Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Auditor - Saya merupakan seorang lulusan Bioteknologi dengan cabang ilmu teknologi pangan. Saya sangat menyukai perkembangan industri pangan, namun tidak hanya sebatas itu saja tetapi merambah ke dunia farmasi dan keamanan pangan.

Saya merupakan seorang praktisi di bidang keamanan pangan dan sistem manajemen mutu yang ingin berbagi pengetahuan yang saya miliki untuk membangkitkan minat literasi kita. Saya memiliki latar belakang pendidikan ilmu Bioteknologi dengan cabang ilmu Teknologi Pangan. Konten yang akan saya buat, tidak akan jauh dari informasi mengenai dunia sains dan pangan. Keinginan saya untuk berperang melawan informasi hoax dan informasi sains yang palsu (pseudosains) mendorong saya untuk berkarya melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Siapa yang Berhak Menentukan Otentisitas Pada Makanan?

31 Oktober 2024   21:04 Diperbarui: 4 November 2024   12:24 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masakan tradisional Nusantara. (Dok. Shutterstock via kompas.com)

Padahal, saya menggunakan resep yang sama dan terutama saya tetap menggunakan koya. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Kan otentiknya soto Lamongan itu pakai koya.

Nah, saya akan berbagi pendapat saya mengenai fenomena ini. Mengapa hal ini bisa terjadi, menurut pengalaman dan pengamatan saya.

Pertama, karena ekspektasi berlebihan

Ilustrasi Melihat Media Sosial | Sumber gambar: Bruce Mars
Ilustrasi Melihat Media Sosial | Sumber gambar: Bruce Mars

Ya, ekspektasi tentu menjadi faktor utama dan menjadi penentu yang terbesar saat menilai suatu hidangan. 

Apalagi membawa nama dari suatu daerah, nota bene kita jadi berpikir bahwa "wah, soto Lamongan, pasti segar dan sangat gurih". Pada saat ini pasti kita sedang mengingat, mengkhayal, dan menerka seperti apa rasa dari soto itu.

Karena sudah berekspektasi seperti ini, artinya penilaian kita sudah menjadi bias dan seakan sudah memberikan penilaian bahwa soto Lamongan yang otentik, harus memenuhi ekspektasi kita. Dari sini kita tahu, bahwa faktor yang menjadi dasar penilaiannya saat ini adalah "rasa".

Apakah menaruh ekspektasi itu salah? Tentu tidak, tapi seberapa besar ekspektasi itu lah yang akan mempengaruhi persepsi kita terhadap makanan tersebut. 

Padahal, kalau kita hanya ingin menilai apakah makanan itu otentik atau tidak, ya cukup kita mengetahui apa yang membuat makanan itu sangat khas di antara soto yang ada di Indonesia? Oh, penambahan koya, itu yang membuat soto Lamongan menjadi sangat khas bukan ke rasa.

Kedua, kita makan di tempat asalnya

Oke, soto Lamongan pasti akan terasa otentik jika kita sedang menikmatinya saat kita di Lamongan. Perasaan ini muncul karena adanya pengaruh psikologi, yang membuat kita merasa bahwa "Nah, seperti ini harusnya soto Lamongan, khasnya memang di Lamongannya aja"

Jadi, karena efek itu, akhirnya kita memiliki sebuah "benchmark" atau standar mengenai rasa dan kenikmatan dari soto tersebut. Pada akhirnya ketika makan soto Lamongan di daerah lain, rasanya bukan seperti soto Lamongan.

Apalagi, setiap daerah pasti memiliki preferensi rasa yang berbeda, itu pun juga pasti mempengaruhi dari rasa soto Lamongan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun