Seperti halnya untuk kedai kopi yang biasanya menjual kopi susu dengan susu sapi, kini ada varian lain seperti "susu" oat, kedelai, dan almond atau mereka menjual kukis tanpa menggunakan tepung terigu karena mengandung gluten.
Tapi, apakah kebanyakan dari pasar menyadari untuk siapa target market yang "seharusnya" mengonsumsi pangan alternatif itu? Ya, kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tren yang sedang terjadi.Â
Ada beberapa orang disekitar saya, ketika mereka membeli produk itu, mereka berpikir bahwa alternatif itu lebih sehat. Kalau saya ingat-ingat, dari 5 orang yang saya tanya, hanya 2 yang memahami bahwa produk bebas gluten cocok untuk orang yang mempunyai penyakit Celiac dan "susu" alternatif bagi mereka yang memiliki intoleransi laktosa.Â
Ya, mereka adalah teman-teman saya yang satu fakultas dengan saya. Jadi secara latar belakang ilmu sama dan memiliki pemahaman yang sama.
Kemudian apakah informasi itu hanya disimpan untuk saya sendiri? Tentu tidak. Saya juga menyampaikannya kepada orang terdekat, seperti keluarga dan saudara saya.Â
Karena kalau saya beritahukan secara umum, pada akhirnya bisa "diamuk" massa saat itu hahaha. Nah, karena sudah banyak informasi yang beredar mengenai fakta dari makanan bebas gluten dan "susu" alternatifnya ini ditujukan kepada siapa, izinkan saya untuk turut serta menjelaskannya untuk kita semua yang membaca artikel ini.Â
Artikel ini akan cukup panjang karena menurut saya, hal ini baik untuk diperoleh untuk kita semua, supaya kita menjadi lebih kritis terhadap tren baru yang mungkin akan muncul di kemudian hari. Mari kita mulai !
Miskonsepsi tentang Makanan Bebas Gluten dan Susu Nabati
Saya akan mulai dari permasalahan pertama, yaitu adanya miskonsepsi terhadap makanan bebas gluten dan susu nabati itu "lebih menyehatkan".Â
Dalam beberapa tahun terakhir, popularitas makanan bebas gluten dan susu nabati semakin meningkat, termasuk di Indonesia. Produk-produk ini sering dianggap sebagai pilihan yang lebih sehat dibandingkan makanan dengan gluten atau susu sapi.Â
Namun, pemahaman yang kurang tepat sering kali menjadi penyebab munculnya miskonsepsi di kalangan konsumen. Nyatanya, klaim "lebih sehat" ini kurang tepat karena menurut saya, saat itu konteksnya sangat berlainan.