Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.Â
Keadaan tertentu di sini adalah sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya. Misalnya, pada waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang di atas, sebenarnya korupsi dapat dicegah dengan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya seperti hukuman mati dalam ketentuan pasal diatas.Â
Satu-satunya cara untuk menanggulangi masalah korupsi yaitu dengan memberikan hukuman seberat-beratnya, salah satunya yaitu dengan diberikan hukuman mati. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pada umumnya hampir tidak ada Hakim yang menjatuhkan pidana mati karena dikaitkan dengan alasan yang memberatkan maupun meringankan dan faktor meringankannya jauh lebih dominan dilihat dari batas hukuman tertinggi, pendidikan.
Hingga saat ini, banyak perangkat hukum yang tidak bermuara pada keadilan dan tidak melindungi rakyat. Secara sadar, hukum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena diperlakukan istimewa. Merajalelanya korupsi adalah karena faktor perangkat hukumnya lemah.Â
KESIMPULANÂ
Penulis menyimpulkan bahwa dalam hukum positif kita baik ketentuan yang umum atau yang khusus masih terdapat adanya ancaman hukuman mati kepada pelaku kejahatan, misalnya kejahatan korupsi, khususnya dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu disini adalah sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan misalnya pada saat terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.Â
Dalam konteks pelaksanaan Hak Asasi Manusia, sebenarnya penulis kurang setuju dilaksanakan eksekusi mati, namun jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, narkotika, dan pembunuhan berencana, eksekusi mati harus dilaksanakan, tentunya dengan menyatakan bahwa pelakunya harus benar-benar terbukti bersalah dengan segala saksi dan barang bukti yang sudah diperiksa dan diajukan ke sidang pengadilan.Â
Tidak ada yang lebih bertanggungjawab selain pemerintah yang berkuasa untuk menghilangkan budaya korupsi di negara Indonesia. Apalagi Indonesia punya aparat penegak hukum dan punya undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi ini. Kini tinggal bagaimana aparat hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan aturan yang telah ada melaksanakan tugas untuk menghantarkan Indonesia menjadi negara yang bebas korupsi dengan menjatuhkan hukuman yang amat berat, tegas, dan tanpa pandang bulu bagi para koruptor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H