksimal oleh Kepolisian, temuan ICW menunjukkan, sepanjang tahun 2019, Kepolisian tidak menggunakan UU TPPU untuk menjerat pelaku korupsi. Kedepan perlu langkah tegas dan visioner dalam pembenahan institusi Polri melalui suksesi kepemimpinan Kapolri terpilih dengan menegaskan aspek penegakan hukum yang berintegritas, egaliter, humanis, dan tegas.
Bagas Wahyu Nursanto
Pemerhati Hukum, Politik, Kebijakan Publik, terlebih HAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H