Saat kemarin saya menulis tentang dilema makanan tradisional kita yang kurang populer, tiba-tiba persoalan baru muncul mengenai umur simpan dari makanan tersebut. Jadi, saya teringat saat itu memiliki klien yang membutuhkan pengembangan produk dan klien saya mengeluhkan mengenai produknya yang hanya bisa bertahan 1 bulan saja (dalam keadaan terbungkus rapat). Beliau menginginkan produknya dapat bertahan lama meskipun tidak di dalam pendingin dan harapannya bisa bertahan paling tidak sampai 3 bulan.
Produknya saat itu adalah wingko babat dan pemilik usaha tersebut menginginkan masa simpan yang lebih lama karena supaya dapat diedarkan diluar kota. Misalnya dapat dikirim ke Jakarta, Bali, hingga ke Sumatera. Persoalan yang dihadapi sebenarnya masalah umum yang terjadi di produk seperti wingko babat, yaitu mulai keluar minyak, berbau tengik, bahkan hingga berjamur.
Setelah perjalanan riset dan pengembangan yang cukup lama, sekitar 3 bulan, saya bersama tim berhasil untuk mengurangi masalah mutunya tetapi belum mencapai ketahanan produknya yang bisa bertahan lebih dari 3 bulan. Permasalahan utama kenapa produknya tidak bertahan lama, karena setelah 1 bulan produknya mulai jamuran. Klien saya ini dia bersikukuh bahwa tidak ingin menggunakan bahan pengawet karena takut mendapat stigma jelek dari pelanggannya.
Mau bagaimana pun, kita juga tidak bisa berbuat banyak apabila klien tidak ingin menggunakan tambahan pengawet dalam makanannya, karena faktor kesehatan. Jadi, pada akhirnya, kami hanya sampai pada tahap mengurangi penyebab keluarnya minyak dari produknya supaya tidak cepat tengik. Jadi ini merupakan salah satu contoh, dari beberapa klien saya yang tidak mau menggunakan bahan pengawet karena stigma bahan pengawet ini sudah tidak baik.
Dilemanya, bahan pengawet makanan sering kali menjadi perbincangan yang kontroversial. Salah satu jenis pengawet yang sering disorot adalah nitrit dan nitrat, yang digunakan untuk menjaga daya tahan daging olahan seperti sosis, ham, dan bacon. Ada banyak klaim bahwa bahan ini dapat memicu kanker. Padahal, tujuan penambahan pengawet supaya makanan tersebut dapat aman dikonsumsi karena menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada produk yang kita buat.Â
Jangan samakan dengan pengawet boraks atau formalin ya, karena BPOM sendiri sudah mengatur penggunaan bahan pengawet. Bagi pembaca yang ingin tahu, bisa melihatnya di PerBPOM no 11 tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan. Di dalamnya terdapat kategori makanan yang cocok untuk menggunakan pengawetnya, tersedia perhitungan untuk mendapatkan takaran yang aman dan tepat apabila ingin menggunakan bahan pengawet tersebut.
Jadi, bahan pengawet adalah salah satu komponen yang sering digunakan dalam bahan tambahan pangan untuk memperpanjang umur simpan makanan. Namun, keberadaan bahan pengawet memicu kekhawatiran di masyarakat tentang dampaknya terhadap kesehatan, khususnya potensi hubungan antara bahan pengawet dan kanker.
Apakah bahan pengawet benar-benar menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan?Â
Apa Itu Bahan Pengawet?
Bahan pengawet adalah zat kimia yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mencegah pembusukan akibat pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Penggunaan bahan pengawet membantu memperpanjang umur simpan makanan, menjaga kualitas, dan mengurangi kerugian ekonomi akibat makanan yang rusak. Secara garis besar, bahan pengawet terbagi menjadi dua jenis:
Bahan Pengawet Alami:
Digunakan sejak zaman dahulu, seperti garam, gula, dan cuka. Contohnya adalah ikan asin, acar yang menggunakan garam dan cuka untuk mengawetkan bahan pangan atau dibuat seperti manisan buah yang tujuannya untuk mengurangi kadar air di bahan dan produk pangan tersebut. Konsentrasi gula, cuka, dan garam yang pekat itu mampu untuk menyerap kadar air dari bahan pangan tersebut, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme
Bahan Pengawet Sintetis:
Merupakan bahan kimia buatan, seperti natrium benzoat, nitrat, dan sulfit, yang sering ditemukan pada makanan olahan seperti sosis, daging kaleng, dan minuman ringan. Bahan ini biasa ditambahkan untuk pangan-pangan olahan agar dapat bertahan lama terutama ke tempat yang jauh dari pabrik.
Sebetulnya, tidak semua bahan pengawet bersifat berbahaya jika digunakan dalam jumlah yang sesuai. Otoritas kesehatan seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan FDA menetapkan Acceptable Daily Intake (ADI), yaitu batas konsumsi aman untuk setiap bahan tambahan pangan, termasuk bahan pengawet. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kita bisa melihatnya dalam PerBPOM no 11 tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan.
Sebagai contoh, natrium benzoat memiliki batas ADI sebesar 5 mg per kilogram berat badan. Jika digunakan sesuai aturan, risiko terhadap kesehatan dapat diminimalkan. Namun, masalah muncul jika konsumen mengonsumsi makanan olahan secara berlebihan, sehingga paparan bahan pengawet melampaui ambang batas aman.
Langkah Bijak untuk Mengurangi Risiko
Sebetulnya, penyebab risiko kanker itu ada banyak faktor pendukungnya, karena genetik kanker itu sudah ada di dalam diri kita. Tapi, genetik itu bisa di "non-aktifkan" apabila kita menjalani hidup yang sehat. Nah, untuk mengurangi potensi risiko kesehatan akibat bahan pengawet, konsumen dapat mengambil beberapa langkah berikut:
Periksa Label Kemasan
Membaca label makanan kemasan sangat penting untuk mengetahui bahan tambahan pangan yang digunakan. Hindari makanan dengan kandungan bahan pengawet yang tinggi atau tidak dikenal. Tentunya kita harus mengedukasi diri kita dan membiasakan untuk melihat label kemasan. Pada label kemasan sudah tersedia bahan dasar (ingredients) dan nilai gizi (nutrition facts) untuk kita baca dan pahami, bahwa apakah makanan itu cocok untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian atau tidak.Â
Konsumsi Makanan Segar
Pilihlah makanan segar seperti sayuran, buah-buahan, dan daging tanpa pengawet. Mengurangi konsumsi makanan olahan dapat membantu mengurangi paparan bahan kimia sintetis. Mudahnya, jika pernah mendengar istilah whole foods, nah seperti itu kita mengonsumsi makanan yang utuh, tidak melalui proses pengolahan yang panjang. Bukan berarti istilah makanan segar ini dikonsumsi secara mentah ya, tapi kalau untuk buah ya pastinya bisa langsung dimakan.
Masak Makanan Sendiri
Memasak makanan di rumah memungkinkan Anda untuk mengontrol bahan yang digunakan, termasuk menghindari bahan pengawet sintetis. Tentu saja ketika kita memasak makanan sendiri, kita hanya memasak untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri atau untuk keluarga. Tidak ada makanan yang terbuang sia-sia dan yang pasti tidak akan menggunakan bahan pengawet. Kecuali, memasak menggunakan bahan pangan dan bumbu yang sudah jadi (buatan pabrik) kemungkinan besar sudah ada bahan pengawet di dalamnya.
Edukasi Diri Sendiri
Menambah pengetahuan tentang bahan tambahan pangan, termasuk bahan pengawet, membantu konsumen membuat keputusan yang lebih bijak saat berbelanja makanan. Maka dari itu, kita juga memiliki pengetahuan mengenai pangan seperti apa yang baik untuk kesehatan. Oleh karena itu, saya sudah membuat dan membahas di artikel-artikel sebelumnya yang diharapkan dapat menambah wawasan bagi kita yang membaca.
Konsumsi dengan Moderasi
Jika memilih makanan olahan, pastikan konsumsinya tidak berlebihan. Moderasi adalah kunci untuk menjaga kesehatan jangka panjang, dan menurut saya, pangan olahan hanya dijadikan sebagai makanan sampingan, bukan sebagai makanan yang dikonsumsi layaknya seperti makanan pokok. Bukan berarti tidak bagus, akan tetapi pasti ada gizi yang dikorbankan selama proses pembuatannya.
Kesimpulan
Bahan pengawet, khususnya yang bersifat sintetis, dapat berkontribusi pada masalah kesehatan kita jika dikonsumsi dalam jumlah besar atau digunakan secara tidak tepat. Senyawa seperti nitrosamin dari nitrit, benzena dari natrium benzoat, atau stres oksidatif yang dipicu oleh bahan tambahan pangan tertentu, menunjukkan potensi bahaya bahan pengawet bagi kesehatan manusia.
Namun, risiko ini dapat diminimalkan dengan mematuhi batas aman yang telah ditetapkan oleh otoritas kesehatan, memilih makanan segar, dan mengonsumsi makanan olahan secara moderat. Edukasi konsumen juga sangat penting untuk memastikan bahwa bahan pengawet digunakan dengan aman dan sesuai aturan.
Dengan langkah-langkah pencegahan yang tepat, kita dapat menjaga kesehatan sekaligus tetap menikmati manfaat praktis dari bahan pengawet dalam industri pangan. Ingat, penjelasan saya ini bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, tetapi kita juga perlu melihat sisi baik penggunaan dari bahan pengawet dan bagaimana kita harus bersikap dalam mengonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet.
Daftar Pustaka
- European Food Safety Authority. (2017). Re-evaluation of nitrites and nitrates added to food. EFSA Journal, 15(6), 4786.
- International Agency for Research on Cancer. (2015). Carcinogenicity of consumption of red and processed meat. The Lancet Oncology, 16(16), 1599-1600.
- World Health Organization. (2016). Nitrate and nitrite in drinking-water. Background document for development of WHO Guidelines for Drinking-water Quality.
- Harvard T.H. Chan School of Public Health. (2020). Processed meats and cancer risk. Retrieved from https://www.hsph.harvard.edu
- FDA. (2020). "Sodium Benzoate and Benzene Formation." Retrieved from www.fda.gov.
- International Agency for Research on Cancer (IARC). (2015). Processed Meat and Cancer Risk. Lyon: IARC.
- WHO. (2018). "Diet, Nutrition, and Prevention of Chronic Diseases." Geneva: World Health Organization.
- Environmental Health Perspectives. (2021). "Exposure to Benzene and Risk of Leukemia." Retrieved from www.ehpjournal.com.
- Suhardjo, R. (2016). Bahan Tambahan Pangan: Keamanan dan Penggunaannya. Yogyakarta: Andi Offset.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H