Sukses Kepemimpinan POLRI
Akhir Januari 2021 Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jendral Polisi Idham Azis resmi pensiun dalam masa baktinya, ini mengharuskan Presiden segera menunjuk pengganti suksesi kepemimpinan ditubuh korps bayangkara ini. Setidaknya hal ini turut membuat simpati publik untuk memahami bagaimana proses pergantian suksesi tersebut. Catatan penting dalam proses ini ialah bahwa meskipun pemilihan Kapolri baru berada ditangan Presiden aas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian namun masyarakat berhak untuk berpartisipasi.
Saya menilai bahwa proses pemilihan Kapolri baru ini juga harus didasarkan pada masukan publik hal ini untuk mengakomodir isu partisipatif, integritas, dan proporsional. Selain itu proses pemilihan Kapolri baru ini setidaknya haruslah bekerja sama dengan lembaga Negara lainnya terkhusus yang bertugas sebagai lembaga eksaminatif seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Tranksaksi Keuangan, ataupun Direktorat Jenderal Pajak, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini penting dilakukan untuk menjamin dan menegakan komitmen kepemimpinan Polri dimasa mendatang berintegritas dan bersih dari praktik korupsi.
Selain menyoroti proses suksesi penggantian kepemimpinan di tubuh Polri, penting pula untuk menyoroti bagaimana kedepan hal-hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi suksesi kepemimpinan Kapolri baru. Hal ini perlu dilakukan karena berdasarkan Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) saja tentang tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Polri juga termasuk persoalan penegakan korupsi mengalami penurunan dengan persentase hasil survey diangka 59,% pada Desember 2020 menurun dari angka 65,5% pada Desember 2018.
Lebih lanjut, menyoroti hal ini setidaknya dibutuhkan suksesi kepemimpinan Kapolri baru guna mengembalikan kepercayaan publik. Selain itu, penting dilakukan agar masyarakat memahami bagaimana kedepan institusi Polri berbenah secara holistik. Perlu dilakukan pemahaman serta analisa atas pekerjaan rumah kedepan bagi Polri guna sebagai bahan komitmen akan penegakan hokum dan integritas institusi pengayom masyarakat.
Beberapa Pekerjaan Rumah Menanti
Pekerjaan rumah kedepan bagi Polri harus dipahami oleh suksesi kepemimpinan Kapolri baru kedepan sebagai bahan refleksi dan komitmen penyelesaiannya. Setidaknya pekerjaan rumah ini juga merupakan bahan pembenahan internal lembaga kepolisian kedepan. Pertama, persoalan kualitas integritas pimpinan Polri. Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah utama bagi Kapolri baru kedepan untuk memastikan para perwira pejabat tinggi dilingkukan Polri untuk dapat mengedepankan profesionalitas dan integritas dalam mengayomi masyarakat.
Hal ini berangkat dari data yang disusun Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kurun waktu tahun 2006 sampai tahun 2020 terdapat Sembilan perwira tinggi Polri yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi. Terbaru tahun 2020 saja tercatat ada dua perwira tinggi Polri yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus Joko S Tjandra. Mereka diantaranya adalah Prasetijo Utomo Mantan Kakorwas PPNS Polri yang tersangkut kasus korupsi Penerbitan Surat Jalan dan Keterangan Bebas Covid-19 untuk Koruptor kelas kakap Joko S Tjandra dan Napoleon Bonaparte mantan Kadivhubinter Polri yang tersangkut kasus korupsi Penghapusan red notice Joko S Tjandra.
Ini menjadi penting bagaimana integritas dan profesionalitas Polri sebagai pengayom masyarakat dipertaruhkan dengan kasus-kasus besar seperti ini. Terlebih masyarakat melihat pula tren korupsi melalui pengutan liar di Kepolisian masih ada. Merujuk pada data survey dilakukan LSI bersama ICW tahun 2018 mengenai Praktik korupsi di Indonesia yang melibatkan 2.000 responden, dari jumlah tersebut sebanyak 13 persen responden mengaku pernah berurusan dengan polisi dalam setahun terakhir ini. Dari 13 persen itu, sebanyak 34 persen mengaku pernah dimintai uang atau hadiah di luar biaya resmi.
Ini telah menjadi rahasia umum bagaimana praktik ini terjadi. Bisa dilihat dari bagaimana proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang masih memungkinkan praktik pungutan liar ini terjadi. Bagaimana sulitnya masyarakat untuk melalui tahapan proses ujian untuk mendapatkan SIM namun terpatahkan melalui praktik "bayar lebih besar dari harga resmi" untuk memudahkan mendapatkan SIM. Perlu dilakukan reformasi kelembagaan dari hulu sampai hilir untuk menangani persoalan ini.
Kedua, Penggunaan diskresi yang sewenang-wenang, gambaran ini setidaknya menampilkan salah satu pola kepemimpinan Kapolri Idham Azis yang banyak mengeluarkan diskresi. Kekuasaan mengeluarkan diskresi ini juga dapat membuka peluang untuk membatasi partisipasi publik dan kebebasan sipil dalam iklim demokrasi yang harus dibenahi.
Catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada empat bentuk diskresi yang diimplementasikan kedalam instrument hukum. Beberapa diantaranya Surat Telegram Nomor: ST/1100/IV.HUK.7.1./2020 tentang Penanganan Kejahatan di Ruang Siber yang menghidupkan kembali aturan mengenai penghinaan terhadap Presiden yang sudah dihapus oleh MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, Surat Telegram STR/645 /X/PAM.3.2/2020 tentang antisipasi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan Omnibus law Cipta Kerja. Dalam surat telegram tersebut terdapat beberapa instruksi yang tidak sesuai tugas pokok fungsi Polri seperti instruksi untuk melakukan perlawanan narasi terhadap isu yang mendiskreditkan Pemerintahan salah satunya dengan membangun opini melalui media masa maupun online bahwa masyarakat tidak setuju dengan demonstrasi ditengah pandemi. Terlihat bahwa yang dilakukan Polri cenderung politis.
Kemudian Peraturan Polri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa hingga Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) yang mengaburkan wewenang Polri sebagai penegak hukum dan pelaksana peraturan perundang-undangan yang justru memiliki wewenang sebagai pembuat peraturan yang berisi larangan. Dalam konteks procedural hukum Maklumat ini pun bermasalah, misal mengenai materi muatan larangan yang berdasarkan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 yang seharusnya menjadi domain UU dan bukan Maklumat Kepolisian.
Ketiga, Kurang Optimalnya Aparat Kepolisian untuk menegakkan perlindungan HAM. Tidak jarang Aparat Kepolisian menjadi aktornya seperti pola penggerusan kebebasan berpendapat dan penggunaan kekuatan yang eksis dalam menangani aksi massa yang terjadi dalam penanganan aksi May Day tahun 2019 di Bandung, yang kemudian terus berulang pada aksi di sekitar Bawaslu Mei 2019, kemudian aksi Reformasi Dikorupsi sepanjang September 2019 hingga aksi menolak UU Cipta Kerja Oktober 2020. Menurut KontraS Keberulangan peristiwa merupakan gejala dari penyakit yang lebih mendasar, yakni adanya pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sehingga tidak muncul efek jera serta upaya perbaikan kelembagaan untuk menjamin terlindunginya HAM.
Kelemahan Polri dalam mengamalkan HAM justru membuat aparat kepolisian menjadi aktor pelanggaran HAM. Catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM mencatat bentuk pelanggaran terhadap Pembela HAM yang paling dominan adalah kriminalisasi dengan 31 kasus dan pelaku pelanggaran terhadap hak pembela HAM mayoritas adalah polisi dengan 27 kasus. Hal ini bukan hanya menjadi pekerjaan rumah melainkuan juga gambaran kedepan akan komitmen Kapolri terpilih untuk menegakan HAM secara utuh. Â Â
Keempat, Banyaknya Anggota Polri yang menduduki jabatan publik pada instansi Negara lainnya. KontraS mencatat dari kurun waktu juni 2019 hingga Mei 2020 terdapat 30 anggota Polri yang menduduki jabatan publik diluar lingkungan Polri. Realita ini menggambarkan adanya pola kecenderungan Polri yang tidak ketat dalam menegaskan tupoksi sebagai penegak hukum yang dilekati prinsip kekuatan, profesionalitas, netralitas, dan imparsialitas.
Artinya anggota Polri tidak boleh menduduki jabatan publik yang tidak berkaitan dengan penegakan hukum ataupun jika berkaitan tidaklah elok dalam etika politik kelembagaan. Terlebih dalam Pasal 28 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyatakan bahwa anggota Polri dapat menjabat jabatan diluar kepolisian selama ia telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Pada praktiknya ini akan berbahaya, sebab akan timbul konflik kepentingan yang menyeret antar kelembagaan.
Memahami praktik ini setidaknya harus dipahami bagaimana pula kinerja anggota Polri yang menjabat pada jabatan publik yang juga dipertanyakan prestasinya, seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan Jenderal Polisi aktif Firli Bahuri ataupun Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan. Padahal menurut William E. Schluter dalam bukunya yang berjudul Soft Corruption: How Unethical Conduct Undermines Good Government and What to Do About It Ia menegaskan bahwa rangkap jabatan dapat menciptakan konflik kepentingan dan menimbulkan banyak keburukan terkait dengan patronasi.
Hal ini dapat menciptakan pandangan bahwa dengan demikian tercipta budaya politik patronase dimana orang yang memiliki kualifikasi dibidang yang menjadi kebutuhan lembaga tersebut tidak dapat terpenuhi. Terlebih menurut KontraS penempatan anggota Kepolisian di luar struktur organisasi Polri tidak hanya dapat mengganggu independensi, namun juga berimplikasi pada meluasnya pengaruh dan kuasa Polri dalam tatanan sosial-ekonomi yang merupakan salah satu hal yang tidak boleh terjadi terhadap lembaga di sektor keamanan.
Kelima, Menurunnya kinerja terhadap pemberantasan korupsi. Melandaskan pada Daftar Isian Pelaksanaan Aanggaran petikan tahun 2019 yang diterbitkan Kementerian Keuangan, setiap Kepolisian di tingkat daerah maupun pusat memiliki target kasus yang harus diselesaikan diantaranya pada tingkat pusat Bareskrim memiliki target 25 kasus, ditingkat daerah seperti Polda memiliki target 20 kasus, dan Polres memiliki target 1 kasus. Sehingga target Kepolisian per tahun sebanyak 1.205 kasus.
Dari target tersebut, berdasarkan temuan ICW sepanjang tahun 2019, Polri hanya dapat menyelesaikan 100 kasus korupsi dengan 209 tersangka. Catatan ini menurun dari dua tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2018 kepolisian mencatat menyelesaikan 162 kasus dengan 337 tersangka serta tahun 2019 kepolisian mencatat menyelesaikan 216 kasus dengan 436 jumlah tersangka. Angka ini menunjukan adanya kemunduran dalam hal penegakan kasus korupsi oleh Polri. Hal ini jelas menjadi tantangan kapolri terpilih kedepan bagaimana mengatur strategi menyusun instrument hukum dilingkungan Polri yang pro atas penegakan korupsi serta peningkatan kualitas sumber daya manusia terkhusus kepada penyidik yang menangani kasus korupsi dilingkungan Polri.
Hal ini justru dinilai oleh publik sebaliknya, pasalnya institusi Polri justru tercoreng akibat anggota Polri yang justru bekerja sama dengan koruptor Joko S Tjandra untuk memudahkan urusannya, bahkan melindungi dan bukan menangkap Joko S Tjandra, mereka adalah Prasetijo Utomo Mantan Kakorwas PPNS Polri yang tersangkut kasus korupsi Penerbitan Surat Jalan dan Keterangan Bebas Covid-19 untuk Koruptor kelas kakap Joko S Tjandra dan Napoleon Bonaparte mantan Kadivhubinter Polri yang tersangkut kasus korupsi Penghapusan red notice Joko S Tjandra.
Ini menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah bagi Kepolisian untuk menegakan integritas dan profesionalitas dalam kerja pengayoman masyarakat kedepan. Selain itu Presiden dalam memilih calon Kapolri haruslah menegaskan komitmen pembenahan internal institusi Polri. Setidaknya Presiden menetapkan indikator kompetensi, rekam jejak, dan integritas dalam menentukan calon Kapolri baru selain melakukan penyaringan masukan dari masyarakat maupun Organisasi Masyarakat yang mengawal isu kepolisian dan keamanan masyarakat.
Selain itu internal Polri juga harus menegaskan integritasnya, misal melakukan pengawasan pada anggota Polri terkhusus pejabat perwira dilingkungan Polri melalui laporan harta kekayaannya (Laporan Kekayaan Penyelengara Negara (LHKPN)). Ini penting karena berdasarkan penelusuran ICW pada pertengahan tahun 2019 yang lalu, dari 29.526 anggota Polri yang wajib lapor, 12.779 diantaranya belum menyampaikan LHKPN ke KPK. Padahal di satu sisi, Polri telah memiliki PerKap Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian LHKPN di lingkungan Kepolisian yang semestinya dapat dimaksimalkan. Hal tersebut juga merupakan penegasan pelaksanaan daripada Surat Telegram Nomor: ST/30/XI/HUM.3.4./2019/DIVPROPAM yang berisi peraturan disiplin anggota Polri, kode etik, profesi Polri, dan kepemilikan barang mewah oleh pegawai negeri di Polri. Â
Kedepan juga harus dilakukan pembenahan aturan untuk mendukung pelaksanaan hal ini. Misal melakukan revisi atas Keputusan Kapolri No. Kep/1059/X/2017, hal ini karena aturan ini tidak memasukkan beberapa jabatan strategis dilingkungan Polri yang semestinya wajib melakukan laporan LHKPN, misalnya jabatan Wakil Kepala Kepolisian Daerah. Persoalan ini muncul ketika salah seorang perwira tinggi Polri Karyoto yang sebelumnya merupakan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta terpilih menjadi Deputi Penindakan KPK. Saat itu KPK menyebutkan tidak ada kewajiban bagi Wakapolda untuk melaporkan LHKPN berdasarkan aturan tersebut.
Perlu juga dilakukan pembenahan dalam hal pemahaman dan perlindungan HAM oleh aparat kepolisian. Hal ini dapat dimulai dengan mencabut aturan yang ada dilingkungan Polri yang membatasi kebebasan sipil masyarakat, hal ini karena kewenangan tersebut terletak pada pembentuk UU dan bukan Polri sebagai pelaksana UU. Lebih jauh pendekatan yang egaliter dan humanis dalam bingkai profesionalitas juga penting dilakukan Polri dalam menangani ruang ruang aspirasi publik seperti aksi massa. Kekerasan atas nama tugas kepolisian harus segera dihentikan dan Polri harus bisa memastikan proses hukum bagi angotanya yang melakukan pelanggaran penggunaan kekerasan yang berlawanan dengan Perkap Nomor 01 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.
Mengenai pembenahan pada penanganan kasus korupsi setidaknya pemberian efek jera (sanksi) bagi pelaku korupsi menekankan basis beberapa cara diantaranya Pemidanaan penjara dengan sanksi maksimal, upaya pemulihan kerugian keuangan Negara. Cara-cara tersebut dapat terealisasikan dengan menggunakan instrument hukum yang beriringan yakni UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, hal ini belum tampak dikerjakan maksimal oleh Kepolisian, temuan ICW menunjukkan, sepanjang tahun 2019, Kepolisian tidak menggunakan UU TPPU untuk menjerat pelaku korupsi. Kedepan perlu langkah tegas dan visioner dalam pembenahan institusi Polri melalui suksesi kepemimpinan Kapolri terpilih dengan menegaskan aspek penegakan hukum yang berintegritas, egaliter, humanis, dan tegas.
Bagas Wahyu Nursanto
Pemerhati Hukum, Politik, Kebijakan Publik, terlebih HAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H