Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Auditor - Saya merupakan seorang lulusan Bioteknologi dengan cabang ilmu teknologi pangan. Saya sangat menyukai perkembangan industri pangan, namun tidak hanya sebatas itu saja tetapi merambah ke dunia farmasi dan keamanan pangan.

Saya merupakan seorang praktisi di bidang keamanan pangan dan sistem manajemen mutu yang ingin berbagi pengetahuan yang saya miliki untuk membangkitkan minat literasi kita. Saya memiliki latar belakang pendidikan ilmu Bioteknologi dengan cabang ilmu Teknologi Pangan. Konten yang akan saya buat, tidak akan jauh dari informasi mengenai dunia sains dan pangan. Keinginan saya untuk berperang melawan informasi hoax dan informasi sains yang palsu (pseudosains) mendorong saya untuk berkarya melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Makanan Tradisional Kita yang Mulai Terpinggirkan

29 Desember 2024   14:08 Diperbarui: 30 Desember 2024   08:53 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Endog Gludug | Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi

Kali ini saya ingin berbagi cerita pengalaman saya menikmati camilan khas Jogja yang saya nikmati sewaktu di Parakan, Temanggung. Saat itu, saya memiliki agenda karena sedang melakukan audit sebuah pabrik yang ada di kota Boyolali. Mengapa saya bisa di Parakan? karena saat itu saya sedang berwisata selesai bekerja, mumpung sekalian mengunjungi keluarga dari kerabat kerja.

Saat saya bertamu, saya disuguhkan suatu hidangan gorengan yang umum saya jumpai, seperti pisang molen, tahu goreng, bakwan, dan tempe mendoan. Setelah mencicipi satu per satu dan menikmati segelas kopi robusta khas Temanggung, tiba-tiba si pemilik rumah mengeluarkan hidangan yang sangat unik, bentuknya bulat putih, dibalut dengan adonan tepung yang digoreng layaknya seperti pisang goreng.

Lalu saya bertanya, hidangan apa itu? Lalu kerabat saya menjawab bahwa itu namanya Endog Gludug. Saya merasa lucu dan aneh, kok bisa itu disebut Endog Gludug dan memang sih warnanya putih bersih, dan ya, saya tidak tahu sama sekali tentang makanan itu. Akhirnya dari pada penasaran, saya menikmati camilan itu dan ternyata enak. 

Jadi, Endog Gludug ini terbuat dari singkong yang dikukus terlebih dahulu hingga empuk, kemudian ditumbuk hingga halus. Singkong yang sudah halus, kemudian dicampur dengan parutan kelapa dan diaduk sampai merata dengan ditambahkan gula dan garam. Adonan singkong dan kelapa itu kemudian dibuat menyerupai bola. Bola ini dibalut dengan adonan tepung layaknya pisang goreng dan digoreng hingga sedikit kecokelatan. 

Saat saya mengunyah camilan ini, sensasi yang saya rasakan itu, ibarat sedang menikmati Gethuk yang digoreng dan dibalut dengan kulit yang renyah. Enak sekali! Ini adalah makanan tradisional dan sayangnya kenapa saya bisa tidak tahu makanan ini? Meskipun saya senang akhirnya bisa menikmati hidangan tradisional ini, tetapi saya kesal, kok bisa, saya tidak mengetahui makanan ini?

Saya sangat menyukai makanan tradisional dan paling tidak saya ingin bisa menikmati makanan tersebut. Tapi, kenapa makanan tradisional kita sangat tidak populer? 

Alasan Makanan Tradisional Mulai Terpinggirkan

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan kuliner yang luar biasa. Dari Sabang hingga Merauke, setiap daerah memiliki makanan khas yang mencerminkan budaya, tradisi, dan sejarahnya. 

Namun, sayangnya, makanan tradisional Indonesia tidak sepopuler yang seharusnya, terutama di kalangan generasi muda. Coba saja, apakah ada yang mengenal makanan tradisional seperti Pudak, Gethuk, Cenil, Gatot, Tiwul, Endog Gludug, Dangke, Engkak, atau Doclang? Mungkin untuk kita yang tinggal di tempat asal camilan ini masih mengenalnya, tapi bagaimana di luar sana? Apakah mereka mengenalnya? Belum tentu, termasuk saya yang baru kemarin mengenal makanan tradisional Endog Gludug itu.

Modernisasi, globalisasi, dan perubahan gaya hidup menjadi tantangan besar dalam menjaga eksistensi makanan khas daerah. Kenyataannya, kita, bahkan generasi saya, sebagian masih mau menikmati makanan tradisional tersebut. Mirisnya, minim sekali minat kawula muda ini untuk mau menikmati makanan tradisional ini. Mengapa demikian?

Makanan Tradisional: Kekayaan Budaya yang Terabaikan

Makanan tradisional merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya suatu bangsa. Di Indonesia, setiap daerah memiliki hidangan khas yang menggambarkan ciri geografis dan kearifan lokal. Sebut saja gudeg dari Yogyakarta, pempek dari Palembang, hingga seruit dari Lampung.

Namun, dalam survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2020), konsumsi makanan tradisional mengalami penurunan sebesar 25% dalam dua dekade terakhir. Generasi muda lebih sering memilih makanan internasional seperti pizza, sushi, atau burger, yang dianggap lebih modern dan praktis (Widiastuti, 2019).

Globalisasi memengaruhi preferensi makanan masyarakat Indonesia. Restoran cepat saji yang menawarkan makanan instan mendominasi kota-kota besar. Hal ini membuat makanan tradisional kalah saing karena proses memasaknya yang sering kali memakan waktu lama dan dianggap "tidak praktis."

Menurut penelitian Suhardjo (2016), globalisasi juga membawa budaya kuliner internasional ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Restoran yang menyajikan makanan Barat atau Asia Timur mudah ditemukan, sementara makanan tradisional terkadang hanya hadir pada acara-acara adat atau perayaan tertentu.

Stigma dan Kurangnya Branding

Selain globalisasi, stigma terhadap makanan tradisional turut memengaruhi popularitasnya. Banyak generasi muda menganggap makanan tradisional sebagai sesuatu yang kuno dan kurang relevan dengan gaya hidup modern. Hal ini diperparah oleh kurangnya branding yang menarik.

Contoh sukses branding makanan tradisional dapat dilihat pada kimchi dari Korea Selatan, yang kini dikenal secara global berkat strategi pemasaran yang melibatkan industri hiburan. Sayangnya, makanan tradisional Indonesia jarang mendapatkan promosi serupa (Prasetyo, 2020).

Selain itu, seberapa banyak tayangan televisi atau layar lebar bioskop lokal yang "mempromosikan" makanan tradisional dalam setiap acaranya? Kita bisa membandingkan tayangan dari drama Korea, banyak dari mereka melakukan adegan mengonsumsi makanan dari negaranya, seperti Ayam goreng dengan saus Gochujang, Jjajangmyeon, Tteok-bokki, dan Eomuk. Saat menonton filmnya, banyak dari kita menjadi tertarik untuk menikmati makanan tersebut. Belum lagi makanan trend di sana, kemudian dibawa ke Indonesia, alhasil menjadi viral dan semua orang ingin mencobanya.

Bagaimana dengan makanan tradisional kita? Ada banyak loh, bukan cuman rendang atau papeda, tapi masih banyak yang lainnya. Ada kah tayangan moderen saat ini yang menampilkan seseorang sedang duduk dan menikmati makanan tradisional seperti Cenil, Gatot, Tiwul? Atau ada yang sedang menikmati Dangke? 

Bagaimana? Apakah rasa penasaran kita mulai tergelitik tentang makanan tradisional kita "terancam" punah karena tidak dilestarikan dan tidak dikenal?

Selain keresahan yang saya rasakan, di sisi lain mungkin beberapa faktor utama yang membuat makanan tradisional sulit bersaing di era modern, jadi saya mencoba menyeimbangkan setiap kemungkinan yang ada, dan mengapa makanan tradisional kita seperti lambat untuk berkembang:

Proses Memasak yang Rumit

Banyak makanan tradisional membutuhkan waktu lama untuk memasak, seperti rendang yang harus dimasak selama berjam-jam untuk mendapatkan cita rasa terbaiknya. Selain itu, aktivitas fisik yang dilakukan cukup menjadi salah satu alasan untuk "mager" atau malas gerak ketika kita ingin menikmati hidangan tersebut.

Padahal, kita bisa menggunakan alat bantu yang sudah ada, seperti food processor, atau alat pelumat lainnya jika memang membutuhkan aktivitas fisik seperti menumbuk. Sebenarnya, pembuatan camilan tradisional ini bisa mengadaptasi dengan moderenisasi yang sedang terjadi.

Minimnya Edukasi

Sebagian besar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak memahami nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam makanan tradisional. Salah satunya yang saya lakukan saat ini, yaitu saya ingin membangkitkan rasa cinta kita terhadap camilan tradisional yang kita miliki dan membantu memperkenalkannya kepada teman atau tamu kita yang berkunjung ke daerah masing-masing. Bukan hanya diajak makan bakso dan nasi goreng saja.

Kurangnya Eksposur di Media Sosial

Di era digital, media sosial menjadi alat utama untuk mempopulerkan sesuatu. Sayangnya, makanan tradisional masih minim eksposur dibandingkan makanan modern. Mungkin karena bentuk, warna, dan rasa yang tidak populer menjadikannya sebagai konten makanan yang "kurang seksi" untuk dipromosikan. Stigma negatif bahwa makanan tradisional itu kuno mungkin bisa menjadi salah satu penyebabnya.

Harga yang Tidak Kompetitif

Beberapa makanan tradisional memiliki harga yang relatif mahal karena bahan baku dan proses memasaknya, sehingga dianggap kurang ekonomis dibandingkan makanan cepat saji. 

Selain itu, karena pengrajin atau pembuat makanan tradisional ini sedikit, maka harga jualnya menjadi cukup mahal. Tetapi tidak juga, kok. Coba kita makan di restoran mewah dengan porsi sedikit atau menikmati daging steak sekitar 200 gram dengan harga 300 ribu rupiah, tetap ada yang mau beli. 

Tapi kalau berbicara makanan tradisional, dengan bentuk yang kurang menarik, warna tidak mencolok, kesan makanan "ndeso" yang membuat apabila makanan tradisional ini harganya tidak "worth it" atau tidak sepadan, ya ada akhirnya menjadi tidak menarik. Sungguh dilema. 

Strategi untuk Meningkatkan Popularitas Makanan Tradisional

Meski menghadapi tantangan, tentu saja, makaanan tradisional ini masih memiliki peluang untuk membuat makanan tradisional Indonesia menjadi populer. Berikut beberapa strategi yang dapat dilakukan:

Inovasi Produk

Mengadaptasi makanan tradisional agar sesuai dengan selera dan gaya hidup modern tanpa menghilangkan keasliannya. Misalnya, menciptakan rendang dalam kemasan siap saji atau memodifikasi es cendol menjadi hidangan penutup ala gelato. Sekarang kan sudah ada rasa klepon, mari kita padankan misal dengan menambahkan Dangke untuk memberikan rasa "keju" di gelatonya. Unik bukan?

Memanfaatkan Media Sosial

Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dapat digunakan untuk mempromosikan makanan tradisional dengan cara yang kreatif. Video pendek tentang proses memasak atau menceritakan tentang makanan tradisional tersebut, baik dari sejarahnya, review tekstur, rasa, aroma, dan di mana asal camilan tersebut untuk menarik perhatian kawula muda.

Kolaborasi dengan Influencer

Melibatkan influencer kuliner untuk mempromosikan makanan tradisional Indonesia ke audiens yang lebih luas. Influencer memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik, terutama di kalangan anak muda. Jadi ini bisa menjadi salah satu target pemasaran yang cukup menjanjikan.

Dukungan Pemerintah dan Swasta

Pemerintah dapat memberikan insentif kepada pelaku usaha kuliner tradisional, seperti pelatihan, bantuan modal, atau akses ke pasar global. Dukungan swasta juga penting, terutama dalam hal pengemasan dan distribusi produk. Pengembangan branding dan pemasaran juga menjadi salah satu fokus lainnya untuk menambah kemungkinan makanan tradisional kita dapat dijangkau secara nasional atau bahkan internasional.

Festival Kuliner Tradisional

Mengadakan festival kuliner yang menampilkan makanan khas dari berbagai daerah dapat menjadi cara efektif untuk memperkenalkan makanan tradisional kepada masyarakat luas. Festival ini juga dapat menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.

Kesimpulan

Makanan tradisional Indonesia adalah warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Meski menghadapi tantangan modernisasi, stigma, dan kurangnya promosi, peluang untuk meningkatkan popularitas makanan khas daerah masih terbuka lebar.

Dengan inovasi, strategi pemasaran yang efektif, dan kolaborasi, makanan tradisional Indonesia dapat menjadi bagian penting dari identitas kuliner dunia. Mari kita bersama-sama menjaga warisan ini agar tetap hidup dan dikenal oleh generasi mendatang.

Daftar Pustaka

  1. Badan Pusat Statistik. (2020). Tren Konsumsi Makanan Tradisional di Indonesia. Jakarta: BPS.
  2. CNN Travel. (2017). "The World's 50 Best Foods." Retrieved from https://edition.cnn.com/travel.
  3. Prasetyo, D. (2020). Inovasi UMKM dalam Mengangkat Popularitas Makanan Tradisional. Surabaya: Universitas Airlangga.
  4. Suhardjo, R. (2016). Kuliner Nusantara dan Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Andi Offset.
  5. Widiastuti, A. (2019). "Peran Gaya Hidup Modern dalam Perubahan Pola Konsumsi Makanan Tradisional." Jurnal Gizi dan Pangan, 14(3), 235-243.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun