Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Auditor - Saya merupakan seorang lulusan Bioteknologi dengan cabang ilmu teknologi pangan. Saya sangat menyukai perkembangan industri pangan, namun tidak hanya sebatas itu saja tetapi merambah ke dunia farmasi dan keamanan pangan.

Saya merupakan seorang praktisi di bidang keamanan pangan dan sistem manajemen mutu yang ingin berbagi pengetahuan yang saya miliki untuk membangkitkan minat literasi kita. Saya memiliki latar belakang pendidikan ilmu Bioteknologi dengan cabang ilmu Teknologi Pangan. Konten yang akan saya buat, tidak akan jauh dari informasi mengenai dunia sains dan pangan. Keinginan saya untuk berperang melawan informasi hoax dan informasi sains yang palsu (pseudosains) mendorong saya untuk berkarya melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Makanan Tradisional Kita yang Mulai Terpinggirkan

29 Desember 2024   14:08 Diperbarui: 30 Desember 2024   08:53 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Endog Gludug | Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi

Namun, dalam survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2020), konsumsi makanan tradisional mengalami penurunan sebesar 25% dalam dua dekade terakhir. Generasi muda lebih sering memilih makanan internasional seperti pizza, sushi, atau burger, yang dianggap lebih modern dan praktis (Widiastuti, 2019).

Globalisasi memengaruhi preferensi makanan masyarakat Indonesia. Restoran cepat saji yang menawarkan makanan instan mendominasi kota-kota besar. Hal ini membuat makanan tradisional kalah saing karena proses memasaknya yang sering kali memakan waktu lama dan dianggap "tidak praktis."

Menurut penelitian Suhardjo (2016), globalisasi juga membawa budaya kuliner internasional ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Restoran yang menyajikan makanan Barat atau Asia Timur mudah ditemukan, sementara makanan tradisional terkadang hanya hadir pada acara-acara adat atau perayaan tertentu.

Stigma dan Kurangnya Branding

Selain globalisasi, stigma terhadap makanan tradisional turut memengaruhi popularitasnya. Banyak generasi muda menganggap makanan tradisional sebagai sesuatu yang kuno dan kurang relevan dengan gaya hidup modern. Hal ini diperparah oleh kurangnya branding yang menarik.

Contoh sukses branding makanan tradisional dapat dilihat pada kimchi dari Korea Selatan, yang kini dikenal secara global berkat strategi pemasaran yang melibatkan industri hiburan. Sayangnya, makanan tradisional Indonesia jarang mendapatkan promosi serupa (Prasetyo, 2020).

Selain itu, seberapa banyak tayangan televisi atau layar lebar bioskop lokal yang "mempromosikan" makanan tradisional dalam setiap acaranya? Kita bisa membandingkan tayangan dari drama Korea, banyak dari mereka melakukan adegan mengonsumsi makanan dari negaranya, seperti Ayam goreng dengan saus Gochujang, Jjajangmyeon, Tteok-bokki, dan Eomuk. Saat menonton filmnya, banyak dari kita menjadi tertarik untuk menikmati makanan tersebut. Belum lagi makanan trend di sana, kemudian dibawa ke Indonesia, alhasil menjadi viral dan semua orang ingin mencobanya.

Bagaimana dengan makanan tradisional kita? Ada banyak loh, bukan cuman rendang atau papeda, tapi masih banyak yang lainnya. Ada kah tayangan moderen saat ini yang menampilkan seseorang sedang duduk dan menikmati makanan tradisional seperti Cenil, Gatot, Tiwul? Atau ada yang sedang menikmati Dangke? 

Bagaimana? Apakah rasa penasaran kita mulai tergelitik tentang makanan tradisional kita "terancam" punah karena tidak dilestarikan dan tidak dikenal?

Selain keresahan yang saya rasakan, di sisi lain mungkin beberapa faktor utama yang membuat makanan tradisional sulit bersaing di era modern, jadi saya mencoba menyeimbangkan setiap kemungkinan yang ada, dan mengapa makanan tradisional kita seperti lambat untuk berkembang:

Proses Memasak yang Rumit

Banyak makanan tradisional membutuhkan waktu lama untuk memasak, seperti rendang yang harus dimasak selama berjam-jam untuk mendapatkan cita rasa terbaiknya. Selain itu, aktivitas fisik yang dilakukan cukup menjadi salah satu alasan untuk "mager" atau malas gerak ketika kita ingin menikmati hidangan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun