Mohon tunggu...
Bagas Wahyu Nursanto
Bagas Wahyu Nursanto Mohon Tunggu... Lainnya - Media opini pribadi

Pemerhati sosial, hukum, kebijakan publik, hingga HAM.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyambut Suksesi Kepemimpinan Kapolri: Pekerjaan Rumah Menanti

15 Januari 2021   08:44 Diperbarui: 15 Januari 2021   08:57 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada empat bentuk diskresi yang diimplementasikan kedalam instrument hukum. Beberapa diantaranya Surat Telegram Nomor: ST/1100/IV.HUK.7.1./2020 tentang Penanganan Kejahatan di Ruang Siber yang menghidupkan kembali aturan mengenai penghinaan terhadap Presiden yang sudah dihapus oleh MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, Surat Telegram STR/645 /X/PAM.3.2/2020 tentang antisipasi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan Omnibus law Cipta Kerja. Dalam surat telegram tersebut terdapat beberapa instruksi yang tidak sesuai tugas pokok fungsi Polri seperti instruksi untuk melakukan perlawanan narasi terhadap isu yang mendiskreditkan Pemerintahan salah satunya dengan membangun opini melalui media masa maupun online bahwa masyarakat tidak setuju dengan demonstrasi ditengah pandemi. Terlihat bahwa yang dilakukan Polri cenderung politis.

Kemudian Peraturan Polri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa hingga Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) yang mengaburkan wewenang Polri sebagai penegak hukum dan pelaksana peraturan perundang-undangan yang justru memiliki wewenang sebagai pembuat peraturan yang berisi larangan. Dalam konteks procedural hukum Maklumat ini pun bermasalah, misal mengenai materi muatan larangan yang berdasarkan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 yang seharusnya menjadi domain UU dan bukan Maklumat Kepolisian.

Ketiga, Kurang Optimalnya Aparat Kepolisian untuk menegakkan perlindungan HAM. Tidak jarang Aparat Kepolisian menjadi aktornya seperti pola penggerusan kebebasan berpendapat dan penggunaan kekuatan yang eksis dalam menangani aksi massa yang terjadi dalam penanganan aksi May Day tahun 2019 di Bandung, yang kemudian terus berulang pada aksi di sekitar Bawaslu Mei 2019, kemudian aksi Reformasi Dikorupsi sepanjang September 2019 hingga aksi menolak UU Cipta Kerja Oktober 2020. Menurut KontraS Keberulangan peristiwa merupakan gejala dari penyakit yang lebih mendasar, yakni adanya pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sehingga tidak muncul efek jera serta upaya perbaikan kelembagaan untuk menjamin terlindunginya HAM.

Kelemahan Polri dalam mengamalkan HAM justru membuat aparat kepolisian menjadi aktor pelanggaran HAM. Catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM mencatat bentuk pelanggaran terhadap Pembela HAM yang paling dominan adalah kriminalisasi dengan 31 kasus dan pelaku pelanggaran terhadap hak pembela HAM mayoritas adalah polisi dengan 27 kasus. Hal ini bukan hanya menjadi pekerjaan rumah melainkuan juga gambaran kedepan akan komitmen Kapolri terpilih untuk menegakan HAM secara utuh.    

Keempat, Banyaknya Anggota Polri yang menduduki jabatan publik pada instansi Negara lainnya. KontraS mencatat dari kurun waktu juni 2019 hingga Mei 2020 terdapat 30 anggota Polri yang menduduki jabatan publik diluar lingkungan Polri. Realita ini menggambarkan adanya pola kecenderungan Polri yang tidak ketat dalam menegaskan tupoksi sebagai penegak hukum yang dilekati prinsip kekuatan, profesionalitas, netralitas, dan imparsialitas.

Artinya anggota Polri tidak boleh menduduki jabatan publik yang tidak berkaitan dengan penegakan hukum ataupun jika berkaitan tidaklah elok dalam etika politik kelembagaan. Terlebih dalam Pasal 28 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyatakan bahwa anggota Polri dapat menjabat jabatan diluar kepolisian selama ia telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Pada praktiknya ini akan berbahaya, sebab akan timbul konflik kepentingan yang menyeret antar kelembagaan.

Memahami praktik ini setidaknya harus dipahami bagaimana pula kinerja anggota Polri yang menjabat pada jabatan publik yang juga dipertanyakan prestasinya, seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan Jenderal Polisi aktif Firli Bahuri ataupun Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan. Padahal menurut William E. Schluter dalam bukunya yang berjudul Soft Corruption: How Unethical Conduct Undermines Good Government and What to Do About It Ia menegaskan bahwa rangkap jabatan dapat menciptakan konflik kepentingan dan menimbulkan banyak keburukan terkait dengan patronasi.

Hal ini dapat menciptakan pandangan bahwa dengan demikian tercipta budaya politik patronase dimana orang yang memiliki kualifikasi dibidang yang menjadi kebutuhan lembaga tersebut tidak dapat terpenuhi. Terlebih menurut KontraS penempatan anggota Kepolisian di luar struktur organisasi Polri tidak hanya dapat mengganggu independensi, namun juga berimplikasi pada meluasnya pengaruh dan kuasa Polri dalam tatanan sosial-ekonomi yang merupakan salah satu hal yang tidak boleh terjadi terhadap lembaga di sektor keamanan.

Kelima, Menurunnya kinerja terhadap pemberantasan korupsi. Melandaskan pada Daftar Isian Pelaksanaan Aanggaran petikan tahun 2019 yang diterbitkan Kementerian Keuangan, setiap Kepolisian di tingkat daerah maupun pusat memiliki target kasus yang harus diselesaikan diantaranya pada tingkat pusat Bareskrim memiliki target 25 kasus, ditingkat daerah seperti Polda memiliki target 20 kasus, dan Polres memiliki target 1 kasus. Sehingga target Kepolisian per tahun sebanyak 1.205 kasus.

Dari target tersebut, berdasarkan temuan ICW sepanjang tahun 2019, Polri hanya dapat menyelesaikan 100 kasus korupsi dengan 209 tersangka. Catatan ini menurun dari dua tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2018 kepolisian mencatat menyelesaikan 162 kasus dengan 337 tersangka serta tahun 2019 kepolisian mencatat menyelesaikan 216 kasus dengan 436 jumlah tersangka. Angka ini menunjukan adanya kemunduran dalam hal penegakan kasus korupsi oleh Polri. Hal ini jelas menjadi tantangan kapolri terpilih kedepan bagaimana mengatur strategi menyusun instrument hukum dilingkungan Polri yang pro atas penegakan korupsi serta peningkatan kualitas sumber daya manusia terkhusus kepada penyidik yang menangani kasus korupsi dilingkungan Polri.

Hal ini justru dinilai oleh publik sebaliknya, pasalnya institusi Polri justru tercoreng akibat anggota Polri yang justru bekerja sama dengan koruptor Joko S Tjandra untuk memudahkan urusannya, bahkan melindungi dan bukan menangkap Joko S Tjandra, mereka adalah Prasetijo Utomo Mantan Kakorwas PPNS Polri yang tersangkut kasus korupsi Penerbitan Surat Jalan dan Keterangan Bebas Covid-19 untuk Koruptor kelas kakap Joko S Tjandra dan Napoleon Bonaparte mantan Kadivhubinter Polri yang tersangkut kasus korupsi Penghapusan red notice Joko S Tjandra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun